Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Covid-19 Telah Memicu Gegar Budaya

Ekonom dan tokoh lingkungan Emil Salim menyoroti pandemi Covid-19 yang telah memicu dampak multidimensi. Menurut dia, pagebluk yang telah berlangsung selama enam bulan ini tidak hanya menghantam kesehatan dan perekonomian, tapi juga mengguncang tata sosial masyarakat Indonesia yang komunal. Masyarakat mengalami gegar budaya karena terpaksa mengurangi interaksi fisik demi mencegah penularan virus. Emil juga mengkritik keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang melanjutkan pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan kebijakan energi yang masih tidak ramah lingkungan.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Emil Salim, ahli ekonomi dan pengajar saat ditemui dikediamannya di Jakarta, 24 Agustus 2020. TEMPO/STR/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Emil Salim mengatakan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 telah menimbulkan gegar budaya di masyarakat Indonesia yang komunal.

  • Menurut Emil, terjadinya perubahan iklim tidak lepas dari kebijakan energi pemerintah yang tidak ramah lingkungan dan mengandalkan bahan bakar fosil.

  • Emil Salim mengkritik keputusan pemerintah dan DPR yang melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja padahal situasi pada masa Covid-19 berbeda.

EMIL Salim melihat Covid-19 bukan hanya sebagai penyakit. Ekonom dan tokoh lingkungan ini menilai pandemi yang dipicu infeksi virus SARS-CoV-2 itu telah membuat nyaris semua negara mengalami krisis multidimensi. Wabah tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan dan ekonomi. “Itu mempengaruhi masyarakat dan menyebabkan perubahan sosial,” kata Emil dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 24 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Emil, pembatasan interaksi sosial selama pandemi telah direspons secara berbeda antara masyarakat Indonesia dan orang Barat. Di Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, pembatasan sosial tidak berimbas besar karena penduduk di sana menganut budaya patembayan. Sedangkan masyarakat Indonesia, yang tata sosialnya komunal, mengalami gegar budaya akibat pembatasan interaksi sosial. “Covid-19 juga mengguncang paguyuban dalam masyarakat kita,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di usianya yang menginjak 90 tahun, Emil masih terlihat segar. Selain mengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, ia aktif menjadi pembicara dalam berbagai acara seminar daring (online). Dengan suara lantang, menteri lingkungan pertama yang pernah menjadi bagian dari kabinet Orde Baru selama 22 tahun ini mengaku geregetan terhadap kebijakan energi yang tidak ramah lingkungan. Emil juga menyoroti perubahan iklim yang berdampak pada munculnya zoonosis. Selain itu, ia bersikap kritis terhadap sejumlah hal. Salah satunya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menurut dia memperlemah KPK dan membawa Indonesia kembali ke zaman korupsi.

Emil menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Abdul Manan, di kediamannya di Taman Patra, Kuningan, Jakarta Selatan. Di sebuah meja di sudut ruang tamu terpajang foto Emil muda dengan ekonom yang juga wakil presiden pertama, Mohammad Hatta, pada 1970-an. “Kalau mau jadi pemimpin, ikuti moralitasnya Hatta. He's my hero,” ucapnya. Selama lebih dari dua jam, Emil menceritakan tentang berbagai dampak pandemi, kritiknya terhadap kebijakan energi, hingga omnibus law.

Anda pernah menyebut pandemi Covid-19 sebagai alarm terganggunya ekosistem. Seberapa parah kerusakan ekosistem sehingga memunculkan wabah ini?

Dalam 50 tahun terakhir, populasi manusia tumbuh pesat, sehingga habitat sejumlah binatang menyempit. Potensi virus pada hewan pindah ke manusia makin besar. Itu sebabnya tikus jadi sumber penyakit pes, babi untuk flu babi, nyamuk untuk malaria, monyet untuk AIDS, dan kelelawar untuk Covid. Terjadi penularan akibat penyempitan ruang hidup karena manusia memasuki ekosistem hewan-hewan itu.

Faktor lainnya apa?

Faktor yang lebih dahsyat adalah perubahan iklim. Greenland dan Siberia mencair. Cilakanya, permafrost atau tanah yang tadinya beku juga mencair. Tanah ini menjadi terbuka. Di dalamnya ada bangkai binatang yang karena dingin es masih menyimpan virus dan kuman. Banyak ilmuwan khawatir akan tumbuh penyakit dari bangkai-bangkai yang selama ribuan tahun terbenam di permafrost itu. Perubahan iklim membuat orang-orang khawatir. Jangan sampai suhu bumi pada 2030 melewati ambang batas yang menimbulkan pencairan es.

Aktivitas manusia di penjuru dunia sempat terhenti karena pembatasan sosial pada masa awal pandemi. Bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan iklim?

Cara hidup akibat Covid-19, lalu lintas berhenti, semuanya berhenti. CO2 turun. Langit biru tiba-tiba tampak di Eropa, Amerika, hingga Indonesia. Suhu udara menurun akibat seluruh aktivitas dan mobilitas manusia berhenti. Para ahli berkata, cara kita hidup sebelum pandemi telah menyebabkan perubahan iklim. Kemudian Covid-19 menghentikan itu semua dan terbukti langit biru tampak. Mungkinkah kita mempertahankan pola hidup yang tak lagi bergantung pada mobilitas manusia yang demikian tinggi? Gagasan ini sekarang sedang berkembang.

Sejauh mana pembatasan interaksi sosial bakal mempengaruhi pembangunan di Indonesia?

Pembatasan sosial berskala besar prinsipnya tetap jaga jarak, tidak boleh berkerumun, dan segala macam itu. Ada bedanya antara Indonesia dan Barat. Di Barat itu budaya masyarakatnya patembayan atau gesellschaft, istilahnya “kami”. Istilah “kita” tidak ada di dunia Barat. Keakuan lebih dominan. Kalau Indonesia paguyuban. Di dalam masyarakat Indonesia, antara Anda dan saya ada pertaliannya.

Apakah pengurangan interaksi sosial bisa diterapkan di Indonesia dalam jangka panjang?

Bisa, tapi ada harga yang harus dibayar. Kenapa pemakaman mayat (korban Covid-19) menjadi masalah? Kita selalu diajarkan untuk menghormati orang tua sehingga, kalau orang tua meninggal, anaknya yang bertanggung jawab membersihkan, memandikan, dan segala macam. Itu berlangsung berabad-abad. Tiba-tiba ada Covid-19 dan itu tidak boleh. Logis karena ada virus. Tapi kita punya pemahaman ini adalah keluarga, maka persoalan virus tidak masuk perhitungan. Kalau saya lihat ada orang marah dan mencuri mayat keluarganya, saya menempatkan diri di posisinya dan bisa mengerti. He got a culture shock. Tidak semua orang bisa menerima gegar budaya. Jadi jangan anggap Covid-19 semata-mata sebagai virus atau penyakit. Ia juga mengguncang paguyuban dalam masyarakat kita.

Bagaimana pemerintah berperan membantu masyarakat menghadapi gegar budaya itu?

Bukan pemerintah karena ini mengenai masyarakat. Yang mengalami gegar budaya adalah masyarakat. Maka pemuka masyarakat yang harus dapat mengikuti perubahan ini. Jika Anda sebagai pemimpin umat, Anda sebagai imam, Anda tidak lagi hanya berperan sebagai imam. Anda juga pendidik yang mengajarkan ada sesuatu yang kita perlu penyesuaian.

Lalu apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Maksud saya, dalam keadaan Covid-19, jangan hanya bergantung pada pemerintah. Ini harus kita hadapi sebagai total football. Pemerintah, pemimpin agama, guru, pendidik, pers, dan segala macam ikut memainkan peran.

Pemerintah di beberapa negara terbukti lebih sigap dalam menangani pandemi, seperti Selandia Baru dan Singapura. Mengapa kita tidak bisa melakukannya?

Masalah paguyuban di sana tidak seintensif di Indonesia. Kalau Anda mau mengkritik, kritiklah Amerika. Presiden Donald Trump mengerti makna Covid-19. Dia tahu bahayanya. Kenapa dia tidak bertindak? Di Amerika atau Eropa tidak mengenal paguyuban. Kita ini paguyuban atau gemeinschaft. Saya lihat teman-teman pengamat tidak mempertimbangkan faktor ini. Cara di luar begini dan di Indonesia memang tidak sama.

Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan normal baru yang benar?

Orang tanpa gejala itu dahsyat dampaknya. Kau tidak ada gejala, tapi saya harus menganggap kau sebagai orang yang dicurigai. Padahal ndak ada gejala. Coba bayangkan, dari suasana paguyuban tiba-tiba culture shock. Tapi akhirnya menjadi rasional. Saya kira lambat-laun karena ketakutan pada maut itu kan besar. Kau ingin bertahan hidup, sehingga menjadi waspada. Waspada mendorong kita menjadi lebih rasional.

Apakah kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi sudah tepat?

Seharusnya masih banyak yang bisa dilakukan. Tapi, bayangkan, Indonesia itu seperti London ke Teheran. Jaraknya jauh. Pemerintahan di daerah ada bermacam-macam. Ada yang mengerti, ada yang tidak. Banyak pejabat di daerah yang menjadi korban virus ini.

Anda pernah menyampaikan Indonesia gagal mencapai target Sustainable Development Goals ke-13 tentang aksi memerangi perubahan iklim. Bagaimana Anda menilai kebijakan pemerintah mengurangi emisi karbon?

Saya belum melihat ada langkah serius untuk menyusun kebijakan energi terbarukan. Kita masih bertumpu pada minyak bumi, gas, batu bara. Mengapa tidak memanfaatkan sinar matahari, energi angin? Pulau dan pantai itu penuh angin. Mengapa tidak tenaga air atau laut? Energi terbarukan kita segerobak.

Apakah Anda menilai pemerintah kurang memprioritaskan energi terbarukan?

Pertimbangan jangka pendek. Karena minyak bumi, gas, batu bara sudah ada sehingga pendapatan cepat masuk, pajak cepat masuk, penerimaan negara naik, dan sebagainya. Tapi, yang saya heran, kita ini berada di khatulistiwa. Sinar matahari jatuh vertikal di atas Pontianak atau Sumatera Barat. Kenapa tidak ada solar energy?

Sejauh mana kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa mengembangkan teknologi untuk energi terbarukan?

Pertanyaannya, kenapa sumber daya manusia tidak dikembangkan. Di zaman Pak Harto, cita-citanya swasembada pangan. Petani dididik memakai pupuk dan segala macam. Ada program bimas (bimbingan masyarakat) dan penyuluh lapangan. Jadi petani yang menaikkan produksi, bukan pemerintah. Petani tahu memakai varietas unggul, jenis pupuk, saluran air. Itu karena pendidikan.

Apa saja yang kurang dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon?

Kita mendapatkan uang dari Norwegia. Ada program REDD (Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan). Sistemnya ada, praktiknya sudah ada di Kalimantan, bisa diterapkan pada hutan sosial. Kenapa enggak diterapkan secara besar-besaran? Kesan saya adalah keinginan pemerintah mendorong perlindungan lingkungan kurang. Kekuatan pendorong sekarang adalah batu bara. Lihat saja perubahan Undang-Undang Minerba yang baru saja disahkan.

Bagaimana tanggapan Anda tentang pengesahan revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara?

Dalam keadaan Covid-19, kenapa DPR justru mengeluarkan Undang-Undang Minerba sebagai yang pertama disahkan. Apa tidak ada yang lebih penting? Listrik sekarang menjadi kebutuhan dasar, bukan barang mewah lagi, Bung. Tanpa listrik, kau tak bisa bekerja dari rumah atau belajar jarak jauh. Ada PLN dan pembangkit listrik independen. Ini seharusnya dikembangkan masif dan didorong untuk mekanisme menggerakkan energi terbarukan.

Pemerintah dan DPR juga berkukuh melanjutkan pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Hakikat omnibus law adalah menaikkan wewenang dari daerah ke pusat karena di daerah terlalu banyak aturan dan bertele-tele. Pemerintah pusat menjadi figur sentral penggerak pembangunan. Tapi, faktanya, Bapak Presiden selama pandemi sudah mengeluh dua kali tentang rendahnya serapan anggaran pemerintah pusat. Dalam keadaan krisis Covid-19 yang demikian mendesak, kenapa daya serap tidak sampai 30-40 persen. Bayangkan kalau semua keputusan investasi ke pusat, sementara serapan anggaran Covid-19, jaring pengaman sosial saja rendah.

Apakah omnibus law justru bisa membuat program pemerintah tidak berjalan?

Saya hanya melihat kenyataan. Bahkan Kementerian Kesehatan kecil penyerapan anggarannya. Jadi ada masalah tata kelola pemerintahan. Kalau isu ini tidak kita tangani dan kita anggap daerah menjadi masalah sehingga kewenangan ditarik ke pusat, padahal masalah ini terbukti berada di pusat, yang marah kan Jokowi.

Emil Salim bersama sejumlah tokoh saat diundang Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 26 September 2019. TEMPO/Subekti

Pemerintah selalu beralasan regulasi di daerah yang berlapis-lapis telah membuat investor berpikir ulang menanamkan modalnya di Indonesia.

Itu argumen sebelum Covid-19. Omnibus law kan disusun sebelum Covid-19. Setelah Covid-19, kita lihat kok daya serap anggaran pemerintah pusat rendah. Apakah tidak berarti asumsi mengenai omnibus law sebelum Covid-19 tidak memperhitungkan perubahan atau kondisi faktual tentang efektivitas daya serap itu? Dua kali Jokowi marah dalam keadaan krisis.

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Maka asumsi itu harus diubah, dikaji ulang.

Bukankah pemerintah menyerahkan penanganan pandemi Covid-19 ke tiap daerah?

Semua orang bingung menghadapi Covid-19 karena tidak pernah ada pengalaman sebelumnya. Tidak ada resepnya, jadi semuanya belajar. Yang hendak saya tekankan adalah, ketika ada anggaran jaring pengaman sosial dan macam-macam tidak bisa diserap, persoalannya menjadi kapasitas absorbsi pemerintah pusat. Jadi pola pikir sebelum Covid-19 belum tentu berlaku setelah Covid-19.

Apakah omnibus law diperlukan Indonesia saat ini?

Mohon pertimbangkanlah bahwa suasana, logika, pola pikir, ekonomi global sebelum Covid-19 itu lain. Setelah Covid-19 semuanya berubah.

Salah satu argumen pemerintah adalah omnibus law dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian dengan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.

Kunci pembangunan adalah sumber daya manusia, bukan modal. Orang bilang nasionalisme Korea Selatan muncul karena ada Korea Utara. Kalau Jerman Barat karena ada Jerman Timur, Amerika Serikat karena ada Rusia. Selalu begitu. Tapi, faktanya, mereka mengutamakan sumber daya manusia dalam pembangunan negaranya.

Bagaimana Anda melihat kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini?

Saya prihatin melihat skor PISA (Programme for International Student Assessment) tahun lalu. Cina tertinggi dari 77 negara, lalu disusul Singapura. Indonesia peringkat 72. Skor PISA itu dihitung tiap tiga tahun. Pada 2015-2018, peringkat Indonesia turun terus di bidang berhitung, membaca, dan sains. Ada uraian dari teman-teman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, anak-anak kita ini kurang membaca. Jadi diujinya itu disuruh baca. Setelah 15 halaman disetop, si penguji menanyakan isi bacaannya. Banyak yang ndak tahu. Jadi daya tangkapnya kurang.

Apa yang perlu diperbaiki dari pendidikan kita untuk mendongkrak skor PISA?

Saya kira penekanan pada pengembangan sumber daya manusia perlu dilakukan besar-besaran. Lihat Singapura, ndak ada kekayaan alam tapi otaknya berkembang. Saya sekarang kagum kepada Cina. Mereka hebat. Cina sewaktu dipimpin Mao Zedong babak-belur. Miskinnya setengah mati. Rakyat di desa hancur lebur. Deng Xiaoping bilang belajar. Sejak sekolah dasar dikebut. Lalu semua sarjana belajar ke luar negeri dan kembali membawa teknologi. Itu yang membuat Donald Trump marah. Cina membangun pendidikan. Anda perhatikan juga India. Banyak orang India yang memimpin perusahaan teknologi global. Setelah Cina, nanti India jadi jagoannya, bukan Amerika.

Anda lama berkecimpung di pemerintahan dengan segudang pengalaman di bidang ekonomi dan lingkungan. Apakah Presiden Jokowi pernah meminta saran dari Anda?

Saya ini bukan siapa-siapa. Yang jelas, saya ndak pernah ditanya. Masak, saya bilang, “Ada Emil Salim di sini.” Saya ini pensiunan. Orang pensiunan mesti tahu diri.

Sejak kapan Anda peduli pada isu lingkungan?

Saya menghadiri konferensi lingkungan pertama di Stockholm, Swedia, pada 1972. Saya masih di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Saat itu, The Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan Paris Club membahas soal utang-utang luar negeri. Ramai dibahas tentang larangan ekspor kayu demi lingkungan. Saya masuk ke pemerintahan ketika utangnya lebih besar dari ekspor-impor. Kalau tidak boleh ini-itu, bagaimana Indonesia bayar utang. Saya bersama delegasi Brasil waktu itu menentang. Lalu datang Indira Gandhi (Perdana Menteri India). Kami bertiga berbincang. Indira Gandhi bilang begini, “Ada masalah pembangunan, itu betul. Tapi kalau kita tidak hati-hati terhadap kegiatan yang merusak lingkungan, yang menjadi korban rakyat miskin, bukan orang kaya. Saya mengalami itu di India.” Dari sanalah ada titik temu antara isu lingkungan dan kemiskinan. Itu yang kemudian saya bawa ke Jakarta.

Seperti apa konsep yang Anda bawa waktu itu?

Lingkungan juga harus bermanfaat bagi pemberantasan kemiskinan.



EMIL SALIM
 | Tempat dan tanggal lahir: Lahat, Sumatera Barat, 8 Juni 1930 | Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1958); Master of Arts dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat (1962); PhD bidang Ilmu Ekonomi dari University of California, Berkeley (1964); Profesor bidang Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia (1975) | Karier: Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973), Menteri Perhubungan (1973-1978), Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1983-1993), Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (sejak 1983), Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (1999), Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan (2007-2010), Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (2010-2014) | Penghargaan: Bintang Mahaputera Adipradana (1973), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1994)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus