Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Para Ibu di Garis Depan

Unjuk rasa besar dan pemogokan massal melanda Kolombia selama sebulan. Perekonomian negeri itu nyaris lumpuh.

29 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjuk menuntut pemerintah mengatasi kemiskinan, kekerasan polisi dan ketidaksetaraan dalam sistem kesehatan dan pendidikan, di Bogota, Kolombia, 6 Mei 2021. REUTERS / Nathalia Angarita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Unjuk rasa besar dan pemogokan massal pecah di Kolombia selama sebulan lebih dan menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan cedera.

  • Bermula dari protes terhadap rencana kenaikan pajak.

  • Pemerintah menuding Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia di belakang demonstrasi.

MENGENAKAN helm proyek, bandana yang membekap separuh wajah, dan perisai dari kayu lapis seadanya, sekelompok ibu turun ke jalan. Mereka duduk dan berbaring di jalan yang memisahkan kelompok demonstran dengan pasukan polisi antihuru-hara (ESMAD) di Portal de Las Americas, stasiun bus di barat daya Bogota dan salah satu episentrum unjuk rasa nasional Kolombia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh perempuan yang menyebut diri mereka Madres de Primera Linea (Ibu di Garis Depan) itu sengaja turun untuk mencegah eskalasi kekerasan. "Kami berkumpul sebagai tetangga dan teman karena kami melihat betapa kerasnya mereka (polisi antihuru-hara) melawan anak-anak muda kami, termasuk anak-anak di bawah umur," kata seorang ibu dua anak yang mengaku sebagai Alias La Flaca kepada Al Jazeera pada Rabu, 26 Mei lalu. "Kami semua adalah ibu tunggal, kepala rumah tangga kami. Jika kami tidak membela mereka, siapa yang akan melakukannya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami adalah bagian dari garis pertahanan pertama," ujar La Flaca. "Kami tidak pernah menyerang. Kami menunggu sampai mereka menyerang kami. Kami berdiri bersama para pengunjuk rasa untuk memastikan bahwa tidak ada yang terjadi pada mereka, bahwa mereka (polisi) tidak mengambil dan menghilangkan mereka."

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyampaikan keprihatinan atas penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan untuk memadamkan protes yang sudah berlangsung sebulan di seluruh Kolombia. Pemerintah menyatakan 17 warga sipil tewas di tengah unjuk rasa, tapi organisasi-organisasi non-pemerintah mengklaim jumlah korban jauh lebih besar. Defender la Libertad, organisasi hak asasi manusia negeri itu, mencatat 59 warga sipil terbunuh, 866 orang cedera, 2.152 orang ditahan, dan 346 orang hilang selama kerusuhan.

Dewan Kepresidenan untuk Hak-hak Asasi Manusia menyatakan Jaksa Agung belum menerima aduan resmi tentang penghilangan orang secara paksa, tapi akan mengecek laporan berbagai organisasi hak asasi. Dewan menyatakan pemerintah telah menemukan 227 orang yang dikabarkan hilang dan sedang mencari 168 lainnya. Presiden Kolombia Iván Duque menyatakan 65 investigasi terhadap kekerasan polisi sedang dilakukan dan Direktur Kepolisian Nasional Jorge Vargas berjanji menindak setiap polisi yang melanggar hukum.

Unjuk rasa dan pemogokan massal terus berlanjut di berbagai kota di negara Amerika Latin itu. Pada Jumat, 28 Mei lalu, empat orang tewas ketika ribuan pengunjuk rasa membanjiri jalanan Kota Cali, yang telah menjadi episentrum protes nasional. Wali Kota Cali Jorge Ospina menyatakan ada tiga orang yang tewas. Media lokal melaporkan kematian keempat terjadi di jalan antara Cali dan Candelaria. "Harus ada dialog antara mereka yang menyerukan pemogokan, pemerintah, dan seluruh masyarakat. Jika tidak ada pembicaraan, spiral kekerasan akan terus berlanjut dan, sayangnya, lebih banyak orang bisa tewas," ucap Ospina.

Dalam pernyataan yang disiarkan di televisi, Jaksa Agung Francisco Barbosa menyatakan dua orang tewas di Cali ketika seorang agen dari unit investigasi kejaksaan menembaki warga sipil. Menurut dia, agen tersebut tidak sedang bertugas.

Istana Keadilan—kantor kejaksaan di Kota Tulua—terbakar pada Selasa malam, 25 Mei lalu. Seluruh gedung itu hangus dan kini hanya tersisa abu serta reruntuhan tembok. Tak ada korban manusia dalam insiden ini. Wali Kota Tulua John Jairo Gomez menyesalkan kerusuhan tersebut. "Sangat disayangkan sekelompok orang yang tanpa cinta atau penghormatan terhadap kota kita atau rakyatnya telah merusak kota, menyebabkan kerusakan pada infrastruktur dan transportasi, seperti lampu dan tanda lalu lintas," tuturnya seperti dikutip Deutsche Welle.

Camilo Andres Arango, remaja 18 tahun, tewas akibat luka tembak dalam kerusuhan di Tulua. Direktur Kepolisian Nasional Jorge Vargas menyatakan Arango meninggal ketika unjuk rasa damai berubah menjadi kerusuhan. Kejaksaan Agung mengumumkan akan mengadili Luis Angel Piedrahita Hernandez, polisi yang diduga bertanggung jawab atas tewasnya Arango, meskipun Hernandez mengaku tak bersalah. Juliette Rivero, wakil Komisioner Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kolombia, meminta pemerintah menyelidiki tewasnya Arango.

Demonstrasi juga pecah di daerah-daerah lain. Sebagian besar berlangsung damai, meskipun bentrokan antara polisi dan demonstran terjadi di beberapa kota, termasuk di Madrid, yang dekat dengan Ibu Kota Bogota.

Unjuk rasa di Bogota diwarnai nyanyian dan musik. Para demonstran menyatakan akan terus berdemonstrasi. "Hingga pemerintah mendengarkan kami, kami harus tetap berada di jalanan, ujar Alejandro Franco, mahasiswa yang hampir menuntaskan kuliahnya. Dia mengaku ikut dalam protes untuk menuntut perbaikan pendidikan dan kesehatan. "Jika rakyat tidak mendapat kedamaian, pemerintah pun tidak," katanya kepada Reuters.

Gelombang unjuk rasa besar melanda Kolombia sejak 28 April lalu. Pemicunya adalah reformasi pajak, yang juga akan mengenakan pajak pada orang dengan pendapatan lebih rendah dibanding dalam aturan saat ini. Presiden Duque berharap kebijakan ini akan menambah dana untuk proyek publik dan memperbaiki ekonomi yang lesu di tengah pandemi Covid-19.

Protes pada mulanya diikuti para buruh yang dipimpin berbagai organisasi serikat pekerja. Belakangan, kelompok masyarakat kelas menengah bergabung dengan alasan kebijakan itu akan mengurangi pendapatan mereka. Presiden Duque akhirnya mencabut kebijakan itu dan Menteri Keuangan Alberto Carrasquilla mundur. Namun perubahan ini tidak dapat menghentikan demonstrasi, yang bahkan meluas dan isu yang dibawa bertambah, termasuk perbaikan sistem kesehatan dan pendidikan.

Menteri Pertahanan Diego Molano menuduh kekerasan yang terjadi "disiapkan, diorganisasi, dan didanai oleh pembangkang FARC" dan anggota ELN. Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) dan Tentara Pembebasan Nasional (ELN) adalah kelompok gerilyawan yang memerangi pemerintah sejak 1964. Pemerintah Presiden Andres Pastrana Arango berunding dengan FARC dan mencapai kesepakatan damai pada 2016. ELN tidak terlibat dalam perundingan ini dan terus memerangi pemerintah hingga kini.

Perundingan antara pemerintah dan organisasi penyelenggara demonstrasi macet. Kedua pihak bersepakat mengakhiri demonstrasi pada pekan lalu sebagai langkah menuju perundingan. Tapi, pada Kamis, 27 Mei lalu, penyelenggara demonstrasi menyatakan pemerintah belum meneken perjanjian itu dan menangguhkan perundingan. "Kami telah mencapai kesepakatan. Satu-satunya hal yang hilang adalah tanda tangan presiden untuk memulai negosiasi," ucap Francisco Maltes, Presiden Serikat Pekerja Pusat (CUT).

Pemerintah mengaku belum menandatangani kesepakatan karena beberapa pemimpin unjuk rasa menolak mengutuk blokade jalan dan menyebut hal itu tidak dapat dinegosiasikan. Kementerian Keuangan Kolombia memperkirakan protes dan blokade jalan telah merugikan negara US$ 2,68 miliar karena menyebabkan macetnya pasokan pangan, naiknya harga, dan terganggunya operasi di pelabuhan.

Sebagian masyarakat mengeluhkan unjuk rasa ini karena berdampak pada perekonomian mereka. "Saya harus menutup toko saya setiap kali ada unjuk rasa," ujar Laudice Ramirez, pria 62 tahun di selatan Bogota. "Saya akan bangkrut, tapi para pemuda tak punya pilihan lain."

Demonstrasi yang berlarut-larut ini telah mengganggu perekonomian negeri itu. Beberapa perusahaan minyak terpaksa berhenti beroperasi karena blokade pelabuhan, jalan, tambang, dan kilang. Pelabuhan Buenaventura, pelabuhan utama negara itu, lumpuh. Cerrejon, salah satu tambang batu bara terbesar negeri itu, berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan bahan bakar akibat blokade.

Jaime Cabal, Presiden Federasi Nasional Pedagang Fenalco, mengatakan 40 ribu perusahaan terpaksa tutup sementara atau permanen dan hampir 300 ribu pekerjaan telah hilang. Menteri Keuangan Jose Manuel Restrepo menyatakan kerusuhan ini telah merugikan Kolombia sekitar 480 miliar peso atau Rp 1,8 triliun per hari dan memperkirakan akumulasi kerusakan selama bulan lalu mencapai Rp 40 triliun.

IWAN KURNIAWAN (Al Jazeera, Deutsche Welle, Reuters, Energyworld)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus