Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Israel mengalami krisis politik dan masalah domestik yang buruk.
Penduduk Israel keturunan Arab dan Yahudi bentrok ketika perang di Gaza terjadi.
Presiden Israel Reuven Rivlin menyebutnya sebagai ancaman perang saudara.
KETEGANGAN di Yerusalem Timur yang meningkat sejak awal Ramadan tak cuma terjadi antara polisi dan warga Palestina, tapi juga antara kaum Yahudi ultra-ortodoks dan orang Arab Israel. Adu ejek dan saling serang antara orang Yahudi dan Arab di Yerusalem Timur itu menular ke kota-kota lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika milisi Hamas berperang dengan tentara Israel di Gaza, orang Yahudi dan Arab bentrok di berbagai kota Israel. Mereka melempari mobil, membakar gedung, dan tempat ibadah serta menyeret orang keluar dari kendaraan dan memukuli mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Lod, 15 kilometer dari Tel Aviv, menjadi pusat bentrokan terburuk. Kota ini dihuni warga Yahudi dan Arab. Pasukan Pertahanan Israel bahkan memanggil 7.000 tentara cadangan dan membatalkan cuti untuk semua unit tempur guna mengamankan kota ini. Jam malam diberlakukan untuk menekan potensi kerusuhan baru. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan datang untuk menenangkan keadaan. “Tidak ada ancaman yang lebih besar sekarang daripada kerusuhan ini, dan penting untuk mengembalikan hukum dan ketertiban,” katanya.
Jumlah warga Arab di Israel mencapai 1,9 juta jiwa atau sekitar 20 persen populasi negara itu. Sebagian besar adalah orang Palestina yang memilih bertahan di Israel setelah perang Arab-Israel pada 1948 dan otomatis mendapat status warga negara Israel.
Keterlibatan orang Arab Israel dalam protes atas bentrokan di Masjid Al Aqsa dan perang Gaza ini menunjukkan perubahan besar setelah sebelumnya mereka cenderung tak ikut campur dalam konflik Palestina-Israel. Menurut Sireen Jbareen, tokoh pergerakan kaum muda Arab di Israel, lebih dari 250 demonstran dari Umm al-Fahm datang ke Syeikh Jarrah untuk mendukung warga Palestina yang diusir dari permukiman. Umm al-Fahm adalah kota di Israel yang memiliki banyak warga keturunan Arab. Selain itu, seperti dilaporkan Haaretz, ratusan pengunjuk rasa yang terlibat bentrok dengan polisi Israel di halaman Masjid Al-Aqsa berasal dari kota-kota berpenduduk Arab di bagian utara dan tengah Israel.
Pasukan keamanan Israel menahan seorang pengunjuk rasa Palestina selama demonstrasi, di Kota Tua Yerusalem, 18 Mei 2021. REUTERS / Ammar Awad
Selama ini warga Arab Israel merupakan “penengah” antara penduduk Yerusalem Timur dan otoritas Israel. Banyak di antara mereka memiliki profesi terpandang di kota itu: pengacara, kepala sekolah, dan pegawai pemerintah. Di sisi lain, penduduk Palestina tidak terlalu suka terhadap warga Arab Israel. Orang Palestina di Yerusalem Timur menilai warga Arab Israel telah melupakan penderitaan saudara-saudara mereka di bawah pendudukan Israel.
Menurut Jbareen, generasi orang Palestina yang terlibat gerakan perlawanan atau intifada di awal 1990-an dan 2000-an menganggap tak ada lagi yang bisa diharapkan dari warga Arab Israel. “Sekarang anak-anak muda merasa mereka harus terlibat,” tutur perempuan 25 tahun itu.
Perkembangan ini membuat cemas Israel, yang sedang kerepotan karena belum berhasil membentuk pemerintahan baru yang solid dan tekanan dari Palestina, terutama Hamas. Tak ada partai yang berhasil menguasai parlemen dalam pemilihan umum terakhir. Pemimpin kelompok oposisi Yair Lapid kemudian diberi mandat untuk membentuk pemerintahan baru hingga 3 Juni nanti. Peluang terbesar Lapid adalah membuat kesepakatan dengan partai Yamina yang dipimpin Naftali Bennett, rival politik Netanyahu. Kesepakatan itu bakal menarik sejumlah partai Arab dan para politikus Israel yang dikenal mendukung rakyat Palestina.
Beberapa tokoh Israel, yang dipimpin oleh Presiden Israel Reuven Rivlin, menyebut bentrokan orang Arab dengan Yahudi belakangan ini sebagai ancaman perang saudara.
“Kita perlu menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan perang saudara yang dapat membahayakan keberadaan kita, lebih dari semua bahaya yang kita hadapi dari luar,” ucapnya.
Para pemimpin Arab di Israel menyebut ancaman perang saudara itu sebagai upaya membelokkan pokok masalah: kebrutalan polisi terhadap pengunjuk rasa Arab dan tindakan provokatif oleh kelompok sayap kanan Israel. “Polisi menembak seorang demonstran Arab di Lod,” ujar Ahmed Tibi, pemimpin partai Ta’al dan anggota parlemen Israel. “Kami tidak ingin pertumpahan darah. Kami ingin memprotes.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (Washington Post, Haaretz, Al Jazeera, Times Of Israel, The New York Times)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo