Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang hilang bersama angin

Sesudah perang saudara amerika serikat abad ke-19, peradaban yang halus, gemar sastra dan filsafah berubah menjadi keras yaitu menghalalkan semua cara untuk hidup terus dan kaya. (fk)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Gone With The Wind tetap laris. Umurnya, sekitar 37 tahun, lebih tua dari banyak penontonnya di Indonesia kini. Ia dibikin ketika Clark Gable masih tampak belia dan ramping, dan ketika nama Vivien Leigh masih dipersoalkan. Ia terasa sebagai bayangan Hollywood yang super-gemerlapan di zaman dulu. Dan ditonton dengan ingatan seperti itu, film lama ini seakan-akan menggaris-bawahi ceritanya sendiri. Yakni, tentang suatu peradaban, yang "hilang, bersama angin". Margaret Mitchell, penulis dari novel yang difilmkan ini, mungkin dengan pandangan sedih mengingat apa yang hilang di akhir Perang Saudara Amerika Serikat di pertengahan kedua abad ke-19: tanah-tanah perkebunan yang luas, kehidupan keluarga-keluarga kaya yang tenteram, gaya hidup yang mirip kaum aristokrat, dan anak-anak muda yang tanpa cemas kekurangan. Ada yang indah dalam peradaban macam itu. Sebab di sana, di atas sistim perbudakan yang membebaskan para majikan dari kerja keras itu, justru sempat lahir kehalusan budi, penghormatan kepada ethika, keluhuran sikap. Tapi ketika perang pecah dan masyarakat macam itu hancur, yang menggantikannya adalah sesuatu yang lain: hidup yang bertopang pada industri, perdagangan dan kesibukan kota. Dan runtuhlah tokoh macam Ashley Wilkes, yang halus, gemar sastra dan filsafat, yang sadar akan kewajiban dan kehormatan diri. Sebaliknya, tokoh macam Scarlett O'Harra, wanita yang liat itu, justru maju: pekerja keras ini menghalalkan semua cara untuk hidup terus, dan kaya. Dialah yang cocok dengan aman. Scarlett O'Harra mungkin contoh dari pribadi yang "kapitalis" atau "burjuis". Dalam perbendahataan kaum ningrat dan priyayi Jawa, dia mungkin contoh dari jenis yang dikecam sebagai "orang berhati saudagar". Sungguh menyedihkan memang: makin sedikit orang yang cukup punya kehormatan untuk tak mengemis-ngemis, yang cukup luhur untuk melihat dirinya justru sebagai orang yang melayani kewajiban, yang tahu mana yang jadi haknya, dan mana yang tidak. Namun tak selamanya nenyedihkan bila yang menggantikan orang-orang berhati bangsawan itu adalah "para saudagar" -- mereka yang bekerja keras tak suka sastra atau filsaft, dan hanya sibuk dengan kemakmuran. Sebab yang lebih tragis ialah bila yang muncul sebagai lapisan atas suatu masyarakat adalah jenis ini: orang yang gemar kemakmuran duniawi, tapi tak ingin terlibat dalam keringat, orang yang menginginkan kehormatan, tapi tak ingin setia pada ethika. Sebab sebenar-benarnyalah mereka parasit bermuka dua: priyayi tanpa jiwa bangsawan, kapitalis tanpa usaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus