Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menggeledah rumah aktivis Walhi, Zenzi Suhadi, dan memintanya mengikuti tes narkotik.
Zenzi mengajukan gugatan praperadilan atas penggeledahan itu karena dianggap ilegal.
Penggeledahan oleh polisi dinilai sebagai upaya pembungkaman aktivis.
AKTIVIS Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, menemui Kepala Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Jakarta Selatan Komisaris Vivick Tjangkung di ruang kerjanya, Senin, 27 Juli lalu. Kedatangannya untuk memprotes penggeledahan yang dilakukan Kepolisian Jakarta Selatan. “Penggeledahan polisi tidak sesuai dengan prosedur,” ujar Zenzi menceritakan peristiwa itu pada Kamis, 27 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima polisi berpakaian preman menggeruduk rumah kontrakan Zenzi di Jalan Pusdiklat, Kelurahan Makassar, Jakarta Timur, Kamis malam, 23 Juli lalu. Wakil Kepala Satuan Narkoba Komisaris Heru Irawan memimpin operasi itu. Menurut Zenzi, Heru sempat menunjukkan formulir laporan polisi ihwal dugaan penggunaan narkotik. Zenzi memprotes lantaran polisi tak menunjukkan surat perintah penggeledahan dari pengadilan atau dokumen penyidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi juga membawa perlengkapan tes urine. Zenzi bersama dua kerabatnya yang menghuni rumah itu mengikuti tes tersebut. Hasil tes yang keluar saat itu juga menyatakan mereka negatif mengonsumsi narkotik. “Mereka juga tidak menemukan narkoba saat penggeledahan,” ucapnya.
Saat bertemu dengan Komisaris Vivick Tjangkung, Zenzi kembali menanyakan dasar penggeledahan. Zenzi bercerita, Komisaris Heru yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan penggeledahan tersebut merupakan respons atas laporan yang diterima. Namun Heru tak menjelaskan siapa pelapor kasus tersebut.
Ronald Siahaan, kuasa hukum Zenzi yang turut mengikuti pertemuan itu, menyampaikan bahwa polisi tidak bisa menjadikan laporan tersebut sebagai dasar penggeledahan. “Itu melanggar hukum acara,” katanya. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa pun.
Vivick tak meladeni permohonan wawancara Tempo hingga Sabtu, 29 Agustus lalu. Juru bicara Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Rita Oktavia Shinta, mengatakan belum mengetahui detail gugatan Zenzi. “Saya belum tahu bagaimana prosesnya. Nanti saya tanyakan kepada Satuan Reserse Narkoba,” tuturnya.
Zenzi mengajukan gugatan praperadilan terhadap penggeledahan tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang gugatan sejak Selasa, 25 Agustus lalu. Kuasa hukum Zenzi lain, Judianto Simanjuntak, mengatakan Pasal 1 ayat 18 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan dengan jelas bahwa penggeledahan merupakan kewenangan penyidik. Sedangkan kasus Zenzi masih bersifat penyelidikan. Judianto menilai penggeledahan dianggap tindakan ilegal.
Tim kuasa hukum menilai polisi terkesan mengada-ada mencari kesalahan Zenzi, yang dikenal aktif mendampingi masyarakat bersama Walhi. Judianto menuding penggeledahan itu merupakan upaya sistematis menyudutkan Zenzi dan Walhi. Saat penggeledahan, Zenzi aktif mengadvokasi kasus-kasus lingkungan. Beberapa pekan sebelum penggeledahan, ia gencar menyuarakan penolakan ekspor benur lobster dan rencana pemindahan ibu kota. Ia juga mengorganisasi penolakan terhadap pengesahan undang-undang omnibus law. “Patut diduga teror ini bertujuan melemahkan advokasi teman-teman,” ucap Zenzi.
Judianto menilai penggeledahan rumah Zenzi mirip dengan dugaan rekayasa tes swab terhadap aktivis Walhi Kalimantan Timur pada akhir Juli lalu. Saat itu, sejumlah orang dari satu dinas Kota Samarinda yang tak menggunakan alat pelindung diri mendatangi kantor yang digunakan Walhi bersama Aliansi Masyarakat Adat dan Lembaga Bantuan Hukum Samarinda. Mereka memaksa melakukan uji usap corona.
Sehari kemudian, mereka kembali datang untuk menyemprotkan disinfektan sambil memotret setiap ruangan. Tiga aktivis kemudian dinyatakan positif corona. Belakangan, hasil uji usap tersebut diketahui palsu. Kantor itu kerap dimata-matai sejak LBH Samarinda mengadvokasi tujuh aktivis dan mahasiswa Papua.
RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo