Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Meja Hijau buat Bolsonaro

Komisi Senat Brasil meminta kejaksaan mendakwa Presiden Jair Bolsonaro dalam berbagai kebijakan pandemi Covid-19. Dia dituduh terlibat korupsi pengadaan vaksin Covid-19.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Brasil diminta mendakwa Presiden Jair Bolsonaro.

  • Bolsonaro dituduh terlibat korupsi pengadaan vaksin Covid-19 dan kejahatan kemanusiaan.

  • Senat akan mengajukan kasusnya ke Mahkamah Pidana Internasional.

TEKANAN terhadap Presiden Brasil Jair Bolsonaro terus bergulir. Setelah Komisi Covid-19 Senat (CPI) meminta kejaksaan mendakwa Bolsonaro dalam berbagai kebijakan penanganan pandemi Covid-19 pada akhir Oktober lalu, kini Kantor Kejaksaan Federal Brasil memulai penyelidikan pidana terhadap Fabio Wajngarten, mantan sekretaris pers Bolsonaro. Wajngarten dituduh telah memberikan sumpah dan kesaksian palsu ketika memberi keterangan di hadapan Komisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Mei lalu, misalnya, Wajngarten membantah telah menyatakan kepada majalah Veja bahwa pemerintah menolak membeli 70 juta dosis vaksin Covid-19 bikinan Pfizer karena inefisiensi dan ketidakmampuan manajer Kementerian Kesehatan. Wajngarten bungkam ketika Komisi memutar rekaman wawancaranya dengan majalah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah senator kemudian meminta Presiden CPI Omar Aziz memerintahkan penangkapan terhadap Wajngarten karena berbohong, tapi Aziz menolaknya. “Saya seorang demokrat. Jika dia berbohong, kita bisa meminta jaksa mendakwanya. Ini bukan sidang pengadilan,” kata Aziz saat itu seperti dikutip Prime Time Zone.

Kesaksian Wajngarten ini merupakan bagian dari penyelidikan Komisi mengenai penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah Jair Bolsonaro. Laporan akhir Komisi, yang telah diserahkan kepada Jaksa Agung Augusto Aras untuk ditindaklanjuti, memaparkan sembilan dugaan kasus pidana yang melibatkan Bolsonaro, termasuk kejahatan di ranah kesehatan masyarakat dan kejahatan kemanusiaan. Selain menyebut Bolsonaro, Komisi menyebut 77 orang, termasuk tiga putra Bolsonaro, turut bertanggung jawab dalam kasus-kasus tersebut.

Dokumen Komisi memaparkan Bolsonaro dan orang-orang dekatnya diduga terlibat dalam kontrak pembelian 20 juta dosis Covaxin, vaksin Covid-19 bikinan Bharat Biotech India, pada Februari lalu. Kementerian Kesehatan Brasil harus membayar US$ 320 juta atau US$ 15 per dosis kepada Precisa Medicamentos, perantara Bharat Biotech di Brasil. Saat itu, Bolsonaro malah menolak tawaran Pfizer, yang mengajukan vaksinnya dengan harga lebih murah, yakni US$ 10 per dosis. Padahal vaksin Pfizer sudah mendapat izin penggunaan darurat oleh Anvisa, badan pengawas kesehatan Brasil, sedangkan Covaxin belum. Bahkan kala itu Covaxin baru selesai uji klinis tahap pertama.

Karena Bharat Biotech tidak memiliki izin vaksin untuk kesehatan di Anvisa, Kementerian Kesehatan meminta Manajemen Umum Obat dan Produk Biologi (GGMED) mengeluarkan izin impor vaksin. GGMED memperingatkan bahwa tidak mungkin menentukan kualitas, keamanan, dan kemanjuran vaksin dengan informasi yang tersedia saat itu. Catatan teknis Anvisa bahkan menyebutkan risiko dan ketidakpastian dalam penggunaan Covaxin dapat memperburuk situasi pandemi.

Soal harga vaksin juga menimbulkan pertanyaan. Dalam komunikasi diplomatiknya, Duta Besar Brasil di India memperingatkan adanya ketidakberesan dalam rencana pengadaan Covaxin yang begitu cepat. Ia menyebutkan pejabat Bharat menginformasikan harganya US$ 1,34 per dosis. Tapi, ketika kontrak dibikin pada Maret lalu, harganya melambung menjadi US$ 15.

Dalam kesaksiannya kepada kejaksaan, Kepala Koordinasi Logistik Umum Luis Ricardo Miranda mengaku mendapat tekanan yang tidak biasa mengenai impor Covaxin. Salah satunya dari Alex Lial Marinho, salah seorang pembantu sekutu terdekat Bolsonaro. Ia juga menerima beberapa pesan dari pejabat tinggi Kementerian Kesehatan, bahkan pada hari libur Sabtu dan Ahad. Dia mengatakan “atasan” mencoba mendapat kelonggaran guna memperoleh dokumen dari Anvisa untuk impor vaksin.

Di depan Komisi, Miranda mengaku telah memperingatkan Bolsonaro soal ketidakberesan ini dan Bolsonaro menyatakan akan melaporkannya ke polisi. Namun Komisi tak menemukan adanya pengaduan ke polisi mengenai hal ini.

Ketika skandal ini mencuat pada Juni lalu, hakim agung Rosa Weber memerintahkan polisi menyelidikinya. Polisi memeriksa apakah Bolsonaro melakukan kejahatan dengan menunda atau menahan keputusan sebagai pejabat publik karena kepentingan pribadi. Weber tidak menampik anggapan bahwa penyelidikan ini mungkin melebar ke masalah lain dalam kontrak itu.

Belakangan, pemerintah memutuskan menangguhkan kontrak tersebut. Bolsonaro membantah telah melakukan penyimpangan. Dia mengaku tak bisa mengikuti segala hal yang terjadi di pemerintahan dan meletakkan kepercayaan kepada para menterinya.

Presiden Brazil Jair Bolsonaro di Brasilia, Brazil, 20 Oktober 2021. REUTERS/Ueslei Marcelino

Laporan Komisi Covid-19 Senat itu disusun setelah mendengarkan lebih dari 100 saksi dalam 66 pertemuan. Komisi juga memeriksa sekitar 20 juta gigabita informasi digital untuk melacak penyebab dan konsekuensi dari keputusan Bolsonaro, seperti kebijakannya yang longgar terhadap Covid-19 karena percaya pada terbentuknya kekebalan kelompok secara alamiah. Bolsonaro juga meremehkan virus corona dan menganggapnya sebagai “flu kecil”. Selain itu, dia mempromosikan penggunaan hidroksiklorokuin dan obat-obatan lain yang belum terbukti sebagai obat Covid-19, padahal Badan Pengawas Obat Amerika Serikat (FDA) menemukan obat antimalaria hidroksiklorokuin terbukti tidak memberikan efek pada penyakit Covid-19. Ia juga menentang penggunaan masker dan, yang paling kritis, gagal menyediakan stok vaksin Covid-19 secara memadai.

Untuk kasus kejahatan kemanusiaan, Komisi mengangkat penderitaan yang dialami penduduk pribumi, yang kebanyakan bermukim di kawasan hutan Amazon di Negara Bagian Amazonas. Komisi menyebut Bolsonaro sebagai presiden yang mengabaikan hak-hak kaum pribumi. Ketika pandemi melanda, pemerintah hanya sedikit memberikan bantuan kepada mereka. Vaksinasi pun hanya mencakup penduduk sejumlah desa, yang cuma separuh dari total kaum pribumi. Ketika Mahkamah Agung memerintahkan vaksinasi secara menyeluruh, pemerintah menolak melakukannya dengan berbagai alasan. Pemerintah federal baru melakukannya setelah Mahkamah berulang kali mengeluarkan perintah.

Salah satu kasus tragis terjadi di Amazonas pada Januari lalu. Pada akhir 2020, pejabat setempat sudah memperingatkan pemerintah federal bahwa negara bagian itu kekurangan pasokan oksigen bagi para pasien Covid-19. Bukannya memasok bantuan oksigen, para pejabat Bolsonaro malah mengirim obat-obatan yang belum terbukti sebagai obat Covid-19. Ketika pasokan oksigen habis, lusinan pasien pun meninggal. Pemerintah federal juga mengirim obat-obatan tersebut ke penduduk pribumi.

Komisi Covid-19 Senat telah menyerahkan laporannya kepada Jaksa Agung. Jika didakwa secara resmi, Bolsonaro akan menghadapi ancaman hukuman 21-79 tahun penjara. Laporan tersebut juga akan dipresentasikan ke majelis rendah Kongres, yang bisa mengarah pada proses pemakzulan terhadap Bolsonaro bila ia terbukti melakukan pelanggaran.

Para senator pendukung Komisi khawatir bahwa upaya mendakwa Bolsonaro akan menemui jalan buntu karena dibendung oleh para politikus pendukungnya. Untuk itu, mereka mungkin akan membawa kasus kejahatan kemanusiaan Bolsonaro ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, bila sistem peradilan Brasil gagal menuntut sang Presiden dalam kasus penanganan Covid-19.

Presiden Bolsonaro meremehkan laporan Komisi ini. “Ini lelucon,” tuturnya dalam wawancara dengan stasiun radio Jovem Pan. Tapi dia mengakui laporan ini akan menimbulkan banyak masalah. Bolsonaro menilai laporan itu akan mempengaruhi ketidakpercayaan dunia luar yang akan mengganggu perekonomian Brasil.

Sejak laporan itu dilansir, popularitas Bolsonaro turun. Sejak Januari hingga Oktober, jumlah responden yang menilai pemerintahan Bolsonaro “buruk” meningkat, dari 40 persen ke 53 persen. Adapun penilaian “baik” dan “luar biasa” turun, dari 32 persen ke 22 persen, titik terendah sejak dia menjadi presiden pada 2019.

Brasil akan menggelar pemilihan presiden pada Oktober tahun depan dan Bolsonaro berencana maju kembali. Turunnya popularitas ini adalah kabar buruk bagi Bolsonaro karena, bila gagal terpilih sebagai presiden lagi, ia akan kehilangan kekebalan untuk diadili.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus