Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengutipan uang jaminan pembayaran senilai Rp 52,3 miliar diduga dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Nama Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar turut terseret.
Diklaim akan disetor ke kas negara, pungutan tersebut tak punya dasar hukum.
KANTONG plastik bening berisi duit pecahan Rp 100 ribu tercogok di depan ruang lobi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin, 15 Maret lalu. Bertumpuk menjadi dua bagian, jumlahnya mencapai Rp 52,3 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duit tersebut mengendap di salah satu bank pelat merah sejak Juni 2020. KPK menyitanya hampir sepuluh bulan kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan bongkahan duit itu berkaitan dengan perkara suap perizinan ekspor benur yang menjerat bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. “Diduga berasal dari para eksportir yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan ekspor benih lobster pada 2020,” ujar Ali pada Senin, 15 Maret lalu.
Sejak menyidik perkara pada akhir November lalu, komisi antirasuah sudah menetapkan tujuh tersangka. Selain Edhy Prabowo, KPK menjerat Staf Khusus Menteri KKP Safri; Sekretaris Pribadi Menteri KKP Amiril Mukminin; anggota staf istri Menteri KKP, Ainul Faqih; dan Staf Khusus Menteri KKP Andreau Misanta Pribadi. Bos PT Aero Citra Kargo dan PT Perishable Logistics Indonesia, Siswadi, serta Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito juga menjadi tersangka. Mereka terjaring operasi tangkap tangan KPK pada 24 November 2020.
Edhy diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan US$ 100 ribu dari para pengusaha yang mengurus izin ekspor bayi lobster. Duit suap diputar lewat PT Aero Citra Kargo dan PT Perishable Logistics Indonesia. Kedua perusahaan bertugas menjadi penyedia tunggal jasa angkut ekspor benur.
Modus korupsi Edhy ternyata bukan hanya menetapkan monopoli jasa angkut. Menurut seorang penegak hukum, Edhy diduga memungut duit lain dengan modus pembayaran jaminan alias bank garansi. Duit yang terkumpul mencapai Rp 52,3 miliar. Uang ini yang belakangan disita KPK.
Saat mulai terendus, duit tersebut diklaim sebagai pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Namun peraturan soal pungutan tersebut belum diterbitkan pemerintah. Pada 25 November 2020, Kementerian Keuangan memastikan aturan PNBP ekspor benih belum keluar. Selama ini, ekspor berjalan tanpa aturan. “Masih dalam proses finalisasi di Sekretariat Negara untuk penyelesaiannya,” tutur Direktur Jenderal Anggaran kala itu, Askolani.
Penegak hukum tersebut mengatakan kecurigaan uang Rp 52,3 miliar itu berasal dari sumber ilegal karena pemungutan tak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Para pejabat bahkan disebut bisa mengintervensi langsung pungutan itu.
Dalam penentuan bank garansi ini, Edhy diduga memerintahkan Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar. Antam lantas menulis surat perintah kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Dia meminta BKIPM menarik jaminan pembayaran (bank garansi) dari para eksportir.
Ali Fikri menjelaskan, BKIPM kemudian merespons surat Antam dengan memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno-Hatta untuk menerima setoran bank garansi. Padahal setoran itu tidak punya alas hukum. “Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih bening lobster tersebut diduga tidak pernah ada,” ucap Ali.
Pungutan liar ini diduga diterapkan sejak KKP membuka keran ekspor bayi lobster pada 5 Mei 2020. Namun ekspor perdana baru berlangsung sebulan kemudian dengan Hong Kong dan Vietnam sebagai negara tujuan. Edhy menetapkan pungutannya Rp 1.000 per benur. Dalam klausul bank garansi, para pengusaha menyetor jaminan pembayaran maksimal Rp 75 juta tiap kali ekspor. Dari Juni hingga November 2020, sudah 41.135.605 ekor benur yang diekspor oleh 54 perusahaan.
Penyidik mengklarifikasi pungutan ini kepada Antam Novambar dan Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf pada Rabu, 17 Maret lalu. Antam tak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sedang berkunjung ke daerah pesisir. Tempo berupaya meminta konfirmasi tentang hal ini kepada purnawirawan komisaris jenderal itu lewat nomor WhatsApp-nya. Antam tak merespons pertanyaan dan surat permohonan wawancara hingga Sabtu, 20 Maret lalu.
Muhammad Yusuf diinterogasi penyidik KPK sekitar dua setengah jam. Dalam pemeriksaan itu, dia menjelaskan asal-muasal penetapan bank garansi terhadap para eksportir. Menurut dia, Menteri Edhy sudah mengajukan peraturan menyangkut PNBP ekspor benur ke Kementerian Keuangan sejak April 2020.
Kementerian Keuangan membalas surat dan meminta KKP merevisi beleid yang sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang PNBP di KKP. Edhy dan timnya kemudian menyiapkan draf perubahan. Peraturan pemerintah yang berlaku mencantumkan tarif ekspor lobster sebesar Rp 250 per 1.000 ekor.
Mengacu pada aturan itu, Yusuf mengatakan, Edhy menganggap duit yang diterima negara akan sangat kecil. Padahal, kata Yusuf, berdasarkan studi ke beberapa negara, benih lobster dibanderol US$ 5-8 per ekor. “Justru ini ikhtiar KKP menjamin hak negara diimplementasikan,” ujar Yusuf.
Lantaran keran ekspor telanjur dibuka, Yusuf mengatakan, Edhy tak ingin negara tidak memperoleh apa-apa. Meski belum ada payung hukum, Edhy mewajibkan eksportir untuk menyetorkan jaminan pembayaran.
Para perusahaan pun diklaim tak bisa mencairkan jaminan pembayaran jika belum mengantongi izin KKP. “Manakala regulasi PNBP tidak terbit, atau terbit tapi tidak berlaku surut, duit di bank garansi tadi dihibahkan untuk kas negara,” ucap Yusuf.
Yusuf mengatakan dia sempat berdebat soal peraturan tersebut dengan penyidik saat menjalani pemeriksaan. Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ini berharap uang yang disita KPK bisa dikembalikan ke KKP. Lembaganya berencana menyetorkan uang itu sebagai PNBP ke kas negara.
Ia membantah pengutipan kepada para pengusaha itu bagian dari modus baru menggasak uang. “Ini bukan modus korupsi baru. Tolong dilihat niat baik kami,” ujarnya. Bagi dia, yang penting uang itu masuk ke kas negara.
Kuasa hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo, mengatakan kliennya sempat terkejut saat KPK menyita duit Rp 52,3 miliar itu. Menurut dia, Edhy malah bertanya soal asal-usulnya. Ketika disebutkan nominalnya, bekas menteri dari Partai Gerindra itu akhirnya mengingat bahwa duit berasal dari bank garansi para eksportir.
Edhy menganggap jaminan pembayaran itu bukan korupsi. “Uang itu bisa dihibahkan ke Kementerian Keuangan atau berbagai cara lainnya,” ujar Soesilo. Ia mengatakan Edhy tak menggunakan uang jaminan pembayaran tersebut untuk keperluan pribadi. “Uang itu akan menjadi milik negara. Pak Edhy tidak mengambilnya,” katanya.
Soesilo mengatakan Edhy memang orang yang pertama kali meminta adanya jaminan pembayaran dari para eksportir. Seperti Yusuf, Edhy tak ingin negara hanya mendapat jatah secuil dari ekspor benur. “Pak Edhy ingin uang yang masuk ke negara gede,” ujarnya.
LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo