Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Timor Leste akan memasukkan kembali pasal pencemaran nama dalam hukum pidana.
Rencana itu dinilai bisa mengancam kebebasan pers.
Desakan pencabutan datang dari dalam dan luar negeri.
TIMOR Leste menempati peringkat ke-78 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers Wartawan Tanpa Batas (RSF) tahun ini. Peringkatnya membaik dari ke-84 pada 2019. Negara yang baru merdeka 18 tahun lalu itu hampir selalu memimpin dalam soal indeks kebebasan pers di Asia Tenggara. Namun “prestasi” negara berpenduduk 1,2 juta jiwa itu dalam ancaman setelah pemerintah berencana merevisi hukum pidananya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 5 Juni lalu, Menteri Hukum Manuel Cárceres menyampaikan rencana pemerintah mengamendemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan memasukkan pasal penghinaan dan pencemaran nama. Ancaman terhadap pelanggarannya bisa berupa hukuman tiga tahun penjara. Menurut Cárceres, pasal baru ini akan mendorong masyarakat lebih menghormati para pemimpin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Hukum Timor Leste, Manuel Cárceres./Facebook Gabinete do Ministro da Justiça RDTL
Langkah pemerintah di bawah pimpinan Perdana Menteri Taur Matan Ruak ini mengundang kritik dari dalam dan luar negeri. “Dewan Pers Timor Leste, begitu memperoleh rancangan undang-undang itu, langsung menyatakan sikap menolak,” kata Ketua Dewan Pers Timor Leste Virgilio Guterres kepada Tempo, Kamis 25 Juni lalu. “Kami sedang menyiapkan alasan-alasan fundamental penolakan kami.”
RSF, yang berkantor pusat di Paris, mendesak pemerintah membatalkan rencananya. Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), yang menaungi 600 ribu wartawan di seluruh dunia, menyampaikan desakan serupa. “Timor Leste telah memimpin kebebasan pers dalam beberapa tahun terakhir dan dihormati tetangganya atas visinya tersebut. Sangat memprihatinkan ketika melihat hal ini didorong masuk dengan penyamaran wabah Covid-19,” ucap Direktur IFJ Asia-Pasifik Jane Worthington kepada Tempo, Kamis 25 Juni lalu.
Timor Leste, yang merdeka dari Indonesia pada 2002, memberikan perlindungan atas kebebasan pers dalam konstitusinya. “Kebebasan pers dan segala bentuk sarana komunikasi sosial lain dijamin,” demikian tertulis dalam Pasal 41 Konstitusi 2002. Pasal itu juga memuat perlindungan atas hak jurnalis mengakses informasi, independensi redaksinya, serta hak membuat surat kabar, penerbitan, dan sarana penyebaran informasi lain.
Namun negeri itu juga memiliki sejumlah regulasi warisan penjajahan Portugis dan Indonesia yang dinilai tidak sejalan dengan hal tersebut. Undang-undang inilah yang dipakai para pejabat untuk menggugat wartawan, seperti yang terjadi pada 2008. Saat itu, Menteri Kehakiman Lucia Lobato menuntut José Belo, penerbit surat kabar investigasi Tempo Semanal, dengan pasal pencemaran nama.
Pemicunya adalah sejumlah artikel di Tempo Semanal yang mengindikasikan Lucia Lobato melakukan korupsi dan menggunakan kewenangannya untuk membuat teman-teman serta anggota keluarganya menduduki posisi di pemerintahan dan bergaji tinggi. Lobato melaporkan Belo dengan pasal pencemaran nama dalam undang-undang warisan kolonial yang menjadikan pencemaran nama sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Tuntutan Lobato itu memantik kritik karena pada saat yang sama pemerintah sedang dalam proses menyusun undang-undang baru yang akan memindahkan pasal fitnah dari hukum pidana menjadi perdata. “Sangat menyedihkan bagi negara saya bahwa mereka terus menggunakan hukum penjajah untuk menuntut saya,” tutur Bello. “Kami harus memiliki hukum sendiri.”
Setelah dakwaan terhadap Belo diajukan, beberapa kelompok pembela kebebasan pers internasional mengkritik pemerintah. Sejumlah lembaga, seperti East Timor and Indonesia Action Network, Pacific Media Watch (PMW), dan Pusat Jurnalisme Independen Australia (ACIJ), mengirim surat kepada Presiden José Ramos-Horta dan mendesaknya agar membatalkan tuntutan terhadap Belo.
Ramos-Horta mendengarkan kritik tersebut. Pada Juni 2009, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1996 bersama Uskup Ximenes Belo ini mengesahkan undang-undang yang menghapus pasal pencemaran nama sebagai tindak pidana dan mengubahnya menjadi hukum perdata. Segera setelah keluarnya undang-undang baru itu, tuntutan terhadap Belo dan Tempo Semanal dihentikan.
Undang-undang tahun 2009 itu memang tak lantas menghentikan adanya penuntutan terhadap wartawan. Pada 2015, Perdana Menteri Rui Maria de Araújo menuntut Raimundos Oki dan editornya di Timor Post, Lourenco Vicente Martins, karena berita 10 November 2015. Berita itu menyebutkan kemungkinan Araújo terlibat “kecurangan tender” dalam kontrak komputer pemerintah.
Dalam kasus ini, Oki dan Martins dijerat menggunakan pasal dalam undang-undang pidana yang mengatur soal kecaman bernada fitnah dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara. Sekali lagi langkah pemerintah ini mengundang kritik dari dalam dan luar negeri. Pengadilan Dili, dalam sidang putusan pada 1 Juni 2017, menolak gugatan Araújo karena kurangnya bukti.
Lalu muncullah rencana Menteri Hukum Manuel Cárceres itu. Dalam draf undang-undang itu, yang akan dibahas oleh Dewan Menteri, ada keinginan merevisi hukum pidana dengan kembali memasukkan pasal pencemaran nama. Dengan ketentuan ini, setiap orang yang menerbitkan “fakta” atau “opini” di media sosial yang dapat menyinggung kehormatan, nama, dan reputasi anggota pemerintah serta pejabat gereja atau pejabat publik saat ini atau yang sudah berhenti bisa dituntut dan dihukum tiga tahun penjara. “Kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dijamin dalam konstitusi. Prinsip hukum pencemaran nama ini datang bukan untuk menghukum, tapi mencegah kami melakukan kesalahan,” kata Cárceres.
Menurut Jim Nolan, penasihat hukum IFJ, masalah nyata yang hendak ditangani oleh rancangan itu adalah dampak dari meluasnya penggunaan media sosial, yang jumlah penggunanya sekitar 410 ribu. Namun, Nolan menambahkan, rancangan itu tidak membedakan antara media umum dan media sosial. Jika disahkan, aturan ini akan mengembalikan warisan hukum Portugis yang sudah dicabut pada 2009. Ia juga menyebutkan hal ini bisa mengancam status Timor Leste yang selama ini menjadi satu-satunya negara yang mencabut pasal pencemaran nama dari hukum pidana.
Virgilio Guterres mengakui adanya keprihatinan pejabat atas berseliwerannya pernyataan bernada kecaman di media sosial. “Dari sini kita bisa melihat dengan jelas tujuan pembuatan rancangan ini: bukan untuk menjamin kebebasan warga negara, tapi melindungi para pemegang kekuasaan,” ucapnya. Guterres juga mengingatkan bahwa urusan media sosial harus diatur dengan kerangka legal lain, bukan mengubah undang-undang pidana. Ia mengibaratkan dunia maya sebagai lautan. “Jika kita tak bisa berenang, jangan salahkan gelombang.”
Kritik keras juga datang dari José Ramos-Horta. Ia menyarankan, jika tidak ingin media dan media sosial melaporkan hal-hal memalukan, orang-orang harus menjaga perilaku. Dia juga menyebutkan beberapa undang-undang di sektor media yang dianggap “kejam” di tingkat internasional dan itu berkontribusi pada penurunan peringkat kebebasan pers negara ini. “Saya tidak melihat bagaimana undang-undang baru ini akan membantu kebebasan berekspresi di Timor Leste dan nama Timor Leste sebagai negara dengan demokrasi penuh,” ujarnya seperti dilansir PMW.
Guterres menyebut pemidanaan dalam kasus pencemaran nama sebagai delik legal yang usang, ketinggalan zaman, dan menjadi racun bagi demokrasi. “Meloloskan undang-undang ini sama saja dengan mengirim demokrasi ke liang lahad. Bahaya bagi pers sangat nyata karena pers akan menjadi target utama. Jurnalis-jurnalis yang memberitakan hal-hal kritis terhadap pemerintah atau penjabat publik akan mudah dicap sebagai ‘penghina’ dan ‘pencemar' nama’,” tuturnya.
Timor Leste Press Union (TLPU) mendesak rancangan itu dicabut karena bertentangan dengan konstitusi dan keadaan darurat pandemi digunakan untuk mengesahkan undang-undang yang bisa menghukum pencaci pemerintah. “Bahaya dari undang-undang itu bagi kebebasan pers adalah membuat pembatasan kepada media untuk melakukan fungsi kontrol sosial atau pengawasan,” ujar Ketua TLPU Manuel Pinto kepada Tempo, Kamis, 25 Juni lalu.
Pemerintah bereaksi atas banjir kritik ini. Menurut Manuel Pinto, Perdana Menteri Taur Matan Ruak menginstruksikan Menteri Hukum menyebarluaskan draf itu, mendiskusikannya, dan menampung lebih banyak masukan sebelum mengajukannya ke Dewan Menteri. “Pemerintah sebaiknya mendengarkan Dewan Pers dan jurnalisnya sendiri sebelum menempuh jalan yang melampaui norma-norma internasional,” kata Jane Worthington.
ABDUL MANAN, RAIMUNDOS OKI (DILI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo