Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasil pemilihan umum Bolivia pada 2019 kembali dipertanyakan.
Pemilihan itu dituduh curang oleh OAS dan Presiden Evo Morales dipaksa mundur.
Para peneliti menemukan klaim OAS itu tanpa bukti.
PRESIDEN Bolivia sementara, Jeanine Áñez Chávez, akhirnya memaraf undang-undang untuk menghelat pemilihan umum pada 6 September nanti. Pemilihan seharusnya digelar pada 3 Mei, tapi tertunda karena pandemi Covid-19. “Saya mendapat tekanan yang menuntut pemilihan digelar pada 6 September, ya, di tengah pandemi. Negara saya sedang menderita, tapi banyak politikus dan otoritas yang menuntut pemilihan sesegera mungkin,” katanya, Senin, 22 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari sebelumnya, Bolivia mencatat jumlah kasus Covid-19 harian tertinggi, lebih dari 1.000 dalam sehari, sehingga total mencapai 23.512. Menteri Kesehatan Eidy Roca menyatakan pada puncak pandemi diperkirakan ada 130 ribu kasus, pertengahan September mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Áñez mengangkat dirinya sebagai presiden setelah Evo Morales mundur dari kursi yang didudukinya selama hampir 14 tahun itu pada November tahun lalu. Morales undur diri setelah terjadi gelombang unjuk rasa memprotes dugaan kecurangan dalam pemilihan umum 2019. Mundurnya Morales diikuti para sekondannya: Wakil Presiden Álvaro Marcelo García Linera, Ketua Senat Adriana Salvatierra Arriaza, dan Wakil Ketua Senat Pertama Rubén Medinaceli. Lengsernya para pemimpin itu membuat Áñez selaku Wakil Ketua Senat Kedua menjadi orang yang berhak mengambil alih kekuasaan sesuai dengan konstitusi.
Pemilihan umum pada 20 Oktober tahun lalu merupakan laga bagi Morales, pemimpin Partai Gerakan untuk Sosialisme-Instrumen Politik untuk Kedaulatan Rakyat (MAS-IPSP), dengan Carlos Mesa dari koalisi Partai Komunitas Sipil dan Chi Hyun Chung dari Partai Kristen Demokratik. Hasilnya, Morales meraih 47,08 persen suara, Mesa 36,51 persen, dan Chi 8,78 persen. Pemilihan umum itu juga menghasilkan 21 kursi di Senat untuk partai Morales dan 14 bagi partai Mesa, sementara partai Chi tak kebagian kursi.
Mesa menuduh terjadi kecurangan dalam penghitungan suara. Laporan audit awal hasil pemilihan umum oleh Organisasi Negara-negara Amerika (OAS)—perhimpunan 35 negara di Benua Amerika yang berkantor pusat di Washington, DC, Amerika Serikat—menyimpulkan ada ketidakberesan dalam penghitungan suara. “Manipulasi pada sistem komputer yang begitu besar harus diinvestigasi oleh negara untuk mencari penyebabnya dan siapa pihak yang bertanggung jawab,” demikian laporan OAS, yang kemudian merekomendasikan Bolivia membentuk komisi pemilihan baru dan menggelar pemilihan ulang.
Laporan OAS memicu demonstrasi besar di mana-mana. Kekerasan pecah. Massa membakar kantor-kantor penyelenggara pemilihan umum. Ketika kepolisian, militer, dan sekutu politiknya mencabut dukungan, Morales meninggalkan Bolivia dan mendapat suaka di Meksiko. Belakangan, Morales mengatakan militer telah mengkudetanya. Ia mengklaim seorang perwira telah menunjukkan sebuah pesan yang menyatakan kepalanya dihargai US$ 50 ribu atau sekitar Rp 700 juta.
Temuan OAS didukung penuh Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo. Pada Januari lalu, Pompeo beranjangsana ke kantor OAS di Washington dan memuji peran audit organisasi tersebut dalam mengusir Morales dari Bolivia sebagai langkah untuk menegakkan demokrasi.
Media kritis yang berbasis di Amerika Serikat, The Intercept, menilai media-media berpengaruh Amerika beramai-ramai mengamini pendapat Pompeo. The Economist, misalnya, memuji “kudeta” itu dengan menyatakan bahwa “angkatan bersenjata telah berbicara terus terang tentang demokrasi dan konstitusi untuk melawan usaha kediktatoran” pada pekan ketika Morales eksil. Media tersebut juga menulis selusin cuitan yang mengklaim bahwa Morales-lah ancaman bagi demokrasi Bolivia.
Washington Post juga mendukung temuan OAS. Editorial surat kabar itu bahkan menyatakan “Bolivia sedang dalam bahaya tergelincir jatuh ke dalam anarki. Itu kesalahan Morales”. Editorial New York Times turut menerima temuan OAS dan menilai kemenangan Morales dihasilkan oleh pemilihan umum yang cacat.
Glenn Greenwald menulis di The Intercept bahwa dalam urusan kudeta Bolivia ini, “media Amerika Serikat menggunakan standar lama ketika menggambarkan kudeta militer terhadap sebuah pemerintahan yang tidak disukai sebagai kemenangan bagi demokrasi”. Media, kata Greenwald, “mengadopsi pandangan Departemen Luar Negeri secara buta dan patuh, lalu mendukungnya tanpa bersikap kritis”.
Belakangan, New York Times berubah sikap. Pada 7 Juni lalu, surat kabar itu menerbitkan artikel yang menunjukkan bukan pemilihan umum Bolivia, melainkan hasil audit OAS yang “tercemar ketidakberesan yang parah” sehingga mustahil menjamin integritas data dan menetapkan akurasi atas klaim organisasi itu. “Pengamatan lebih dekat atas data pemilihan Bolivia menunjukkan analisis awal oleh OAS yang menduga terjadinya manipulasi suara—dan turut memaksa seorang presiden mundur—itu cacat,” demikian New York Times menulis.
Kesimpulan tersebut didasari studi independen tiga sarjana di universitas Amerika yang menguji data pemilihan Bolivia yang diperoleh New York Times. Studi itu menemukan analisis statistik OAS keliru. Mereka menyatakan “ketidakberesan” penghitungan suara yang disebut OAS itu sebenarnya kesalahan analisis yang dapat dijelaskan tanpa perlu menuding telah terjadi kecurangan. Penelitian hanya berfokus pada klaim OAS dan tidak dimaksudkan untuk menilai pemilihan Bolivia sepenuhnya bebas dari kecurangan.
Sebetulnya, tak lama setelah laporan OAS keluar, Center for Economic and Policy Research (CEPR), lembaga penelitian yang berbasis di Inggris, menerbitkan laporan yang menyoroti sejumlah cacat dalam penghitungan suara oleh OAS. Mereka menilai klaim OAS tersebut dibuat tanpa bukti dan OAS pun tak dapat menunjukkan adanya ketidakberesan sistemik dan meluas dalam pemilihan umum. Dalam laporan lebih dalam sepanjang 82 halaman pada Maret lalu, CEPR menyimpulkan: “Kegiatan misi pemantauan OAS dalam pemilihan umum Bolivia 2019 adalah contoh mutakhir dari misi pemantauan pemilu yang sangat bermasalah. Sikap OAS yang tidak jujur, bias, dan tidak profesional telah menyebabkan kerusakan serius terhadap demokrasi di negara tersebut.”
Namun nasi telah menjadi bubur. Evo Morales, yang dijuluki “Companero Evo” alias “Kawan Evo” oleh para pendukungnya, telah terdepak. Ia kini menjadi pengungsi di Argentina. Konfederasi Pekerja Pendidikan Argentina dan organisasi lain menyediakan kantor, komputer, Internet, dan kebutuhan lain secara gratis. Setiap pukul delapan pagi, ia mulai beraktivitas dan bertemu dengan para jurnalis, bekas duta besar di Bolivia, dan pendukungnya.
Kepada BBC Mundo, Rabu, 24 Juni lalu, Morales memastikan bahwa dia tak akan kembali ke Bolivia. Tapi ia membantu menyiapkan strategi untuk memenangkan Luis Arce, bekas menteri ekonominya yang maju sebagai kandidat presiden dalam pemilihan umum September mendatang. Ia menyatakan partainya, Gerakan untuk Sosialisme, akan kembali ke pemerintahan. “Melalui demokrasi, bukan dengan kekerasan seperti yang mereka lakukan,” tuturnya.
IWAN KURNIAWAN (AFP, AP, THE INTERCEPT, NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST, BBC MUNDO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo