Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Kamboja mengkarantina total Phnom Penh dan sejumlah daerah lain.
Penduduk di zona merah mulai kesulitan mendapat makanan.
Pemerintah melarang kelompok bantuan masuk ke zona tersebut.
IV Sovann bersama keluarganya telah diisolasi selama sebulan lebih di Phnom Penh. Sejak 5 April lalu, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen memberlakukan karantina total untuk mengekang lonjakan jumlah kasus virus Covid-19 di negerinya. Yang paling menderita adalah orang-orang seperti Sovann. Karantina total membuat mereka tak dapat mencari nafkah dan kekurangan pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga perempuan 36 tahun itu terdiri atas enam orang dan hanya Sovann yang masih bekerja, yaitu sebagai asisten akuntan untuk perusahaan transportasi lokal. Suaminya, seorang guru, kehilangan pekerjaan ketika sekolahnya tutup setahun yang lalu. “Kami tidak kaya. Kalau kami kaya, tidak apa-apa jika kami dikarantina selama setahun,” katanya kepada Al Jazeera pada Ahad, 2 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu dia berada di antara sekelompok orang di Phnom Penh yang menuntut bantuan pangan dari pemerintah. Unjuk rasa ratusan penduduk itu terjadi sejak beberapa hari sebelumnya. “Kami melihat beberapa orang mendapatkan makanan seperti bihun dan ikan kaleng, tapi kami tidak mendapatkan apa-apa. Jadi kami keluar untuk meminta makanan,” ucapnya.
Seusai aksi protes itu, akhirnya Sovann pulang dengan membawa sekantong beras seberat 25 kilogram dari pemerintah setempat. Tapi banyak penduduk yang tak seberuntung dia. “Saya tidak tahu mengapa beberapa orang bisa mendapatkan sumbangan dan yang lain tidak,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 sedang mengganas di Kamboja. Jumlah kasus infeksi meroket, dari sebelumnya hampir nol menjadi puluhan dan terus naik hingga ratusan kasus baru setiap hari sejak akhir Februari lalu. Pada 4 Mei lalu, jumlah kasus harian menembus angka 900 dengan total kasus mencapai 16.299 dan 107 korban meninggal. “Kita menghadapi bencana yang akan melanda dan kita akan mati, kecuali kita bertindak secara bertanggung jawab dan bersatu,” kata Perdana Menteri Hun Sen.
Profesor Yong Pooverawan dari Kepala Pusat Keunggulan Virologi Klinis di Fakultas Kedokteran Chulalongkorn University di Bangkok menyatakan wabah kali ini disebabkan oleh varian virus Covid-19 B.1.1.7, yang pertama kali dideteksi di Inggris. “Kami tidak tahu bagaimana itu bisa ditemukan di sini, mengingat fakta bahwa kita memiliki sistem karantina negara,” tuturnya, seperti dikutip The Phuket News di awal wabah meledak.
Pemerintah menemukan kasus pertama pada orang-orang dari India dan Cina yang masuk Kamboja pada 15 Februari. Banyak dari pasien yang dirawat adalah pekerja pabrik dan bangunan. Pernyataan bersama dari 36 organisasi non-pemerintah dan serikat pekerja menyebutkan bahwa 200 kasus positif ditemukan di lebih dari 90 pabrik di Ibu Kota dan sejumlah daerah lain.
Kluster tersebut berhubungan dengan empat warga negara Cina yang diduga menyuap dua penjaga keamanan agar dapat meninggalkan hotel tempat mereka wajib dikarantina selama 14 hari ketika masuk negeri itu. Para penjaga telah ditahan, tapi pelarian semacam ini bukanlah yang pertama terjadi.
Perbatasan dengan Thailand juga diduga menjadi pintu masuknya virus. Sejak pandemi, perbatasan itu telah dijaga ketat, tapi orang-orang masih bisa masuk dengan menyuap para pejabat. Seorang kepala polisi Kamboja di perbatasan telah dipecat karena menyelundupkan mereka.
“Saya masuk lewat pintu ilegal,” kata seseorang bernama Lay kepada Nikkei Asia. Pemuda 27 tahun itu mengaku membayar sekitar Rp 1,5 juta agar bisa pulang ke Kamboja setelah pabrik tempat dia bekerja di Thailand tutup pada Desember tahun lalu. “Saya harus membayar 10 kali lipat dari yang biasanya saya bayar. Perantara saya mengatakan bahwa mereka perlu melewati jalan lain dan membayar polisi.”
Seorang petugas kesehatan menyemprotkan desinfektan pada seseorang yang diduga terjangkit COVID-19, sebelum dibawa menuju pusat karantina di Phnom Penh, Kamboja, 21 April 2021. REUTERS / Cindy Liu
Pech Pisey, Direktur Eksekutif Transparency International di Kamboja, mengatakan konsekuensi dari korupsi telah memperparah pandemi. “Insiden yang melibatkan polisi di perbatasan dan petugas keamanan di hotel itu menegaskan kembali bahwa korupsi dan penyuapan dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan berpotensi membunuh,” ujarnya.
Pada Maret lalu, pemerintah menerbitkan undang-undang pencegahan penyebaran Covid-19. Aturan ini melarang penduduk, terutama di “zona merah”, meninggalkan rumah kecuali untuk keperluan medis. Para pelanggarnya akan dijatuhi denda sebesar maksimal 5 juta riel atau sekitar Rp 17,8 juta dan hukuman penjara hingga 20 tahun.
Para pakar Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta pemerintah merevisi undang-undang yang dinilai terlalu keras tersebut. “Pembatasan atas kebebasan dan hak fundamental atas kesehatan masyarakat tidak boleh melanggar hak dan kebebasan yang dijamin oleh hukum hak asasi manusia internasional dan harus proporsional, tidak diskriminatif serta terikat waktu dan dengan tujuan terbatas,” kata mereka dalam pernyataannya.
Kenyataannya, polisi menegakkan aturan itu dengan keras, terutama di Phnom Penh. Mereka bahkan menggunakan tongkat kayu untuk memukuli dan menangkap orang-orang yang melanggar aturan. Licadho, organisasi hak asasi manusia di negeri itu, melaporkan bahwa polisi telah menahan 258 orang berdasarkan undang-undang tersebut. Sebanyak 83 orang telah dihukum penjara. “Krisis kesehatan masyarakat bukanlah waktunya untuk mengirim lebih banyak orang ke penjara Kamboja yang sudah penuh sesak,” ucap Naly Pilorge, Direktur Licadho.
Pemerintah berjanji memasok makanan ke daerah. Tapi janji tinggal janji. Banyak penduduk yang tak mendapat bantuan makanan yang dibutuhkan. Keadaan makin runyam karena pemerintah melarang kelompok-kelompok pemberi bantuan memasuki kawasan ini.
Vorn Pao, Presiden Asosiasi Demokrasi Ekonomi Informal Independen (IDEA), mengatakan dia menerima ratusan pesan dari anggotanya setiap hari yang meminta bantuan. IDEA adalah organisasi pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, pekerja domestik, dan sopir tuktuk, yang berbasis di Phnom Penh. Dia memperkirakan sekitar 5.000 dari 14 ribu anggotanya di seluruh negeri, terutama yang berada di “zona merah”, tidak punya cukup makanan. “Kami mengimbau pemerintah agar memberi bantuan (makanan) tanpa diskriminasi,” katanya.
Bukannya membuka akses untuk pengirim bantuan, Kementerian Perdagangan malah menggelar pasar murah di daerah yang dikarantina di Phnom Penh. Kementerian juga mengizinkan beberapa perusahaan swasta menjual makanan. Orang bisa membeli bahan makanan, seperti nasi, mi instan, kecap, telur, sayur, daging, dan ikan, dengan harga lebih murah dibanding harga pasar. “Semua barang yang dijual di kios dan truk keliling, termasuk sayur-mayur, ikan, dan daging, telah diperiksa kualitasnya secara teliti dan apakah mereka sehat dan aman untuk dikonsumsi,” tutur Pen Sovicheat, juru bicara Kementerian, seperti dikutip media pro-pemerintah Khmer Times.
Sovicheat membantah kritik sejumlah orang bahwa Kementerian mengambil keuntungan dari pasar murah di zona karantina. “Intervensi dari Kementerian dalam situasi ini adalah untuk merespons keadaan darurat. Kementerian harus menjual bahan pangan dari cadangan nasional,” katanya pada Senin, 3 Mei lalu.
Untuk menahan penyebaran virus, pemerintah Kamboja mempercepat program vaksinasi kepada sekitar 16 juta penduduknya. Sejak 1 Mei lalu, tentara mulai memvaksin hampir setengah juta orang di Phnom Penh. Wakil Panglima Militer Eth Sarath mengatakan 471.573 orang akan disuntik dengan vaksin bikinan Sinopharm dan Sinovac dari Cina selama satu bulan ke depan. Kementerian Pertahanan mengklaim telah memvaksin 1,3 juta orang, termasuk orang asing, diplomat, dan pegawai negeri sipil.
IWAN KURNIAWAN (AL JAZEERA, THE PHUKET NEWS, KHMER TIMES)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo