Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Protes atas jam malam dan karantina wilayah di Belanda berujung rusuh.
Pembatasan sosial dan krisis politik menyumbang pada keresahan.
Dari kelompok mana para demonstran berasal?
SUHU yang mendekati titik beku pada Ahad sore, 31 Januari lalu, tidak menghalangi ratusan orang memenuhi Museumplein, alun-alun terbesar di Kota Amsterdam, Belanda. Mengabaikan larangan berdemonstrasi, mereka berkumpul setelah menerima undangan yang tersebar di media sosial untuk acara “minum kopi bersama di Museumplein”. Sejak pagi, lapangan di depan Rijksmuseum dan Van Gogh Museum itu sudah dijaga ketat oleh polisi. Menjelang siang, jalan-jalan sekitarnya ditutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lapangan luas itu seakan-akan berubah menjadi tempat piknik. Kakek-kakek bermain ukulele. Ibu-ibu berjalan-jalan menggandeng anaknya. Anak-anak muda juga tampak bercengkerama. Semuanya tak mengenakan masker. Tak ada pula upaya menjaga jarak satu setengah meter sesuai dengan protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah poster tersebar di tengah kerumunan. Semua isinya menentang jam malam, yang diberlakukan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte sebagai bagian dari kebijakan karantina wilayah (lockdown), seperti “Lockdown Sudah Berakhir” dan “Hidup Kebebasan, Akhiri Diktator Corona”. “Kami menuntut kembali hak kebebasan kami!” kata Hugo Gietelink, demonstran yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu wisata. “Peraturan corona membelenggu dan merusak kesehatan mental masyarakat. Lockdown juga bisa mengambil nyawa orang karena stres atau tekanan ekonomi.”
Charessa, pegawai persewaan mobil yang datang dari Kota Haarlem khusus untuk ikut berunjuk rasa di Museumplein, mengaku ingin menyuarakan frustrasi orang-orang di mancanegara. “Saya ingin kembali ke kehidupan normal saya,” ujarnya.
Polisi menghalau demonstran yang menentang kebijakan pemerintah terkait lockdown dan pemberlakuan jam malam di Amsterdam, Belanda , 31 Januari 2021. REUTERS/Stringer/File Photo
Unjuk rasa hari itu berjalan damai. Tak ada insiden ketika polisi akhirnya membubarkan mereka. Hal ini berbeda dengan unjuk rasa di tempat itu pada Ahad, 24 Januari lalu. Meski permohonan izin demonstrasi ditolak, sekitar seribu orang tetap berhimpun di sana. Kerusuhan pecah ketika upaya polisi membubarkan mereka dihadapi dengan perlawanan. Tembakan bom air polisi dibalas dengan lemparan batu dan bom petasan.
Dalam laporannya ke Dewan Kota Amsterdam, Wali Kota Amsterdam Femke Halsema mengaku sudah ada petunjuk sebelum kerusuhan pecah. Menurut dia, “beberapa grup dan individu radikal bermaksud datang ke Museumplein untuk menggunakan kekerasan” melalui seruan lewat media sosial agar membawa peralatan seperti petasan kaliber berat, obor, dan senjata tajam.
Pada pekan yang sama, kerusuhan pecah di berbagai kota lain, termasuk Den Haag, Rotterdam, dan Den Bosch. Massa juga merusak dan menjarah properti di sekitar lokasi unjuk rasa. “Ini pertama kalinya kami melihat kerusuhan separah ini di Belanda dalam 40 tahun,” tutur Koen Simmers, Ketua Perserikatan Polisi Belanda, kepada NOS, stasiun radio dan televisi publik Belanda.
Salah satu kota yang terpukul berat adalah Eindhoven. Rencana unjuk rasa pada Ahad, 24 Januari lalu, berubah menjadi vandalisme ketika ratusan orang mendatangi pusat kota. Mereka membakar mobil, merusak stasiun kereta api, dan menjarah toko-toko. Wali Kota Eindhoven John Jorritsma menggambarkan suasana hari itu seperti “perang saudara”. “Mungkin ada beberapa demonstran di sana, tapi kebanyakan dari mereka datang dengan satu tujuan: menyerang polisi dan masyarakat, serta merusak,” ucap Jorritsma seperti dikutip harian NRC.
Kemarahan massa juga kerap tertuju pada pekerja media, seperti di Urk, desa nelayan tempat demonstran merusak klinik tes Covid-19 setempat. Tim kamera NOS diserang dengan semprotan merica tatkala meliput kerusuhan. Wartawan harian Eindhovense Dagblad, Chiel Timmermans, membenarkan hal tersebut. Ketika meliput kerusuhan pada 24 Januari lalu, ia tidak memakai rompi pers. “Saya bahkan tidak berani mengeluarkan buku catatan dan bolpoin saya,” kata Timmermans.
Jelle van Buuren, dosen Universiteit Leiden yang meneliti unjuk rasa dan teori konspirasi, menilai demonstrasi memburuk bertepatan dengan diberlakukannya jam malam pada Sabtu, 23 Januari lalu. “Berlakunya jam malam mematahkan kesabaran banyak orang, terutama kaum muda dan remaja,” ujarnya. “Sekolah sudah lama diadakan secara daring, tempat olahraga dan aktivitas tutup, pekerjaan paruh waktu juga berhenti. Pelipur lara mereka adalah bertemu dengan teman di luar rumah, tapi itu pun berakhir dengan jam malam. Mereka jemu dan tertekan.”
Menurut Van Buuren, ribuan orang yang turun ke jalan dalam dua pekan terakhir tidak dipicu oleh satu organisator tertentu. “Pedemo datang dari beragam golongan: hooligan, grup anti-Islam dan ekstrem kanan, QAnon, grup penyangkal virus, sampai grup kiri hippies yang kritis terhadap vaksinasi dan industri farmasi. Juga ada masyarakat biasa,” tuturnya. QAnon adalah kelompok yang mempercayai teori konspirasi Covid-19.
Timmermans melihat hal serupa terjadi di Eindhoven. “Kali ini saya melihat orang dari berbagai budaya dan golongan etnis turun ke jalan,” katanya.
Yang mempersatukan mereka, Van Buuren menambahkan, adalah “ketidakpercayaan dan kekecewaan terhadap institusi dan golongan penguasa”. Salah satu pemrakarsa unjuk rasa damai di Museumplein adalah Michel Reijinga, yang menyebut gerakannya “Nederland in verzet, weg met dit kabinet” (Belanda melawan, kabinet ini harus pergi).
Sudah satu dasawarsa Mark Rutte dari partai tengah-kanan Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) menjabat perdana menteri. Ahli politik dan sejarah Kemal Rijken menyebut pemerintah Rutte dan pendahulunya, Jan Peter Balkenende, “telah menggerogoti struktur sosial dan kepastian untuk banyak warga Belanda”. Dalam tulisannya di harian NRC, Kemal mengatakan privatisasi berkelanjutan telah menyebabkan kenaikan harga perumahan, kesehatan, dan bahan kebutuhan pokok lain, sementara badan-badan sosial tertekan.
Pada pengujung 2020, kabinet Rutte didera skandal dana tunjangan anak. Karena berbagai kekeliruan administratif, sekitar 26 ribu keluarga dipaksa petugas pajak membayar denda tinggi selama 2013-2019. Kebanyakan dari mereka adalah imigran dan keluarga yang mengalami kesulitan keuangan. Di bawah tekanan publik dan parlemen, Rutte dan kabinetnya mundur pada 15 Januari lalu, tapi masih tetap memerintah hingga pemilihan umum pada Maret mendatang.
Kondisi ini diperkeruh kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19. Rutte dikritik karena masalah kekurangan alat pelindung diri untuk petugas medis hingga regulasi yang dianggap terlalu longgar atau terlalu ketat. Kewajiban memakai masker di tempat umum, seperti di supermarket atau di sekolah, misalnya, baru diterapkan pada 1 Desember 2020. Di pihak lain, semua toko diperintahkan tutup sejak dua pekan menjelang Natal, yang biasanya merupakan periode belanja teramai. Total kasus Covid-19 di Belanda mencapai 985.224 pada awal Februari ini. Angka itu termasuk tinggi mengingat jumlah penduduknya yang mencapai 17 juta.
Sebagian dari ratusan demonstran yang ditahan dalam kerusuhan pada 24 Januari lalu telah diadili dan dijatuhi hukuman penjara karena terbukti melakukan atau menyebarkan ajakan melakukan kekerasan. “Ini perilaku kriminal dan akan ditangani dengan sepadan,” ujar Rutte. Polisi juga melakukan pengamanan lebih ketat dan hingga kini belum muncul kerusuhan baru.
Meski demikian, demonstran seperti Hugo Gietelink bertekad tetap berunjuk rasa damai pada pekan-pekan mendatang di Museumplein. “Sama seperti bangsa Anda yang berjuang untuk bebas dari cengkeraman kolonialisme, kami akan tetap melawan diktator corona pemerintahan ini,” tuturnya.
LINAWATI SIDARTO (AMSTERDAM)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo