Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Jalan Budaya Membangun Papua

Mathius Awoitauw mengembalikan sistem pemerintahan ke kampung adat. Agar pembangunan melibatkan masyarakat setempat.

6 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mathius Awoitauw, Bupati Jayapura, di Jayapura, Papua. Thimotius Taime

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat adat di Papua sejak lama sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri.

  • Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa membuat masyarakat adat terpinggirkan.

  • Proyek pembangunan banyak yang mandek karena tidak melibatkan masyarakat adat.

DELAPAN tahun menjabat Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw meluncurkan buku Kembali ke Kampung Adat, Meniti Jalan Perubahan di Tanah Papua, awal Januari lalu. Dalam buku itu, ia menawarkan jalan budaya dengan melibatkan kampung adat dalam membangun Papua. “Papua itu unik. Floranya terbanyak di dunia, melebihi Madagaskar, dan budayanya luar biasa,” kata Mathius, Jumat, 5 Februari lalu.

Sejak memimpin Kabupaten Jayapura, Mathius, 61 tahun, mendorong solusi jalan budaya tersebut dengan mengembalikan kepemimpinan wilayah ke kampung adat. Ia, antara lain, mengumpulkan para pemuka kampung adat untuk mendiskusikan peluang mengembalikan kepemimpinan tersebut, setahun setelah ia dilantik pada 2012.

Semula para pemimpin kampung adat tak percaya lantaran selama ini mereka tak dianggap ada dalam pemerintahan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayapura berulang kali menolak draf Peraturan Daerah Sistem Pemerintahan Asli yang diajukan oleh para pemuka adat dan aktivis sejak 2008. Para pemuka adat baru percaya terhadap program yang diajukan oleh Mathius setelah berkali-kali diyakinkan.

Para pemuka adat itu akhirnya mendeklarasikan kebangkitan masyarakat adat pada 24 Oktober 2013. Sampai sekarang setiap tahun tanggal itu diperingati sebagai hari kebangkitan masyarakat adat Kabupaten Jayapura. Mathius dan timnya juga mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Kampung Adat Kabupaten Jayapura yang kemudian disahkan oleh DPRD Kabupaten Jayapura pada 3 Oktober 2016. Aturan itu membedakan kampung dengan kampung adat serta mengklasifikasikan kampung yang telah ada di Jayapura.

Pemerintah Kabupaten Jayapura juga menaikkan alokasi dana kampung dari Rp 100-150 juta menjadi Rp 300-500 juta per kampung. Anak adat asal Kabupaten Jayapura pun diberi peluang masuk sebagai pimpinan dalam satuan kerja perangkat daerah. Pemerintah juga memberikan dana pembinaan sebesar Rp 125 juta untuk sembilan komunitas adat di Jayapura.

Secara bertahap, wilayah mereka dipetakan, termasuk hak-hak mereka atas wilayah. Hingga kini, ada 14 kampung adat yang sudah disahkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Beberapa kampung lain bersiap menyusul disahkan.

Mathius menjalankan semua program tersebut untuk membangun masyarakat Kabupaten Jayapura dan menyelesaikan berbagai ketegangan dalam masyarakat. Sebelumnya, banyak pembangunan di kampung terhenti karena tak melibatkan pemuka adat setempat. “Tidak ada koordinasi dari pemerintah desa dengan pemimpin adat,” ujarnya.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, menurut dia, masyarakat Papua sudah punya sistem kemasyarakatan sendiri yang berbeda dengan wilayah lain. Setiap kelompok masyarakat di Papua memiliki pemerintah adat atau kampung adat yang otonom dan bisa menata kehidupan warganya, dari persoalan sosial-budaya, ekonomi, hukum, hingga politik.

Mereka mendiami dan mengelola wilayah yang mereka kenali batasnya dengan wilayah kelompok lain. Mereka melestarikan dan memanfaatkan hasil alam, baik tanah, hutan, maupun air, yang ada di wilayah kelolaan tersebut. Mereka memiliki aturan tentang pengelolaan alam itu, termasuk tanah ulayat yang dimanfaatkan bersama. “Bagi komunitas adat di Papua, alam, manusia, dan komunitas adalah satu kesatuan,” tutur Mathius.

Di Kabupaten Jayapura, setiap kampung adat itu dipimpin oleh seorang kepala suku yang menjadi pusat kehidupan masyarakat. Seorang kepala suku antara lain bertugas melindungi dan menjamin kesejahteraan anggota kelompoknya dan melestarikan lingkungan wilayahnya. Penyelesaian tugas ini dibantu oleh perangkat pemerintah adat.

Namun keberadaan masyarakat adat tersebut terpinggirkan antara lain disebabkan oleh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Aturan itu menyeragamkan sistem pemerintahan di semua wilayah di Indonesia dengan mengangkat perangkat desa untuk setiap wilayah. Jadi ada dua kepemimpinan dalam satu wilayah di Kabupaten Jayapura, yakni kepemimpinan adat dan kepemimpinan desa. “Masyarakat lebih mendengarkan kepala suku daripada pemerintah desa,” ujar Mathius.

Pembangunan yang tak melibatkan pemimpin adat setempat biasanya akan tersendat. Di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, misalnya, program pengadaan air bersih tak pernah rampung lantaran pemerintah desa tak mendiskusikannya dengan masyarakat adat. Pemerintah desa juga ogah mengeluarkan uang untuk masyarakat di sumber mata air tersebut. “Uang itu bukan untuk bayar, tapi tanda permisi. Hal-hal seperti itu yang tidak dikoordinasikan pemerintah desa,” ujar Ondoafi atau Pemimpin Adat Kampung Aib, Pieter Dantru.

Demikian pula dengan pembangunan balai kampung. Pemerintah desa mendirikannya di atas tanah adat tanpa berdiskusi terlebih dulu dengan kepala suku atau perangkat adat lain sehingga keberadaannya ditolak oleh masyarakat.

Pieter mengapresiasi pengakuan kampung adat yang digagas Mathius. Ada empat kampung yang sudah diakui di wilayahnya. Menurut dia, pengembalian sistem pemerintahan itu akan menjadi salah satu kekuatan untuk mengefektifkan pembangunan. “Masyarakat adat sudah terbiasa bergotong-royong dan bermusyawarah. Ini akan menjadi kekuatan dalam pembangunan,” katanya.

Sebelum menjabat bupati, Mathius bekerja di sejumlah lembaga swadaya masyarakat selama 27 tahun. Ia pernah menjadi Koordinator Wilayah World Vision International, Direktur Asosiasi Fasilitator Perencanaan Pembangunan Partisipatif Papua, Koordinator Program Community Development PT Freeport Indonesia, dan Direktur Sekolah Demokrasi Indonesia di Papua. Ia salah seorang aktivis yang mendorong pengajuan draf Peraturan Daerah Sistem Pemerintahan Asli ke DPRD Jayapura pada 2008. “Pembangunan sejatinya bertujuan menyejahterakan masyarakat setempat, tapi yang saya lihat, justru dilakukan tanpa melibatkan masyarakat,” ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw menjadi pembicara tentang "Kebijakan Kampung Adat dan Distrik" di Univeristas Cenderawasih, Jayapura, Papua, Selasa, 2 Februari 2021. Facebook.com/ Pemerintah Kabupaten Jayapura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mathius baru terjun ke dunia politik pada 2007 ketika menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Jayapura selama dua periode (2007-2012). Ia kemudian berulang kali dilamar menjadi calon bupati pada 2012. Ia diusung oleh koalisi partai kecil, seperti Partai Damai Sejahtera, Partai Koalisi Kebangkitan Ulama, dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan. Ia membawa visi-misi mengakui hak masyarakat adat. “Semula saya menolak dicalonkan. Tapi saya berpikir, kalau misalnya saya terpilih, ini kesempatan saya untuk memperjuangkan masyarakat adat,” tuturnya. Mathius, yang semula diprediksi tak menang, ternyata mendapatkan suara terbanyak. 

Ia kembali terpilih menjadi bupati untuk periode 2017-2022. Mathius menyelesaikan satu per satu program pengakuan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya dengan pemetaan wilayah berserta pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah tersebut.

Pemetaan ini, menurut Mathius, akan membuat wilayah menjadi jelas. Investor yang ingin berinvestasi di suatu wilayah bisa berunding dengan masyarakat adat untuk mencapai kesepakatan. Nanti, jika masa kontrak telah berakhir, aset yang ada di atas lahan tersebut menjadi milik masyarakat adat. “Selama ini, investor ragu untuk masuk karena tidak ada kepastian,” tuturnya.

Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Nasional, Abdon Nababan, mengatakan pengakuan wilayah adat tersebut bisa mengendalikan korupsi perizinan penggunaan lahan. Semua investasi yang masuk akan melalui perizinan masyarakat adat. “Bukan tiba-tiba muncul dari pemerintah pusat ataupun provinsi,” ujarnya.

Pengakuan tersebut, menurut Abdon, juga akan meminimalkan konflik di Papua. Masyarakat pun lebih bisa menikmati pembangunan. “Apa yang dia (Mathius) lakukan bisa ditiru di wilayah lain,” ucapnya.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus