Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Gerilya Politik Pemerintah Tandingan

Pemerintah tandingan di Myanmar terus menggalang dukungan politik dan publik untuk melawan junta militer. Mulai membentuk pasukan yang didukung berbagai milisi etnis.

8 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anggota pemerintah tandingan Myanmar bekerja dalam pengasingan.

  • Mereka semua masuk daftar buruan junta militer.

  • Membentuk pasukan baru dan berkolaborasi dengan milisi etnis bersenjata.

BERADA di persembunyian dan menjadi buruan junta militer Myanmar, Salai Maung Taing San rutin mempublikasikan acara dan diskusi yang diikutinya di dunia maya. Lewat bantuan media komunikasi daring, juru bicara Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) yang akrab disapa dokter Sasa itu bertemu dengan sejumlah tokoh politik, termasuk anggota Komite Hak Asasi Parlemen Jerman. "Saya melaporkan perkembangan bencana di Myanmar setelah kudeta ilegal dan berbicara dengan pemerintah Jerman," kata Sasa lewat akun Twitter-nya pada Kamis, 6 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua hari sebelumnya, Sasa bertemu secara daring dengan Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Thomas Andrews. Pada Sabtu, 1 Mei lalu, ia bersama Menteri Kesehatan, Pendidikan, dan Olahraga NUG Zaw Wai Soe berbicara di forum yang digelar warga keturunan Myanmar di Indianapolis, Amerika Serikat. Dalam acara itu, turut hadir anggota Kongres Amerika, Andre Carson, dan Wakil Wali Kota Indianapolis Judith B. Thomas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti Sasa, Menteri Zaw Wai Soe diburu junta militer. Sebelum kudeta militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing terjadi pada 1 Februari lalu, dokter bedah ortopedi asal Yangon itu adalah anggota tim perancang strategi penanganan pandemi Covid-19 di Myanmar. Ketika gelombang aksi protes menentang kudeta merebak, Zaw berada di lini depan gerakan pembangkangan sipil melawan junta militer.

Sasa, warga keturunan suku Chin, adalah salah satu tokoh sentral gerakan perlawanan itu. Pada malam sebelum kudeta, Sasa sebenarnya sedang berada di Naypyidaw, ibu kota Myanmar. Dia datang setelah diminta bergabung dengan kabinet Aung San Suu Kyi setelah partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi menang telak pada pemilihan umum tahun lalu. Sasa menjadi salah satu motor kemenangan NLD di Negara Bagian Chin, yang terletak di sebelah barat Myanmar dan berbatasan dengan India.

Ketika kudeta pecah, tentara menahan Suu Kyi dan sejumlah petinggi partai NLD. Militer juga mencokok Presiden Win Myint, sekutu Suu Kyi. Sasa lolos dari sergapan tentara yang sudah mengepung kota. "Saya diminta pergi secepat mungkin supaya tetap ada orang yang bisa membawa suara rakyat," ucap Sasa seperti dilaporkan ABC News pada 24 April lalu.

Di tengah jaringan komunikasi yang mati total, Sasa menyamar sebagai sopir taksi agar bisa keluar dari Naypyidaw. Dia sempat beralih mengendarai sepeda motor dan menumpang truk untuk menjauh dari kota dan mengungsi ke wilayah pegunungan. Sempat berpindah tempat beberapa kali untuk memastikan keamanan dirinya, Sasa tak pernah menyebutkan posisinya saat ini. "Tiga hari tiga malam saya menyamar di jalanan untuk menyelamatkan diri," tuturnya.

Setelah pemerintah tandingan NUG dideklarasikan pada 16 April lalu, Sasa ditunjuk menjadi Menteri Kerja Sama Internasional. Sejak itulah dia menjadi penghubung NUG dengan dunia. Sasa memiliki jutaan pengikut di akun Facebook dan Twitter. Dia juga membuka kanal laporan bagi publik untuk menyampaikan bukti-bukti kekerasan yang dilakukan junta militer.

Meski tengah mengungsi, Sasa kerap tampil necis dengan jas dan dasi ketika mengikuti berbagai acara daring. Dinding putih yang Sasa pilih sebagai latar belakang membantu dia menyamarkan lokasinya. "Dengan berada di pemerintahan, saya berharap bisa memberikan banyak hal yang diperlukan rakyat," ujar Sasa, yang dulu mendirikan pusat pelatihan kesehatan Health and Hope untuk membantu penduduk di pelosok Chin.

Keterlibatan Sasa dalam kabinet NUG membuat junta militer menudingnya terlibat aksi makar. Dia terancam hukuman mati. Sasa tak mundur. Dia juga tak menyesali pilihan tampil di depan publik dengan risiko yang membahayakan nyawanya demi mewujudkan demokrasi dan melawan junta militer. "Mereka yang menyatakan perang terhadap rakyat Myanmar," katanya seperti dilaporkan Reuters.

Warga sipil Myanmar membawa bendera federal sebagai bentuk dukungan pembentukan National Unity Goverment (NUG) di Yangon, Myanmar 18 April 2021. REUTERS / Stringer

Pemerintah NUG merupakan koalisi partai NLD, perwakilan kelompok etnis minoritas Myanmar, dan para pendukung demokrasi. Dalam kabinet NUG, Suu Kyi menjabat Penasihat Negara dan Win Myint menjadi Presiden. Wakil Presiden Duwa Lashi La adalah pengacara dan Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Kachin, organisasi etnis di Kachin. Adapun Mahn Win Khaing Than, warga etnis Karen dan ketua parlemen di era Suu Kyi, didapuk menjadi Perdana Menteri.

Junta militer telah merilis perintah penangkapan terhadap semua pejabat dalam kabinet NUG. Daftar itu memuat nama Ei Thinzar Maung, aktivis prodemokrasi 26 tahun yang menjadi anggota termuda di kabinet NUG dengan jabatan Wakil Menteri Perempuan, Pemuda, dan Anak-anak. Meski diincar militer, anggota kabinet NUG tetap bekerja dari tempat persembunyian masing-masing.

NUG bahkan mengumumkan pembentukan Kementerian Hak Asasi Manusia pada awal Mei lalu. Aktivis hak asasi manusia Aung Myo Min dipercaya memimpin kementerian ini. Menurut Aung Myo Min, junta militer telah melakukan pelanggaran hak asasi berat dan hukum internasional. "Kami akan memastikan para pelakunya bertanggung jawab dan para korban mendapatkan keadilan."

Berada di lokasi yang dirahasiakan, Menteri Luar Negeri NUG Zin Mar Aung juga terus menjalankan usaha diplomasi di panggung dunia. Mar Aung adalah salah satu pengkritik keras junta militer sejak awal 1990-an. Aktivis prodemokrasi itu pernah menghabiskan 11 tahun di penjara akibat terlibat dalam aksi unjuk rasa damai menentang junta militer pada 1998.

Sebagian besar kerja dan komunikasi kabinet NUG dilakukan secara daring. Kondisi kerja seperti ini sangat menyulitkan mereka yang masih bersembunyi di Myanmar karena junta militer kerap memutus jaringan komunikasi dan Internet. "Kami berdiskusi bagaimana caranya bekerja kolektif dalam kondisi seperti ini. Kami mencoba untuk satu suara," kata Mar Aung seperti dilaporkan Bangkok Post pada akhir Maret lalu.

Jalan baru mulai terbuka ketika para pemimpin asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang bertemu di Jakarta pada 24 April lalu merilis lima konsensus untuk mengatasi krisis Myanmar. Namun permintaan NUG agar dilibatkan dalam pertemuan di Sekretariat ASEAN itu tak dikabulkan. Menurut Mar Aung, ASEAN punya masalah besar karena tak mampu menangani para diktator seperti di Myanmar. "Saya tak berharap banyak pada intervensi ASEAN," ujarnya kepada The Irrawaddy.

Mar Aung mengatakan junta militer tak menaati konsensus yang dibuat dalam pertemuan ASEAN tersebut. Dia menilai junta militer terus mengulur-ulut waktu untuk mengalihkan perhatian dunia dari krisis Myanmar. "Mereka berusaha mencegah negosiasi terjadi," ucapnya.

Meski demikian, menurut Mar Aung, NUG bakal terus menjalin kerja sama dengan pemerintah negara-negara lain, para pendukung demokrasi, dan warga Myanmar di luar negeri untuk menghentikan represi junta militer. Mereka juga berkomunikasi dengan sejumlah organisasi regional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia menyatakan NUG sudah mendapatkan dukungan dari sebagian besar negara demokrasi dan terus berkomunikasi dengan beberapa negara ASEAN.

Selain memerlukan dukungan politik di panggung dunia, NUG membutuhkan sokongan dari milisi-milisi etnis minoritas. Kelompok etnis minoritas seperti warga Rohingya dan Karen kerap menjadi korban penindasan militer. Namun selama ini partai berkuasa NLD tak berupaya bekerja sama dengan mereka. NUG membuat terobosan setelah memasukkan sejumlah nama yang mewakili berbagai kelompok etnis minoritas tersebut.

Priyambudi Sulistyanto, pakar kajian politik Asia Tenggara dari Flinders University, Australia, menyatakan Myanmar di bawah pemerintahan NUG bisa menjadi negara federal demokratis. "(Mereka) mengakui keberadaan etnis minoritas dalam kerangka negara kesatuan Myanmar," ucapnya kepada Tempo.

Meski demikian, menurut Priyambudi, NLD, yang menjadi motor pemerintahan tandingan ini, tidak memiliki kekuatan militer. Karena itulah NUG membutuhkan sokongan milisi etnis minoritas. Kudeta yang membawa junta militer kembali berkuasa menjadi momentum bagi NLD dan kelompok etnis minoritas untuk berkolaborasi. "Mungkin perlu ada kesepakatan di antara mereka bahwa jika ingin mengurus negara maka perlu ada tentara," tuturnya.

Tiga pekan setelah dideklarasikan, NUG membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat untuk menghadapi tentara junta yang kerap melakukan kekerasan terhadap penduduk dan demonstran. Laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menyebutkan lebih dari 770 orang tewas akibat kekerasan yang dilakukan aparat keamanan sejak kudeta pecah.

Dalam pernyataan publiknya pada Rabu, 5 Mei lalu, NUG menyebut Pasukan Pertahanan Rakyat dibentuk untuk mencegah pembunuhan dan aksi kekerasan lain terhadap warga sipil Myanmar. Pasukan itu juga diperlukan untuk melindungi properti rakyat. "Persiapan membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat ini sudah lama. Pelatihan juga telah dilakukan," kata Wakil Menteri Pertahanan Khin Ma Ma Myo.

The Irrawaddy mengunggah foto yang menggambarkan lebih dari 50 laki-laki dan perempuan yang tengah menjalani pelatihan untuk bergabung dengan Pasukan Pertahanan Rakyat. Media itu hanya menyebutkan pelatihan dilakukan di dekat perbatasan Myanmar tanpa menjelaskan lebih rinci.

Pasukan Pertahanan Rakyat disebut-sebut sebagai cikal-bakal tentara federal Myanmar. Selain bertujuan menghadapi tentara Myanmar, menurut NUG, pembentukan pasukan ini menjadi strategi untuk mengakhiri perang sipil di beberapa negara bagian yang sudah berlangsung tujuh dekade. Mereka akan berkolaborasi dengan milisi-milisi bersenjata etnis minoritas yang terus melawan tekanan junta militer sejak Myanmar mendeklarasikan kemerdekaan pada 1948.

Milisi-milisi bersenjata itu menjadi salah satu pendukung utama para penentang kudeta militer. Mereka menyediakan perlindungan bagi warga Myanmar yang lari dari kejaran tentara. Meski demikian, banyak milisi yang masih menjaga jarak dengan NUG karena NUG dibentuk oleh orang-orang yang mereka anggap pernah menjadi bagian dari kelompok yang mereka musuhi sebelum kudeta.

Persatuan Nasional Karen (KNU), organisasi yang mewakili etnis Karen di Myanmar bagian timur, mendukung pembentukan Pasukan Pertahanan Rakyat. Ribuan warga Karen telah mengungsi setelah perkampungan mereka menjadi sasaran serangan udara militer Myanmar dalam dua pekan terakhir. Menurut Padoe Saw Tawnee, seorang pejabat KNU, junta militer adalah "musuh bersama" mereka. "Akan banyak diskusi nanti, termasuk soal pembentukan unit pasukan," ujar Saw Tawnee seperti dilaporkan Radio Free Asia.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, MYANMAR FRONTIER, THE IRRAWADDY, REUTERS, ABC)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus