Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pandemi Covid-19 telah memukul sendi-sendi kehidupan seniman, terutama para pelaku kesenian tradisional.
Sepinya tanggapan menjadi salah satu faktor para seniman tradisional tak bisa lagi menggantungkan hidup pada berkesenian.
Para seniman dituntut cepat beradaptasi dengan teknologi digital agar dapat terus berkesenian.
PANDEMI Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu tahun mengancam kelangsungan kesenian tradisional. Para seniman yang selama ini bergantung pada pementasan sangat terpukul karena sepinya pengunjung dan tanggapan. Tanpa penghasilan dari berkesenian, banyak seniman yang tinggal di desa beralih profesi menjadi petani, pedagang, dan pengojek daring. Bantuan sosial dari pemerintah jauh dari cukup untuk menopang hidup mereka, apalagi untuk terus berkesenian. “Kita tidak bisa mengandalkan bantuan itu akan mendukung kehidupan seniman,” kata etnomusikolog dan budayawan Endo Suanda dalam wawancara khusus dengan Tempo lewat konferensi video, Rabu, 3 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat, pementasan seni tradisional terhenti. Di Bali, misalnya, suara cak-cak yang biasa menggema dari penari kecak di panggung pertunjukan sejumlah destinasi wisata tak lagi terdengar sejak akhir Maret 2020. Di Jawa Barat, Saung Angklung Udjo di Kota Bandung terancam bangkrut karena sepi pengunjung. Saung angklung yang berdiri sejak 1966 itu selama ini menjadi destinasi wisata budaya dan edukasi yang memiliki arena pertunjukan, pusat kerajinan bambu, dan bengkel kerja pembuatan alat musik bambu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Endo, 73 tahun, tidak mudah bagi seniman tradisional beradaptasi dengan situasi pandemi. Tak banyak seniman tradisional yang bisa cepat mengakrabi teknologi dan beralih ke wahana digital untuk berkarya. Mereka yang mampu beradaptasi dengan dunia online tetap dapat berkesenian sembari meraup pundi-pundi rupiah. “Tapi mereka yang mungkin tidak terlalu melek teknologi karena pendidikannya rendah, visi atau gagasan barunya juga terbatas, terpaksa bekerja di luar kesenian,” tutur Endo, yang delapan tahun terakhir menggeluti pembuatan alat musik berbahan bambu.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, Endo mengungkapkan dampak pandemi terhadap para seniman tradisi di Jawa Barat dan daerah lain. Menjadi pelatih dan pengajar seni tradisional di sejumlah kampus, Endo juga berbagi kisah mengenai pengaruh teknologi digital terhadap seni tradisional, pentingnya masa kritis bagi kelangsungan kegiatan kesenian, hingga usahanya mengembangkan alat musik dari bambu yang telah dipakai beberapa musikus ternama.
Sejumlah seni tradisional terpuruk akibat pandemi Covid-19. Bagaimana para seniman dapat bertahan menghadapi dampak pandemi?
Saung Angklung Udjo adalah contoh kasus yang paling bagus karena merupakan sebuah kumpulan yang saya kira paling maju di Jawa Barat. Mereka memproduksi alat musik, membuat semacam toko suvenir, mendatangkan turis, punya program-program pendidikan, workshop, dan display yang begitu luas. Saung Angklung Udjo salah satu yang paling lama berdirinya. Yang sudah luar biasa sekali pun sekarang terkena dampak pandemi yang sangat berat.
Apa yang membuat Saung Angklung Udjo terancam bangkrut?
Persoalan yang mendasar saya kira hanya satu, yaitu tidak ada pembeli dan pendatang. Padahal itu sumber yang paling utama bagi mereka. Saung Angklung Udjo bergantung terutama pada pelayanan di tempat. Selama ini orang-orang datang ke sana untuk nonton. Berbeda dengan dalang, misalnya, yang ditanggap ke mana-mana. Semoga ada uluran tangan dari banyak pihak, termasuk pemerintah daerah ataupun pusat.
Dengan pengunjung yang makin sedikit, apa solusi yang bisa ditempuh khususnya oleh para pemain angklungnya?
Mungkin satu-satunya cara adalah layanan online. Apakah itu berupa semacam pelatihan, workshop pembelajaran, atau jadi tontonan berupa program online. Tapi kita juga tahu tontonan yang diproduksi secara online hampir tidak ada pemasukannya. Berapa orang yang mau membayar untuk menonton program online? Sangat sedikit. Bahkan yang gratis pun mencari penonton tidak gampang. Saya pikir sumber yang paling bisa diharapkan adalah bantuan. Bukan berarti diberi uang untuk tidak berbuat apa-apa.
Bagaimana skema bantuannya?
Dalam kasus Saung Angklung Udjo, umpamanya, bisa diatur agar sekolah-sekolah se-Jawa Barat, 1 persen saja dari jumlah seluruhnya, membeli angklung dari mereka. Itu akan dengan sendirinya membantu proses kerja mereka supaya tidak terhenti oleh pandemi.
Mengapa sekolah yang harus membeli?
Karena sekolah pada umumnya didukung oleh yayasan, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah. Sekolah juga entitas yang paling banyak jumlahnya. Saya kira mereka punya potensi untuk itu. Walaupun tentu saja sekolah-sekolah juga mengalami kesulitan, dukungan dari suatu pihak menjadi pertolongan besar. Tapi bisa juga lembaga lain yang lebih kecil entitasnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat sedikitnya 59 ribu pelaku budaya terkena dampak pandemi. Pemerintah menyiapkan skema bantuan untuk para seniman. Bagaimana realitasnya di lapangan?
Seperti pada masyarakat umumnya, ada bantuan yang sampai dan ada yang tidak. Bantuan yang sampai juga hanya sedikit sekali bisa membantu. Misalnya, dulu ada bantuan sekitar Rp 600 ribu per orang. Jumlah itu cukup untuk berapa lama? Kita tidak bisa mengandalkan bantuan itu akan mendukung kehidupan seniman.
Apa yang diharapkan para seniman dari pemerintah agar bisa bertahan hidup dan berkesenian di tengah pandemi?
Kita tidak bisa mengharapkan pemerintah. Kemampuan pemerintah juga sangat terbatas. Sebenarnya banyak seniman yang cukup kreatif menjaga kelangsungan kerja atau hidupnya. Ada seniman yang jadi pengojek online, berjualan, mengirim kopi ke mana-mana. Berbagai hal mereka lakukan. Artinya, mereka harus bekerja seperti itu. Bukan hanya berpikir tentang berkeseniannya. Mereka punya anak-istri, keluarga yang harus dihidupi. Kalau di kampung, kebanyakan bertani. Kalaupun kesulitan, mereka bisa pinjam sana-sini dari tetangga.
Seniman di kampung bisa lebih bertahan daripada seniman kota?
Sejauh pemantauan saya, secara umum situasi wabah di kampung dan desa lebih aman ketimbang di kota. Di kampung lebih merasa aman untuk bekerja dengan yang lain sehingga kehidupan mereka bisa tetap berjalan. Gotong-royong dengan tetangga, keluarga, lebih terjaga. Tapi, dalam kehidupan berkesenian, kondisi mereka lebih gawat daripada seniman di kota. Forum berkesenian di kampung kebanyakan ditanggap oleh orang yang punya hajatan. Sekarang hampir semuanya tutup. Orang menikah atau khitanan masih ada, tapi tidak boleh mengadakan perayaan. Padahal kehidupan kesenian mereka hanya berdasarkan tanggapan.
Seni tradisional apa saja yang terkena dampak pandemi?
Jaipong, gamelan, wayang, sandiwara. Grup-grup kesenian di kampung seperti itu. Wayang golek di Sunda, wayang kulit di Cirebon, Indramayu, dalang yang laris sekali mungkin setiap bulan ditanggap sampai 15-20 kali atau lebih pada musim tanggapan. Sekarang sudah hampir satu tahun sama sekali berhenti. Termasuk sekian banyak pemusiknya yang terkena dampak. Mereka biasanya sangat cukup kehidupannya dari hasil manggung.
Sebelum pandemi, berapa umumnya penghasilan dalang di Jawa Barat?
Dalang yang laku, misalnya, dalam satu tahun bisa 150-200-an tanggapan. Dalang yang tidak laku mungkin hanya satu-dua tanggapan. Bahkan ada yang tidak laku sama sekali sehingga mereka jadi penabuh (pengrawit). Bayarannya, katakanlah grup dengan 15-20 orang, mungkin Rp 6-8 juta sekali main. Itu yang paling murah. Bayaran satu grup dalang yang paling laku bisa puluhan hingga seratusan juta rupiah sekali main.
Masyarakat umumnya beradaptasi dengan berkarya lewat medium online. Bagaimana dengan seniman tradisional?
Ada seniman tradisional yang membuat konten online untuk pelajaran. Misalnya pemain suling Sunda yang sangat terkenal, Endang Sukandar. Dia mengirimkan materi pengajaran melalui WhatsApp atau Facebook. Interaksi dengan siswanya memakai telepon seluler. Siswa mengirimkan video bermain suling, lalu dikoreksi. Prosesnya menarik.
Apakah metode pengajaran jarak jauh efektif menggaet siswa?
Dalam satu periode ada belasan hingga 20-an siswa. Siswanya tidak hanya dari Indonesia. Ada beberapa siswanya dari Jepang, Eropa, Amerika Serikat. Ini cara baru bagi para seniman tradisional yang mungkin awalnya tidak terlalu canggih dalam berkomunikasi melalui teknologi online. Tapi sekarang merupakan tantangan dan kesempatan yang baru.
Apakah fenomena serupa banyak dijumpai di daerah lain?
Yang persis seperti Endang Sukandar tidak terlalu banyak.
Bagaimana dengan nasib para seniman tradisional yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia digital dan teknologi?
Mau tidak mau mereka hanya kerja sebisanya. Seperti sanggar Mang Udjo, yang punya pegawai lumayan banyak. Mereka yang tidak terlalu melek teknologi karena pendidikannya rendah, visi atau gagasan barunya juga terbatas, terpaksa bekerja di luar kesenian.
Berapa banyak pelaku seni yang terpaksa beralih profesi untuk mencukupi kebutuhan hidup?
Mungkin jauh lebih banyak yang seperti itu daripada mereka yang bisa tetap menghidupi diri dari kegiatan berkeseniannya. Di Cirebon, misalnya, ada seorang pelukis kaca yang sangat terkenal, yaitu Kusdono Rastika. Dia tidak bisa kerja selain menjadi pelukis kaca. Tapi dia tetap produktif. Keadaannya memang berat. Dalam kasus seperti ini, kami bisa membantu mempromosikan lukisan kacanya. Tapi berbeda dengan seni pertunjukan, misalnya tarian.
Tantangan yang dihadapi para pelaku seni pertunjukan seperti apa?
Mereka tampil berdasarkan event yang sekarang ini hampir tidak memungkinkan di mana-mana. Kalau perajin atau seni rupa, dalam kasus Kusdono, sampai sekarang masih tetap bisa berkarya dan ada yang membeli karyanya.
Seniman Endo Suanda membuat alat musik gitar dari bambu di bengkel alat musik di kawasan Cilendek, Bogor, 8 Januari 2020. TEMPO/Ratih Purnama
Selain Jawa Barat, daerah mana saja yang para senimannya berjuang cukup keras untuk bertahan hidup?
Beberapa seniman yang tinggal di kota, seniman yang agak modern, masih bisa berpentas. Misalnya kelompok musik Suarasama di Medan. Grup yang didirikan Irwansyah Harahap itu beberapa kali tampil di pekan kebudayaan nasional, program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau program pemerintah daerah yang mengadakan pertunjukan secara online. Artinya, mereka mendapat tanggapan dari lembaga-lembaga pemerintah.
Bagaimana dengan para seniman yang berada di kampung?
Teman-teman saya di Lombok, Sumbawa, ya umumnya bertani atau berdagang. Kalau bicara seniman desa yang bekerja secara organik dengan pertanian, mungkin kasus Bali adalah yang paling excellent. Mereka memiliki sistem komunitas yang berjalan dan tak terganggu, kecuali yang berdasarkan turistik.
Bukankah pariwisata di Bali mati suri karena pandemi?
Kegiatan untuk turis benar-benar mati. Di satu sisi, Bali terkena dampak besar sekali karena devisanya kebanyakan dari turisme. Tapi, di sisi lain, karena sistem integritas kehidupan sosialnya begitu kuat, antara kesenian dan sektor kehidupan lain, misalnya pertanian, keagamaan, perdagangan, para seniman di sana bisa survive. Seniman yang biasanya main untuk turis juga bisa main di banjar-banjar.
Apakah seni tradisional bisa berjalan beriringan dengan teknologi digital yang terus berkembang?
Ada yang menarik dengan berkembangnya dunia digital dan media sosial. Sebetulnya, yang lebih banyak mencari nilai-nilai tradisi atau berusaha mengangkatnya justru kebanyakan anak muda. Mereka mencari ke mana-mana, membuat dokumentasi, lalu mengunggahnya ke Internet, misalnya jatilan. Mereka punya kebanggaan tersendiri. Perhatian atau minat anak-anak muda terhadap fenomena kehidupan kesenian tradisional ternyata lebih tinggi daripada orang-orang tua.
Kemajuan teknologi bukan ancaman?
Ancaman sekaligus peluang. Teknologi memberikan platform baru. Misalnya dengan adanya fotografi sampai video melalui ponsel, jadi tidak harus beli film seperti zaman dulu. Mungkin karena platformnya ada, anak muda tergerak untuk mengisinya. Teknologi digital memberi peluang baru untuk hal-hal demikian. Kita juga tahu bahwa perhatian pada kelokalan, kepedulian pada identitas diri, dan pencarian konteks yang spesifik menjadi salah satu tren zaman sekarang.
Anda pernah kuliah dan tinggal cukup lama di Amerika Serikat. Bagaimana anak muda di sana menunjukkan ketertarikan pada kesenian?
Saya hampir sepuluh tahun di sana. Di Barat pun banyak orang tua yang tidak suka pada kesenian klasik. Penggemar musik klasik di Eropa atau Amerika, misalnya, sangat jauh jumlahnya dibandingkan dengan populasi. Hanya, di sana berhasil membangun cukup jumlah orang untuk mendukung kehidupan kesenian tradisional. Saya pernah terkejut mendapati satu produksi opera Barat yang tiketnya sudah habis dua tahun sebelum dipentaskan. Padahal opera sudah jarang sekali dipertunjukkan karena seniman ataupun penontonnya sedikit. Itu bukan karena saking banyaknya penggemar, tapi saking setianya.
Apakah di Indonesia tidak ada penikmat seni yang seperti itu?
Di sini tidak ada critical mass. Sedangkan di sana ada kelompok penggemar yang cukup untuk menghidupi kegiatan kesenian sehingga bisa terus berjalan. Critical mass di Indonesia barangkali yang tidak tumbuh.
Anda masih mengeksplorasi bambu sebagai bahan untuk membuat bermacam instrumen musik. Seperti apa perkembangannya?
Masih berjalan. Ini sesungguhnya bagian dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara yang saya kembangkan. Saya membuat gitar dari bambu, padahal saya tidak bisa memainkan satu pun kunci. Saya juga bukan pencinta gitar. Saya dari dulu lebih menyukai kesenian tradisi. Riset-riset saya juga tentang kesenian tradisi.
Lalu mengapa Anda membuat gitar dari bahan bambu?
Dalam pembuatan gitar bambu, saya bisa belajar tentang konsep atau teori akustika. Analisis akustika terus terang tidak bisa saya peroleh dari alat-alat musik tradisional. Uraian dan analisisnya hampir tidak ada.
Mengapa?
Spesifikasi alat-alat musik Barat jelas, memakai ukuran sampai seperseratus milimeter dan sudah berjalan puluhan hingga ratusan tahun. Dari situ kita bisa belajar sistematika akustiknya. Apalagi sekarang ada teknologi digital. Permodelan digital dan analisisnya bisa lebih canggih. Dari situlah saya belajar memahami konsep atau perhitungan akustiknya.
Alat musik apa saja yang Anda bikin dari bambu?
Selain gitar, ada kecapi dan beduk untuk masjid. Sudah ada tiga beduk yang terjual dengan harga Rp 25 juta, sekitar dua kali lipat lebih mahal dari beduk kayu dengan ukuran sama. Sebuah gitar laku Rp 7,5-9 juta dan kecapi sampai Rp 15 juta.
Anda mengomersialkan alat-alat musik bambu tersebut?
Sekarang mulai dikomersialkan. Mungkin sudah ada tidak lebih dari sepuluh alat musik dalam delapan tahun ini. Baru terjual segitu, he-he-he….
Apakah instrumen bambu laku terjual selama pandemi?
Gitar sudah ada selusin yang telah diproduksi. Setengahnya dijual pada masa pandemi. Mereknya PSN atau Pendidikan Seni Nusantara. Gitar bambu buatan kami juga dipakai Iwan Fals, Donny Suhendra, hingga vokalis grup Padi, Fadly. Iwan Fals mungkin ada sepuluhan atau belasan lagu yang dimainkan dengan gitar bambu. Kalau dimainkan terus kan berarti ada sesuatunya.
ENDO SUANDA | Tempat dan tanggal lahir: Majalengka, Jawa Barat, 14 Juli 1947 | Pendidikan: Sarjana Muda dari Akademi Seni Tari, Bandung (1968-1973); Program S-1 Akademi Seni Tari, Yogyakarta (1973-1976); Master Etnomusikologi dari Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat (1979-1983); Program S-3 Etnomusikologi, University of Washington, Amerika Serikat (1987-1991) | Karier: Anggota Dewan Pleno Akademi Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta; Direktur Program Tikar Media Budaya Nusantara, Bandung; Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, Bogor | Penghargaan: Asia Leadership Fellow Program dari The Japan Foundation and The International House of Tokyo (1998), Anugerah Budaya dari Wali Kota Bandung (2009), Penghargaan Ikon Pancasila dari Sekretariat Negara (2020)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo