Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jared Kushner diam-diam membangun hubungan antara Amerika dan Rusia.
Kushner bertemu dengan sejumlah orang Rusia sebelum dan setelah Donald Trump menjadi presiden.
Dia berada di belakang pengiriman kargo medis Rusia untuk New York.
SUATU sore di bulan April tahun ini, Antonov-124, pesawat kargo terbesar di dunia, mendarat di Bandar Udara Internasional John F. Kennedy, New York, Amerika Serikat. Pesawat Rusia tersebut mengangkut bantuan alat pelindung diri dan ventilator untuk rumah-rumah sakit di negara bagian itu yang sedang berjuang menangani pasien Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur New York Andrew Cuomo sudah berminggu-minggu meminta pemerintah federal mengirim bantuan alat medis, khususnya ventilator, tapi tak juga dipenuhi. Bantuan Rusia itu merupakan kejutan baginya, juga bagi Departemen Luar Negeri Amerika. Separuh kargo dibayar oleh Amerika dan separuh lagi dengan Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), dana investasi asing milik pemerintah Rusia, yang sebenarnya sedang terkena sanksi ekonomi Amerika. CEO RDIF Kirill Dmitriev sedang diselidiki Kongres dan jaksa penyelidik khusus Robert Mueller mengenai komunikasinya dengan tim transisi pemerintahan Donald Trump tak lama setelah Moskow diduga mengintervensi pemilihan umum 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daily Beast melaporkan pada Senin, 24 Agustus lalu, bahwa orang di balik pengiriman kargo itu adalah Jared Kushner, menantu dan penasihat senior Presiden Donald Trump. Menurut dua pejabat senior pemerintahan, sejak awal pandemi Covid-19, Kushner memimpin Project Airbridge, program pengiriman barang medis jalur cepat dengan dana pemerintah federal.
Ventilator kiriman Rusia itu ternyata rusak dan akhirnya dibuang. Kushner menyimpan kasus kargo ini rapat-rapat. Walau barang medis itu tak terpakai, toh ia berhasil mendatangkannya. Kushner mempercepat pesanan dengan mengandalkan hubungan pribadinya dengan Dmitriev, orang kepercayaan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kirill Dmitriev adalah salah satu tamu utama pertemuan rahasia di Seychelles, negara pulau di Laut Somalia, pada 11 Januari 2017, sebelum pelantikan Trump. Tamu lain adalah Erik Prince, donatur kampanye Trump dan pendiri perusahaan keamanan swasta Blackwater. Ada pula Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan, Putra Mahkota Abu Dhabi dan penguasa de facto Uni Emirat Arab; serta George Nader, pengusaha keturunan Libanon-Amerika yang menjadi penasihat tak resmi tim Trump untuk Timur Tengah. Pertemuan itu membahas, antara lain, peta jalan kerja sama Amerika-Rusia dalam pemerintahan Trump.
Demonstrasi menuntut pengusutan kasus penganiayaan Jason Blake, di Times Square, New York, Amerika Serikat, 24 Agustus 2020. Reuters/Mike Segar
Pada tahun-tahun berikutnya, Kushner dan Dmitriev terus berkomunikasi mengenai cara agar Amerika dan Rusia dapat bekerja sama. Pembicaraan tersebut telah menyinggung banyak hal, dari membuat dewan bisnis bersama untuk meningkatkan investasi, menggarap kesepakatan perdamaian Timur Tengah, membantu negosiasi tentang kesepakatan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC), hingga mengirim pasokan medis untuk New York.
Menurut Daily Beast, lebih dari selusin pejabat pemerintahan Trump menyebutkan hubungan Kushner dengan Dmitriev secara tidak langsung didorong oleh Trump sendiri. Trump merasa bahwa ia “dihukum” oleh para pejabat tersebut karena mengalahkan Hillary Clinton dalam pemilihan presiden serta ditekan oleh penyelidikan Kongres dan Mueller mengenai kaitan kampanyenya dengan agen Rusia. Karena itu, ia tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya, lalu berpaling mencari sekutu lain.
Trump berusaha menemukan cara bekerja sama dengan Rusia. “Ini seperti lingkaran setan,” ucap seorang mantan pejabat senior kepada Daily Beast. “Meskipun kami melakukan banyak hal konkret untuk menghukum Rusia, perilaku pribadi presiden sendiri... tidak memungkinkan kami untuk mengatakan, ‘Kami punya kebijakan Rusia yang koheren’.”
Trump lebih mengandalkan sekutunya, sering kali Kushner, untuk menangani berbagai urusan pemerintahan, termasuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Moskow. Saat sejumlah pejabat tinggi yang menangani Rusia mulai mundur atau dipaksa melepas jabatan, Kushner melangkah lebih jauh.
Kushner pun, kata mantan Penasihat Keamanan Nasional, John Bolton, kepada CNN, muncul sebagai salah satu orang terkuat di Gedung Putih. Adapun BBC menyebutnya “lebih Trump dari Trump”.
Jared Corey Kushner lahir pada 10 Januari 1981 di Livingston, New Jersey, dari pasangan Seryl dan Charles Kushner, pengusaha real estate. Dengan bantuan ayahnya, Kushner masuk Harvard University pada 1999. Dia lalu melanjutkan kuliah hukum dan bisnis dalam program kerja sama New York University School of Law dan New York University Stern School of Business. Kushner lulus pada 2007 dan magang di kantor Jaksa Distrik Manhattan, Robert Morgenthau.
Ketika ayahnya dihukum karena kasus sumbangan ilegal kampanye, penggelapan pajak, dan suap terhadap saksi, Jared Kushner mengambil alih Kushner Companies, bisnis keluarganya yang mengelola 100 ribu apartemen, gedung bisnis, dan industri. Pada 2006, Kushner membeli mingguan The New York Observer dan mengembangkannya menjadi tabloid dan media daring (online). Setahun kemudian, Kushner Companies membeli gedung perkantoran 41 lantai di 666 Fifth Avenue di Midtown Manhattan, Kota New York. Pada 2019, kekayaan bersih Kushner diperkirakan sekitar US$ 800 juta atau Rp 11,637 triliun lebih.
Kushner bertemu dengan Ivanka Trump, pengusaha dan putri kedua Donald Trump, pada 2007, lalu menikah dua tahun kemudian. Dia sebenarnya pendukung lama Partai Demokrat dan sudah menyumbang untuk kampanye partai itu sejak berusia 11 tahun. Sikap politiknya berubah setelah menjadi keluarga Trump.
Nama Kushner mencuat ketika disebut dalam laporan Robert Mueller mengenai campur tangan Rusia pada pemilihan Presiden Amerika 2016. Laporan itu menyatakan Kushner; Donald Trump Jr., putra sulung Trump; Paul Manafort, pemimpin tim kampanye Trump; dan empat orang lain bertemu dengan Natalia Veselnitskaya, pelobi Rusia, di The Trump Tower, Kota New York, pada 9 Juni 2016. Pertemuan itu membahas informasi untuk mengalahkan Hillary Clinton, pesaing Trump.
Antara April dan November 2016, Kushner menelepon Duta Besar Rusia untuk Amerika Serikat, Sergey I. Kislyak, dan bertemu dengannya pada Desember tahun itu. Intelijen Amerika kemudian mendengar Kislyak melapor ke Moskow tentang permintaan Kushner membangun “jalur komunikasi yang aman dan rahasia” dengan Kremlin. Pada bulan itu juga, Kushner bertemu dengan Sergey N. Gorkov, mata-mata Rusia yang memimpin bank pemerintah Rusia, Vnesheconombank (VEB).
Sepak terjang Kushner merambah ke mana-mana. Dialah yang membuka jalan perdamaian Uni Emirat Arab dengan Palestina. Ini diawali pada Juni 2019, ketika Kushner terbang ke Bahrain untuk bertemu dengan ratusan pejabat asing dan investor dari seluruh dunia, termasuk Stephen Schwarzman dari Blackstone dan Kirill Dmitriev. Dalam acara mewah di Ritz-Carlton Manama itu, Kushner menyampaikan presentasi tentang rencana investasi di Palestina. Pada 14 Agustus, Presiden Trump mengumumkan kesepakatan damai antara Israel dan Uni Emirat Arab.
Sekarang, menjelang pemilihan presiden pada November nanti, tim Trump berfokus menciptakan situasi agar Amerika dan Rusia dapat bekerja sama dalam pengendalian senjata. Dmitriev, sementara itu, menulis opini di CNBC yang mengatakan Washington dan Kremlin harus bekerja sama untuk mengalahkan virus corona.
“Selama Perang Dunia II, tentara Amerika dan Rusia bertempur berdampingan melawan musuh bersama,” tulis Dmitriev pada 6 April lalu. “Sama seperti kakek kita berdiri bahu-membahu... sekarang negara kita harus menunjukkan persatuan dan kepemimpinan untuk memenangi perang melawan virus corona.”
Sebulan setelah Antonov-124 mendarat di New York, Amerika membalasnya dengan menerbangkan sebuah pesawat Angkatan Udara ke Moskow pada akhir Mei lalu. Pesawat itu mengangkut 50 dari total 200 ventilator senilai US$ 5,6 juta untuk membantu Rusia melawan pandemi. “Khususnya di saat krisis, kita harus bekerja sama—seperti yang kita lakukan selama Perang Dunia II, ketika orang-orang dari kedua negara kita dan sekutu lain bertempur dengan gagah berani, menderita kerugian besar, dan mengalami kesulitan yang hebat,” kata Kedutaan Besar Amerika di Rusia dalam pernyataan persnya.
IWAN KURNIAWAN (DAILY BEAST, BBC, CNN, CNBC, TASS, VOX)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo