Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Gaza mulai membangun kembali kotanya yang rusak dibom militer Israel.
Sejumlah negara berjanji untuk ikut membangun Gaza dan membantu warga Palestina.
Amerika Serikat mencoba untuk melobi Palestina dan Israael untuk mengakhiri konflik.
BANGUNAN yang hancur dan puing-puing berserakan menjadi pemandangan umum di Jalur Gaza, Palestina, sekarang. Ribuan rumah, ratusan gedung, dan klinik kesehatan di Gaza rusak terkena serangan udara Israel. Banyak warga Gaza kehilangan pekerjaan mereka dalam serangan selama 11 hari sejak 10 Mei lalu itu. Warga Gaza yang selamat bersyukur dan mulai menata hidupnya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang antara militer Israel dan milisi Hamas berakhir dengan gencatan senjata yang dimediasi oleh pemerintah Mesir pada 21 Mei lalu. Serangan udara Israel ke Gaza menewaskan sedikitnya 250 orang, 66 di antaranya adalah anak-anak, dan hampir 2.000 warga lain terluka. Sementara itu, tembakan roket-roket Hamas menyebabkan 13 orang di wilayah Israel meninggal dan 114 lainnya terluka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berada dalam kondisi gencatan senjata, warga Palestina tak pernah benar-benar tenang. Ziad, warga asal Kota Ramallah di Tepi Barat, masih kesulitan menghubungi temannya di Gaza. Meski demikian, dia menilai situasi di Gaza setidaknya berangsur-angsur stabil setelah pengeboman Israel berhenti. Ziad justru khawatir atas situasi di Tepi Barat yang memburuk. Dia mengatakan ada sekitar 700 warga Palestina terancam terusir dari permukiman di Yerusalem.
Menurut Ziad, polisi Israel menangkap banyak aktivis dan penduduk Tepi Barat yang berpartisipasi dalam unjuk rasa menentang serangan Israel ke Gaza. Mereka yang menulis kritik di media sosial juga diburu. “Di Tepi Barat tak ada lagi demonstrasi masif. Orang takut berunjuk rasa,” kata Ziad melalui pesan suara kepada Tempo pada Jumat, 28 Mei lalu.
Serangan Israel juga menghancurkan gedung yang berisi laboratorium Tashkeel 3D, percetakan tiga dimensi (3D) yang dirintis Mohammed Abu Matar di Jalur Gaza. Serangan udara Israel pada Selasa pagi, 18 Mei lalu, membuat area di sekitarnya porak-poranda. “Ketika mendengar beritanya, seluruh ingatanku tentang tempat itu berkelebat seperti film. Tempat itu adalah impian masa kecilku,” tutur Abu Matar kepada Al Jazeera pada Selasa, 25 Mei lalu.
Laboratorium itu satu-satunya fasilitas di Gaza yang memproduksi peralatan medis, seperti stetoskop dan turniket, dengan harga murah. Rumah sakit di Gaza selama ini kesulitan mendapatkan peralatan itu karena blokade Israel dan Mesir selama 14 tahun. Israel juga melarang material atau pasokan benda yang dinilai “bisa berfungsi ganda” untuk masuk ke Gaza.
Menurut Abu Matar, Israel tak mengizinkan alat atau mesin cetak canggih masuk ke Gaza. Dia bersama tiga anggota timnya membangun mesin cetak dari nol sejak 2014 dan menghabiskan dana lebih dari US$ 150 ribu atau Rp 2,1 miliar lebih. “Material, mesin, dan hasil riset kami sekarang hancur,” ujar pria 35 tahun itu.
Abu Matar akhirnya membuat kotak donasi dalam jaringan (daring) di situs GoGetFunding untuk membangun kembali laboratoriumnya. Hingga Sabtu, 29 Mei lalu, kotak donasi itu sudah terisi hampir US$ 32 ribu dari target US$ 50 ribu yang dibutuhkan. Dia juga mendapatkan dana lain sebesar US$ 14.700. “Kami akan berusaha sekuat tenaga membangun apa yang telah dihancurkan Israel,” ucapnya.
Krisis yang menimpa warga Palestina telah dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para pihak yang terlibat konflik menghormati gencatan senjata dan mengakhiri perang di Gaza. Dia meminta komunitas internasional bekerja sama dengan PBB untuk membangun Gaza dan memulihkan kondisi masyarakat Palestina. “Para pemimpin Israel dan Palestina bertanggung jawab untuk memulai dialog membahas akar konflik ini,” ucapnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tiba untuk konferensi pers, di Yerusalem, 25 Mei 2021. Menahem Kahana / Pool via REUTERS
PBB, menurut Guterres dalam pidatonya di Sidang Umum PBB di New York pada 20 Mei lalu, akan bekerja sama dengan Israel, Palestina, dan mitra internasional untuk kembali bernegosiasi mewujudkan solusi dua negara. Kerja sama itu juga akan melibatkan Kuartet Timur Tengah yang berisi perwakilan PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia.
Amerika Serikat berjanji untuk menyediakan bantuan senilai US$ 75 juta atau sekitar Rp 1 triliun untuk Palestina. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken dalam pertemuannya dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, pada 25 Mei lalu. Palestina menjadi negara kedua yang dikunjungi Blinken dalam turnya ke kawasan Timur Tengah. Dari Palestina, Blinken berkunjung ke Mesir dan Yordania.
Menurut Blinken, Washington juga mengalokasikan dana sebesar US$ 5,5 juta untuk pembangunan Gaza dan US$ 32 juta bagi Badan PBB untuk Penanganan Pengungsi Palestina (UNRWA). “Untuk mencegah kekerasan terjadi lagi, kita harus segera menangani tantangan yang ada. Itu dimulai dengan mengatasi situasi kemanusiaan di Gaza dan mulai membangun kembali,” ujar Blinken, seperti dilaporkan Reuters.
Blinken menegaskan bahwa Hamas, organisasi yang dinyatakan Amerika sebagai kelompok teroris, tidak akan mendapatkan bagian dari bantuan kemanusiaan itu. Dia juga mengingatkan Israel dan Palestina agar tak melakukan aktivitas yang bisa memancing ketegangan dan mengancam perwujudan solusi dua negara yang didukung Amerika. Aktivitas itu termasuk upaya Israel melanjutkan pemekaran permukiman di wilayah yang diklaim Palestina, pengusiran warga Palestina dari Yerusalem Timur, dan aksi kekerasan yang dilakukan milisi Palestina.
Kunjungan Blinken seperti merajut kembali hubungan Amerika dengan Palestina yang sempat putus ketika Presiden Donald Trump memindahkan kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 2018. Otoritas Palestina dan komunitas internasional mengecam keputusan Trump itu, yang juga berarti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Blinken mengumumkan akan membuka kembali konsulat jenderal Amerika di Yerusalem, yang sebelumnya menjadi penghubung antara Otoritas Palestina dan Amerika.
Bantuan juga datang dari Qatar, yang berjanji akan menggelontorkan dana sebesar US$ 500 juta untuk membangun Gaza. Pengumuman itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Gaza Sheikh Muhammad bin Abdulrahman Al Thani dalam cuitannnya pada Rabu, 26 Mei lalu. “Kami akan melanjutkan dukungan kepada saudara-saudara di Palestina untuk mendapatkan keadilan dan mewujudkan negara merdekanya,” ujarnya.
Sementara itu, Hamas bersumpah tidak akan menyentuh satu sen pun dari dana bantuan internasional untuk membangun Gaza. Menurut Yahya Sinwar, salah satu petinggi Hamas, organisasinya akan menjamin distribusi bantuan yang transparan dan tak pilih kasih di Gaza. “Kami menyambut setiap bantuan atau upaya internasional dan negara Arab untuk membangun Jalur Gaza,” kata Yahya, seperti dilaporkan France 24.
Menyatakan akan membantu Palestina, Amerika tetap menjaga hubungan akrabnya dengan Israel. Hal itu ditunjukkan Blinken dengan bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Direktur Pusat Kajian Timur Tengah University of Oklahoma Joshua Landis menilai Amerika masih berpegang dengan kebijakan lama, yang dia nilai telah gagal mengatasi isu Palestina-Israel. “Blinken dan pemerintahan Biden tak punya jawaban atas konflik Palestina-Israel. Mereka tak ingin terjebak dalam situasi yang dinilai sebagai misi mustahil,” kata Landis kepada Al Jazeera.
Presiden Trump menyebut Perjanjian Ibrahim, kesepakatan untuk menormalkan hubungan Israel dan sejumlah negara Arab, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Moroko, dan Sudan, sebagai salah satu kebijakan luar negeri terbaiknya. “Kita di sini untuk mengubah sejarah,” tutur Trump dalam seremoni di Gedung Putih pada September tahun lalu. “Setelah berpuluh tahun terpecah konflik, ini adalah era baru Timur Tengah.”
Trump dan Netanyahu menyebut perjanjian itu sebagai kesepakatan damai. Padahal negara-negara yang menyepakati perjanjian itu tak pernah terlibat perang dengan Israel. Para pemimpin Uni Emirat Arab dan Bahrain bahkan diam-diam sudah menjalin hubungan dengan Israel selama bertahun-tahun. Sembilan bulan setelah pidato Trump di Gedung Putih, militer Israel dan milisi Hamas bertempur di Gaza.
Warga Palestina tak heran atas kebijakan dan sikap Amerika terhadap konflik Palestina dan Israel. Ziad menilai pertemuan Amerika dan pejabat Palestina di Ramallah itu tidak ada artinya. “Itu hanya formalitas. Amerika tidak akan mengubah kebijakannya dan tetap mendukung Israel,” ujar Ziad.
Ziad ragu Biden bisa mengubah sikap politik luar negeri Amerika terhadap Palestina dan dukungannya terhadap Israel. Pernyataan pendahulu Biden dari Partai Demokrat, Barrack Obama, yang menginginkan agar warga Palestina hidup damai dan mendapatkan hak-haknya juga dinilai hanya basa-basi. Namun kebijakan yang diterapkan Trump justru memperburuk situasi di Palestina. “Keterlibatan Amerika hanya menjamin Israel bisa mengambil apa pun yang kami miliki,” ucapnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ISTMAN MUSAHARUN PRAMADIBA (ASSOCIATED PRESS, NPR, USA TODAY, MIDDLE EAST EYE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo