Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KINERJA pengelolaan zakat bertahun-tahun tertinggal dari besarnya potensi yang terus menggelembung. Sepanjang tahun lalu, setidaknya hingga November 2020, zakat yang dihimpun organisasi pengelola zakat yang tercatat di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) baru di kisaran Rp 12,2 triliun. Meski saban tahun nilainya menanjak, angka ini hanya 3,72 persen dari potensi zakat nasional yang mencapai Rp 327,6 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menggenjot kinerja pengelolaan zakat, di tengah potensi yang begitu besar, Baznas telah lama menggagas transformasi ke layanan digital. Saat ini sistem pengelolaan zakat secara digital di jaringan Baznas dan lembaga amil zakat telah menjangkau setidaknya dua pertiga kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, tersisa wilayah timur yang kini dalam tahap persiapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau begitu, Direktur Utama Baznas Mohamad Arifin Purwakananta beranggapan bahwa digitalisasi belum betul-betul merata, baru sukses di kantor pusat. “Beberapa masih membutuhkan waktu untuk mengadaptasi manajemen dengan sistem digital,” kata Arifin kepada Retno Sulistyowati dari Tempo, Selasa, 4 Mei lalu.
Sejak kapan digitalisasi pengelolaan zakat dirancang?
Digitalisasi dimulai pada 2012. Namun kami baru menggunakan jargon digital dan menggarapnya secara serius pada 2016, jauh sebelum pandemi Covid-19. Tidak mungkin kami bisa melayani 200 juta orang di Indonesia secara konvensional. Berapa banyak karyawan harus direkrut? Kami yakin teknologi digital dapat dipakai untuk mengoperasikan Baznas, melayani orang berzakat, dan mendistribusikan zakat.
Seperti apa transformasi digital itu di Baznas?
Kami mengembangkan aktivitas di Baznas agar sebanyak-banyaknya memanfaatkan teknologi digital. Seperti pengumpulan zakat, dari kampanye, penghimpunan, hingga penyaluran donasi yang sebelumnya dilakukan melalui pertemuan, pengajian, kajian, atau kegiatan tatap muka, digantikan dengan strategi digital. Kampanye dilakukan melalui media sosial, kanal YouTube, periklanan digital. Penyaluran pun sudah dibuat online. Ada kerja sama dengan toko-toko online.
Apa hasilnya?
Layanan sekarang bisa lebih cepat. Dari sisi operasi kini sudah ada aplikasi digital untuk akuntansi dan pengaturan sistem keuangan atau pengelolaan sumber daya manusia. Bahkan sistem keamanan teknologi informasi kami sudah mendapatkan sertifikat Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO) awal tahun ini sehingga data mustahik (orang yang berhak menerima zakat) tidak akan bocor.
Bagaimana dengan sistem distribusinya?
Dulu pendistribusian zakat sifatnya memberikan uang kepada mustahik. Sekarang sudah lebih dari itu. Kami mengembangkan warung-warung digital. Pada 2016-2017, kami mengembangkan ATM (anjungan terima mandiri) beras sehingga orang tidak sungkan mendapatkan beras karena dulu bisa sampai antre. Sekarang ketika mereka butuh tinggal datang ke ATM tersebut. Tinggal tap, beras keluar. Sudah banyak Baznas daerah yang pakai sistem ini. Nantinya dikembangkan di Baznas seluruh kabupaten dan kota.
Berapa banyak daerah yang belum dijangkau layanan zakat digital?
Saya kira sepertiga dari wilayah yang dijangkau Baznas baru mulai menyiapkan diri untuk masuk ke digital. Terutama di daerah-daerah timur. Sedangkan di kota-kota besar yang listrik dan teknologi informasinya sudah cukup maju, seperti di Jawa, dapat dikembangkan. Sudah ada QR code (kode respons cepat), ATM beras, sistem digital, dan sebagainya. Beberapa masih membutuhkan waktu untuk mengadaptasi manajemen dengan sistem digital. Saya taksir butuh waktu sekitar lima tahun lagi untuk bisa merata di seluruh Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo