Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemenangan Tipis Referendum Sawit

Masyarakat Swiss menyetujui perdagangan bebas dengan Indonesia. Tapi ada syarat agar minyak sawit dari Indonesia diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

20 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses bongkar muat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam rakit di Desa Rantau Bais, Rokan Hilir, Riau, 8 Maret 2021. ANTARA/Aswaddy Hamid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hasil referendum Swiss menyetujui kerja sama ekonomi dengan Indonesia.

  • Produk minyak sawit jadi pusat penolakan kelompok oposisi.

  • Partai kiri dan organisasi Swiss menilai minyak sawit Indonesia berperan dalam penggundulan hutan.

HASIL referendum masyarakat Swiss pada 7 Maret lalu menunjukkan persetujuan terhadap proposal kerja sama kemitraan ekonomi Swiss dengan Indonesia, khususnya dalam perdagangan minyak sawit. Para pemilih memberikan lampu hijau bagi perjanjian perdagangan bebas kedua negara dengan dukungan 51,6 persen berbanding 48,4 persen yang menolak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Swiss Guy Parmelin menyatakan hasil referendum menunjukkan rakyat Swiss merasa perjanjian dagang ini sudah benar dan berimbang. Menurut dia, Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit yang berkelanjutan dan keprihatinan para penentang akan tetap dipertimbangkan. "Pemungutan suara ini bukan memilih ekonomi di atas hak asasi manusia dan lingkungan," katanya seperti dikutip Swissinfo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Indonesia, yang telah lama melobi Swiss untuk kesepakatan ini, menyambut baik hasil referendum itu. "Kami harapkan kerja sama antara Swiss dan Indonesia akan dapat ditingkatkan," ujar Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga kepada Tempo, Kamis, 18 Maret lalu.

Negosiasi untuk memuluskan perjanjian dagang kedua negara sudah berlangsung lama. Pada akhir 2018, Swiss, sebagai anggota Perhimpunan Perdagangan Bebas Eropa (EFTA), meneken perjanjian dengan Indonesia yang disebut Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-EFTA (IE-CEPA). EFTA beranggotakan Swiss, Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein.

Dalam perjanjian itu, 98 persen produk Swiss akan dibebaskan dari bea-cukai Indonesia. Sebaliknya, sejumlah produk Indonesia dibebaskan dari tarif masuk, seperti emas, perhiasan, dan serat optik.

Untuk minyak sawit, bea masuk tidak akan dihapus, melainkan dikurangi 20-40 persen. Pengurangan ini hanya berlaku untuk volume hingga 10 ribu ton per tahun dan importir harus membuktikan minyak sawitnya diproduksi secara berkelanjutan.

Kesepakatan itu sebenarnya telah disetujui oleh parlemen Swiss pada Desember 2019. Namun keputusan diinterupsi oleh aliansi kelompok sayap kiri yang dipimpin petani anggur organik Jenewa, Willy Cretegny. Mereka mengumpulkan lebih dari 61 ribu tanda tangan untuk meminta pemerintah menggelar referendum mengenai kesepakatan ini. Dalam sistem demokrasi negeri di Pegunungan Alpen ini, keputusan parlemen dapat dibawa ke pemungutan suara nasional jika didukung oleh sedikitnya 50 ribu tanda tangan.

Perkara minyak sawit inilah yang sebenarnya menjadi pusat penolakan para penentang kesepakatan. Minyak sawit merupakan bahan utama dalam berbagai produk, dari makanan hingga kosmetik. Namun sejumlah penelitian menunjukkan pemanfaatan minyak sawit selama ini telah mendorong kerusakan lingkungan di Asia. Hasil penelitian Chain Reaction Research, lembaga riset Amerika Serikat, dengan citra satelit menemukan sekitar 38 ribu hektare hutan dibabat untuk perkebunan sawit di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini pada 2020. Pembabatan separuh lebih di antaranya dilakukan oleh 10 grup perusahaan sawit Indonesia dan sisanya oleh 112 perusahaan lain.

"Minyak sawit adalah simbol perdagangan bebas,” ucap Cretegny kepada AFP. "Masalah nomor satu dalam perdagangan bebas adalah bahwa ia merupakan alat untuk mendorong konsumsi, bahkan konsumsi yang berlebihan."

Barisan penentang ini berisi partai-partai kiri dan sejumlah organisasi non-pemerintah. Di antaranya Partai Hijau, yang menguasai 28 dari 200 kursi parlemen, dan beberapa perhimpunan petani kecil. Cretegny juga didukung organisasi lingkungan seperti Uniterre dan Pro Natura. Partai Sosial Demokrat, partai dengan 39 kursi parlemen dan anggota koalisi partai pemerintah, pada mulanya mendukung, tapi kemudian berbalik menentang kesepakatan ini karena tekanan sejumlah delegasi partai. Sedangkan anggota koalisi partai pemerintah lain, komunitas bisnis, pemerintah, dan federasi petani besar mendukung kesepakatan ini.

Kampanye menentang minyak sawit sempat membuat ekspor minyak sawit Indonesia anjlok, dari 161 ton pada 2018 menjadi 34 ton pada 2019, meskipun kembali naik menjadi 124 ton pada 2020. "Ini bukan lagi kampanye negatif, tapi kampanye hitam," tutur Jerry Sambuaga. "Namun kami terus melakukan lobi-lobi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan."

Hasil referendum ini memang memenangkan kesepakatan Indonesia, tapi juga menunjukkan kemajuan pengaruh gerakan lingkungan. Partai Hijau pernah mengajukan proposal yang mempromosikan produksi dan impor pangan berkelanjutan. Usul ini hanya meraih sekitar 39 persen suara dalam pemungutan suara nasional pada 2018. "Saya tidak kecewa sama sekali (atas hasilnya)," kata Cretegny kepada Swissinfo. "Kami sudah menang sebelum hasil diumumkan karena kami telah membuka debat soal ini."

Adapun Presiden Partai Sosialis Muda—partai yang berafiliasi dengan Partai Sosial Demokrat—Ronja Jansen menunjukkan kekecewaannya. "Sudah jelas sejak awal bahwa ini adalah pertarungan antara Daud dan Goliath," ujarnya kepada stasiun radio Swiss, SRF.

Menurut Jerry, hasil referendum ini akan berdampak baik bagi Indonesia. "Ini akan menjadi pintu masuk ke pasar Eropa sekaligus untuk melawan kampanye hitam yang masif terhadap produk Indonesia," ucapnya.

Simone de Montmollin, anggota parlemen dari Partai Radikal-Liberal yang mengkampanyekan kesepakatan ini, menekankan bahwa kesepakatan tersebut tidaklah mengabaikan masalah lingkungan. "Perdagangan bebas tidak berarti bebas dari semua syarat dan pembatasan. Prinsipnya adalah menyetujui aturan umum yang menguntungkan semua pihak," katanya. "Pemerintah Indonesia harus memperbaiki standar yang sekarang diterapkan."


Perdagangan Indonesia-Swiss 2020

Ekspor ke Swiss: US$ 2.398,2 juta
Barang ekspor: emas, perhiasan, timah, serat optik, minyak esensial, buldoser, dan lain-lain
Impor dari Swiss: US$ 701,1 juta
Barang impor: bom, granat, tinta cetak, jam tangan, dan lain-lain
Total: US$ 3.099,2 juta
Surplus: US$ 1.697,1 juta

SUMBER: KEMENTERIAN PERDAGANGAN


Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss, Muliaman Darmansyah Hadad, menyatakan IE-CEPA segera berlaku setelah kedua pihak meratifikasi kesepakatan tersebut. "Saat ini pemerintah Swiss sedang menyiapkan sebuah ordonansi atau petunjuk pelaksanaan untuk minyak sawit Indonesia," ujar Muliaman dalam pernyataan tertulis kepada Tempo pada Kamis, 18 Maret lalu. "Ordonansi ini untuk memenuhi janji kepada masyarakat Swiss bahwa minyak sawit Indonesia yang akan masuk ke pasar Swiss adalah minyak sawit yang berkelanjutan."

Ihwal kriteria berkelanjutan ini, Muliaman menjelaskan, kedua negara sedang bekerja sama untuk memperkuat Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) agar dimasukkan sebagai salah satu standar dalam ordonansi. ISPO adalah sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo melalui peraturan presiden pada 13 Maret 2020.

Meski kelompok oposisi menilai skema sertifikasi tidak efektif, pemerintah Swiss telah mengakui skema sertifikasi Perjanjian Meja Bundar tentang Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO) dan Kelompok Inovasi Minyak Sawit (POIG). Menurut Muliaman, ekspor minyak sawit Indonesia ke Swiss selama ini dilakukan oleh produsen yang memiliki sertifikat RSPO. "Bila ISPO masuk sebagai salah satu standar Swiss, pasar Swiss akan lebih terbuka bagi minyak sawit Indonesia," tuturnya.

IWAN KURNIAWAN (AFP, SWISSINFO)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus