Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Privilese untuk Legasi Jokowi

Rencana pembukaan Universitas Islam Internasional Indonesia pada 2020 mundur karena alasan pandemi. Dibangun sejak tahun lalu, proyek senilai Rp 3,9 triliun itu belum berwujud.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia di Cimanggis, 22 Juni 2020./TEMPO/ Riky Ferdianto
Perbesar
Pekerja beraktivitas di proyek pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia di Cimanggis, 22 Juni 2020./TEMPO/ Riky Ferdianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Universitas Islam Internasional Indonesia menargetkan menerima 150 mahasiswa magister dan doktoral pada tahun pertama.

  • Digagas sejak 2015, pembangunan kampus yang menelan anggaran Rp 3,9 triliun ini belum rampung.

  • Sejumlah rektor universitas Islam sempat mempertanyakan pembangunan UIII.

LAMAN muka situs uiii.ac.id menampilkan aneka informasi tentang Universitas Islam Internasional Indonesia. Salah satu gambar memperlihatkan arsitektur bangunan utama kampus yang berbentuk segitiga. Digeser ke kanan, ada salam dari rektor hingga berita tentang peletakan batu pertama universitas oleh Presiden Joko Widodo pada Juni 2018. Di bawahnya, ada pilihan “daftar sekarang”. Tapi, ketika diklik, tak beranjak ke laman berikutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Seharusnya dari Februari ini pendaftarannya. Karena pandemi, kami undur. Targetnya 2021 dimulai,” kata Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat pada Kamis, 25 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Presiden Jokowi menunjuk Komaruddin sebagai Rektor UIII pada 4 Juni 2019 meski bangunan kampus belum berwujud. Berlokasi di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, kampus seluas 142,5 hektare itu masih dalam tahap pembangunan sejak setahun yang lalu. Proyek ini ditaksir bakal menghabiskan anggaran Rp 3,9 triliun.

Komaruddin mengatakan ia mengusulkan pembangunan kampus Islam bertaraf internasional kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2015. Ketika berdiskusi dengan Jokowi di Istana Bogor pada tahun itu, misalnya, Komaruddin menceritakan bahwa ia kerap didorong oleh delegasi negara Timur Tengah, Eropa, Afrika, ataupun Amerika agar Indonesia menjadi negara tujuan studi Islam. Alasannya, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki keberagaman budaya, dan demokratis.

Jusuf Kalla sepakat dengan Komaruddin. Menurut dia, pemikiran soal Islam yang berpengaruh selalu datang dari luar Indonesia. Apabila ingin belajar soal Islam lebih dalam, orang Indonesia berangkat ke negara seperti Mesir, Arab Saudi, Yaman, dan Maroko. “Jadi kita ini kuantitasnya saja yang besar, tapi tidak menjadi pusat pemikiran Islam,” ujar Kalla.

Menurut Kalla, Islam di Indonesia lebih moderat dibanding Islam di sejumlah negara Timur Tengah. Kalla bercita-cita, suatu saat orang dari luar negeri belajar Islam ke Indonesia sehingga mendapatkan pemahaman soal Islam yang moderat.

Setelah Jokowi dan Kalla memberikan lampu hijau, Komaruddin menyiapkan proposal. “Saya jualan visi dan terus melobi perkembangannya,” ucap mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu. Ia kerap bermain golf bersama Kalla sembari mendiskusikan rencana pembangunan kampus.

Upaya Komaruddin membuahkan hasil. Jokowi menunjuk Kalla sebagai Ketua Wali Amanat dan mengawal langsung pembangunan kampus serta pencarian lokasi. Empat kementerian, yakni Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan, juga dilibatkan.

Menurut Komaruddin, tak mudah mencari lokasi di atas tanah negara yang luas dan dekat dengan pusat kota. Sempat ada usul agar letaknya di Bogor, Sukabumi, ataupun Tangerang. Tapi akhirnya tim memilih lokasi di Cimanggis, Depok, di lahan negara seluas 142,5 hektare yang sebelumnya digunakan Radio Republik Indonesia. Pengalihan lahan diurus Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan RRI pada 2016.

Meski demikian, pemerintah tak serta-merta bisa langsung membangun kampus lantaran ada 600 keluarga yang menempati lahan secara ilegal. “Menjelang pemilihan umum juga. Kami tidak ingin membuat keributan, bisa ditunggangi isu politik. Jadi kami tunda dulu,” kata Komaruddin.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada acara peletakan batu pertama proyek Kampus UIII di area Gedung Pemancar LPP RRI, Cimanggis, Kota Depok, Selasa , 5 Juni 2018./dok Pemprov Jabar

Sembari menunggu pembangunan, Komaruddin dan tim Kementerian Agama berpesiar ke Kanada, Inggris, Amerika Serikat, serta negara-negara Asia Tengah untuk menjalin komunikasi dengan pejabat dan komunitas akademik di sana. “Mereka siap mengirim dosen dan mahasiswa,” ujarnya. Salah satu kekhasan kampus ini kelak, yang dipromosikan Komaruddin saat mengunjungi negara-negara tersebut, adalah membangun mazhab Islam Indonesia yang memadukan “keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan”.

Di tengah proses tersebut, muncul pertanyaan dari sejumlah rektor dan akademikus kampus Islam di dalam negeri. Guru besar UIN Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan sejumlah rektor universitas Islam negeri sempat mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengoptimalkan kampus yang ada ketimbang membangun kampus baru dari nol. Azyumardi sendiri sempat menyodorkan enam UIN di Jakarta, Banda Aceh, Bandung, Makassar, Yogyakarta, dan Malang untuk dijadikan kampus berkualitas internasional. “Maka enam itu diberi dana afirmasi untuk menjadi perguruan tinggi berlevel internasional,” ucapnya.

Selama ini, kata Azyumardi, UIN tak bisa melesat karena minim anggaran, tersandera birokrasi, dan sempitnya otonomi kampus. “Terlalu banyak campur tangan politik. Inilah yang juga saya dengar dari Prof Komar ketika meyakinkan Pak Kalla bahwa alternatif terbaik adalah membangun dari nol,” ujar Azyumardi.

Selama ini, kebanyakan UIN terbelenggu oleh statusnya sebagai perguruan tinggi negeri badan layanan umum (PTN-BLU). Sebagai PTN-BLU, UIN tidak bisa mandiri membuka dan menutup program studi di lembaganya. Ini yang membedakannya dengan kampus berstatus perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH) yang memiliki fleksibilitas dalam kurikulum dan pengelolaan keuangan.

Pemerintah menyematkan status PTN-BH terhadap Universitas Islam Internasional Indonesia. Padahal syarat untuk menjadi PTN-BH, universitas harus memiliki unit usaha yang mendatangkan uang. Selama ini, UIN terganjal menjadi PTN-BH karena tak memiliki unit usaha. “Itu yang saya sebut UIII proyek politik karena tidak mengikuti prosedur dan persyaratan formal,” kata Azyumardi.

Rektor UIII Komaruddin Hidayat mengakui kampusnya mendapatkan privilese dari pemerintah. “Karena ini nanti menjadi legasi pemerintahan Pak Jokowi,” ujarnya. Ia mengatakan pembangunan kampus UIII juga diputuskan oleh Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Syaifuddin. “Kami juga memutuskan membuka program magister dan doktoral, bukan strata 1 karena akan mengambil jatah kampus lain,” ucapnya.

Ada tujuh fakultas yang disiapkan, yakni kajian Islam, ilmu sosial humaniora, ekonomi Islam, sains dan teknologi, pendidikan, serta arsitektur dan seni. Pada tahap awal, universitas membuka tiga jurusan dulu, yakni studi Islam, ilmu politik, dan ekonomi bisnis.

Saat dimintai konfirmasi, Lukman Hakim Syaifuddin enggan menjelaskan keputusannya yang turut menyetujui pembangunan UIII. “Sebaiknya ditanyakan saja hal tersebut langsung kepada pejabat yang kini masih menjabat,” ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. “Semoga maklum.”

Komaruddin kini berkejaran dengan waktu. Meski bangunan kampus belum jadi, ia bersyukur sudah mendapatkan rekan di struktur UIII, yakni Wakil Rektor Bidang Kelembagaan dan Kerja Sama Jamhari Ma’ruf dan Wakil Rektor Bidang Pengembangan Ekonomi Dadang Muliaman Satria. “Ada enam pegawai resmi dan dibantu panitia ad hoc,” tuturnya. Mereka sedang menjaring dosen dan menargetkan menerima150 mahasiswa magister serta doktoral angkatan pertama.

LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Linda Trianita sedang menempuh Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia. Alumni Executive Leadership Program yang diselenggarakan oleh Asian American Journalists Association (AAJA) Chapter Asia pada 2022 fellowship dari Google News Initiative. Menyabet Juara 1 Kategori Investigasi ExcEl Award (Excellence in Election Reporting in Southeast Asia) 2021 dan 6 Finalis Kategori Media Besar Global Shining Light Awards 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus