Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kalangan pengusaha khawatir terhadap rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai.
Revisi aturan pajak didorong kebutuhan menggenjot penerimaan.
Kenaikan tarif dibayangi potensi dampak buruk terhadap ekonomi.
TAK semua isi Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) menyenangkan pebisnis. Ketika pelaku usaha tak sabar menanti pemberlakuan pengampunan pajak jilid II, sejumlah perubahan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) juga membuat mereka khawatir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan tarif PPN, kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno, bisa membebani konsumen sebagai pemikul harga paling akhir. Komisaris PT Asia Pacific Investama Tbk ini mengingatkan bahwa konsumsi rumah tangga selama ini menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB). “Artinya, ini akan bertentangan dengan rencana pemerintah dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Benny kepada Tempo, Sabtu, 29 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran serupa disuarakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey. Wakil Presiden Komisaris PT Matahari Department Store Tbk ini menilai kenaikan tarif bakal membikin mahal harga jual barang dan jasa. Dia khawatir daya beli masyarakat akan melemah sehingga memperparah kinerja industri retail yang sepanjang kuartal I lalu masih minus. “Pandemi Covid-19 belum diketahui kapan berakhir, dan pembatasan mobilitas bisa terus berjalan,” ucap Roy mengungkapkan sejumlah faktor yang selama ini sudah membebani anggota asosiasinya.
Disiapkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, RUU KUP memang tak hanya mengatur rencana pengampunan pajak jilid II yang belakangan membuat kehebohan. Perubahan pasal, termasuk penghapusan dan penambahan, juga akan dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pun turut direvisi.
Sebulan terakhir, dalam beberapa kali kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengungkapkan rencana kenaikan tarif PPN dan PPh. Dalam acara musyawarah rencana pembangunan, 4 Mei lalu, Menteri Sri menyebut kenaikan tarif PPN sebagai salah satu cara yang bakal ditempuh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara tahun depan.
Yang terbaru, Sri Mulyani juga mengungkapkan perubahan ketentuan PPh berupa pengenaan tarif terhadap orang kaya dengan penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar per tahun. "Ini kenaikannya tidak terlalu besar, dari 30 persen ke 35 persen. Dan ini untuk yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun, jumlahnya tidak terlalu banyak," tutur Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR pada Senin, 24 Mei lalu.
Beban fiskal pada 2022 memang makin besar. Pemerintah menargetkan defisit anggaran tahun depan bisa ditekan ke level kurang dari 5 persen, yaitu di kisaran 4,51-4,58 persen terhadap PDB. Tahun ini, defisit anggaran masih dipatok 5,7 persen terhadap PDB karena besarnya kebutuhan belanja negara, terutama untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Belanja negara pada 2022 diproyeksikan berada di kisaran Rp 2.630,6-2.776,6 triliun. Agar target defisit kurang dari 5 persen terhadap PDB tercapai, pendapatan negara setidaknya kudu mencapai Rp 1.823,5-1.895,4 triliun.
Di antara komponen pendapatan tersebut, penerimaan perpajakan diharapkan bisa menyumbang Rp 1.499,3-1.528 triliun, naik 5,8 persen dibanding target anggaran tahun ini yang hanya Rp 1.444,5 triliun.
•••
REVISI Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi salah satu hal yang paling krusial dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak pertambahan nilai dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh seseorang atau badan usaha. Yang membayar PPN adalah pengguna atau konsumen. Adapun penyedia memungut, menyetor, dan melaporkan pembayaran oleh konsumen tersebut kepada otoritas pajak.
Perubahan ketentuan PPN disiapkan dalam pasal 44E draf RUU KUP. Pasal 7 Undang-Undang PPN dan PPnBM yang mengatur tarif diubah. Tarif yang semula 10 persen menjadi 12 persen. Seperti dalam undang-undang lama, tarif tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Bedanya, ada ketentuan yang menyatakan perubahan tarif nantinya harus diatur lewat peraturan pemerintah setelah disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah tak hanya berencana mengubah besaran tarif. Ada rancangan pasal baru, yakni pasal 7A, yang berisi pengenaan PPN dengan tarif berbeda dari ketentuan pasal 7. Besaran tarifnya paling rendah 5 persen dan paling tinggi 25 persen. Tarif berbeda ini akan dikenakan terhadap penyerahan barang atau jasa kena pajak tertentu, impor barang tertentu, dan pemanfaatan barang atau jasa tak berwujud dari luar daerah pabean. Barang dan jasa tertentu yang dimaksud akan ditentukan dalam peraturan pemerintah.
Inilah yang dimaksud dengan rencana pemerintah mengubah ketentuan PPN dari semula tarif tunggal (single-tariff) menjadi tarif jamak (multi-tariff). Niat penerapan skema PPN tarif jamak sebenarnya telah beberapa kali dilontarkan oleh Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak. Belakangan, dalam rapat dengan Komisi Keuangan DPR, Senin, 24 Mei lalu, Menteri Sri Mulyani kembali menegaskan pentingnya skema PPN baru tersebut. "Kami melihat PPN menjadi sangat penting dari sisi keadilan atau jumlah sektor yang harus tidak dikenakan atau dikenakan," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan rasa keadilan yang dia maksud. Terhadap transaksi barang atau jasa tertentu, misalnya barang mewah, tarif PPN bisa dikenakan lebih mahal. Begitu pula sebaliknya. "Reformasi di bidang pajak didesain untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan," ujarnya.
Sementara itu, dalam urusan pajak penghasilan, RUU KUP mengubah Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Perubahan paling mencolok berupa penambahan lapisan penghasilan kena pajak.
Selama ini, kelompok wajib pajak orang pribadi hanya berupa empat lapisan penghasilan kena pajak dengan tarif bertingkat di kisaran 5-30 persen. Dalam RUU KUP, pemerintah menambahkan satu lapisan, yakni wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Terhadap mereka dalam kelompok baru ini akan dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen.
Di sisi lain, tarif untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap akan diturunkan dari semula 28 persen menjadi 20 persen, yang bakal berlaku pada tahun pajak 2022. Dalam rencana perubahan Pasal 17 Undang-Undang PPh ini, pemerintah juga akan mengurangi besaran diskon pajak terhadap perusahaan yang setidaknya 40 persen dari jumlah sahamnya yang diperdagangkan di bursa efek. Sebelumnya, emiten bisa mendapat diskon pajak penghasilan sebesar 5 persen. Dalam draf RUU KUP, diskonnya hanya 3 persen.
•••
HERMAN Juwono belum bisa membayangkan seperti apa kelak implementasi berbagai revisi ketentuan pajak tersebut. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia ini mengatakan industri masih menunggu skema perhitungan yang pasti dalam setiap perubahan tarif. Bagaimanapun, kata dia, pengusaha tak bisa serta-merta menolak kebijakan pemerintah. "Kadin adalah mitra pemerintah. Kita tahu pemerintah membutuhkan penerimaan negara," tutur Herman, Jumat, 28 Mei lalu.
Walau begitu, Herman pun gamang terhadap rencana penerapan skema PPN multi-tariff. Pasalnya, penerapan tarif yang berbeda tergantung jenis barang atau jasa berpotensi menambah kerumitan dalam pencatatan administrasi perpajakan. Dia mengatakan kerepotan dalam memungut dan melaporkan PPN multi-tariff memang bisa diatasi dengan bantuan teknologi digital. “Tapi perlu kajian lebih jauh serta pengujian langsung karena selama ini belum pernah diterapkan di Indonesia,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo untuk membicarakan berbagai rencana perubahan Undang-Undang KUP. Direktur Peraturan Perpajakan I Hestu Yoga Saksama sempat meminta tanggapan dari Direktorat Jenderal Pajak dimintakan kepada Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor. Namun Neilmaldrin juga tak kunjung merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.
Yang jelas, sepanjang Mei ini, Kementerian Keuangan makin intensif berkomunikasi dengan kalangan pelaku usaha. Pada 11 Mei lalu, misalnya, Kementerian Keuangan mengundang perwakilan sejumlah perhimpunan industri di bawah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bertemu di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Tepat sepekan berikutnya, Apindo menjalin komunikasi serupa secara virtual dalam webinar yang melibatkan sekitar 100 asosiasi. "Tidak spesifik bicara kenaikan, tapi saling tukar pikiran. Diskusi kebijakan perpajakan," ucap anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, Sabtu, 29 Mei lalu.
Di tengah rencana pembahasan RUU KUP, kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) agaknya menggambarkan kekhawatiran Benny Soetrisno dan Roy Nicholas Mandey. Dalam hitungan Indef, kenaikan besaran PPN tarif tunggal dari 10 persen menjadi 12,5 persen dapat membuat konsumsi masyarakat terkontraksi, minus 3,32 persen. Di sisi lain, kinerja ekspor dan impor akan menurun, masing-masing minus 0,14 persen dan minus 7,02 persen. Akibatnya, produk domestik bruto berpotensi menyusut, minus 0,11 persen. “Dampaknya negatif ke perekonomian,” kata Direktur Eksekutif Indef Taufik Ahmad, Sabtu, 29 Mei lalu. "Akan terjadi deflasi karena permintaan barang makin rendah, dan penerimaan negara bisa menurun."
AISHA SHAIDRA, GHOIDA ROHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo