Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 50 narapidana mengaku disiksa saat ditahan di Lapas Narkotika Sleman.
Lima sipir diperiksa karena berlebihan menerapkan hukuman.
Para narapidana juga mendapatkan pelecehan seksual.
GORESAN merah kehitaman nyaris memenuhi pangkal lengan kanan Vincentius Titih Gita Arupadathu. Menurut laki-laki 35 tahun ini, tanda itu bekas luka sabetan pipa air leding. Ia mendapat penyiksaan dari petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, enam bulan lalu. “Saya mengalami trauma,” ujarnya, Kamis, 4 November lalu.
Warga Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, itu mengeluhkan penyiksaan sipir berdampak pada kondisi psikologis. Ia kerap sulit tidur karena sering teringat satu per satu wajah petugas penjara yang menyiksanya. Vincentius akhirnya lepas dari penyiksaan itu setelah mendapat pembebasan bersyarat pada 19 Oktober lalu.
Dua pekan setelah bebas, Vincentius bersama sembilan eks narapidana dan pendampingnya melaporkan dugaan penyiksaan itu ke Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Yogyakarta Budhi Masthuri. “Dari keterangan saksi dan pelapor, kami sudah mengumpulkan nama petugas lembaga pemasyarakatan yang diduga menyiksa tahanan,” kata Budhi.
Vincentius mendapatkan beragam kekerasan di hari pertama ia dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wirogunan ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman pada 26 April lalu. Hakim memvonisnya satu tahun lima bulan penjara karena mengantongi sabu. Sebelumnya ia pernah dibui karena kepemilikan ganja pada 2014-2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vincentius Titih Gita Arupadathu eks narapidana Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bekas luka karena sabetan pipa plastik petugas lapas di rumah pendampingnya di Yogyakarta, 4 November 2021/TEMPO/Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari itu, dua regu sipir menggelandang Vincentius bersama sebelas narapidana lain ke tanah lapang berpasir yang kerap disebut “gelanggang”. Lokasi ini disebutkan sering digunakan petugas untuk menyiksa tahanan. Di bawah terik matahari, mereka disuruh membuka baju hingga menyisakan kolor.
Para sipir itu memerintahkan mereka jongkok, berguling, dan koprol, sambil menyabetkan potongan pipa. Ada pula sipir yang mencambuk dengan kabel tembaga dan memukuli tubuh narapidana memakai kayu. “Saat itu, saya dan satu napi lain dipaksa makan pepaya busuk,” tutur Vincentius.
Ia memuntahkan sebagian pepaya benyek itu hingga membuat petugas marah. Akibatnya, Vincentius mendapat hukuman memakan muntahannya. “Saya juga ditendang,” ujarnya. Para petugas juga memaki para napi dengan nama-nama binatang.
Kekerasan berlangsung hingga pukul 19.00. Mereka dimasukkan ke sel isolasi di Paviliun Edelweis. Tapi ketenangan hanya berlangsung selama 90 menit. Petugas regu malam menggelandang mereka ke lapangan voli dengan bentuk kekerasan yang nyaris serupa.
Penyiksaan di penjara juga dialami Luthfi Farid. Warga asal Bekasi, Jawa Barat, berusia 27 tahun ini mengaku dipukuli, ditendang, serta dicambuk dengan pipa air dan kabel pada Agustus 2020. Luthfi bebas pada April lalu setelah menjalani lima tahun dan enam bulan hukuman penjara karena kepemilikan ganja.
Saat itu, sipir mendatangi kamar sel Luthfi di Paviliun Cempaka pada pukul 4 dinihari. Petugas menyuruh dia berjalan jongkok dari kamar sel hingga lapangan voli yang berjarak 200 meter. Selama dua jam sipir mencambukinya dengan pipa dan kabel. Setelah itu, satu dari lima petugas tersebut memerintahkan mereka berguling di lapangan.
Sipir menuduh Luthfi dan napi lain memiliki telepon seluler. Mereka juga dianggap membangkang dan menyusun rencana melawan sipir. Setelah disiksa, mereka dimasukkan ke sel isolasi di Paviliun Edelweis.
Di dalam sel isolasi gelap itu, Lutfhi mengklaim tak mendapat pakaian yang layak untuk beribadah. Jatah makanan juga hanya diberikan sekali dalam sehari. “Sipir berkali-kali menampar wajah kami bila ketahuan bersuara di dalam kamar,” tutur Luthfi.
Empat eks narapidana lain juga menceritakan hal yang serupa dalam surat aduan. Michael Bagas Galang Kurniawan, 20 tahun, misalnya mengaku mendapat sabetan potongan selang air, kabel, dan kayu pada 26 Januari lalu bersama 20 narapidana lain saat baru tiba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman. Para narapidana juga dipecut dengan penis sapi yang sudah dikeringkan.
Tak hanya siksaan fisik, mereka mengalami perundungan seksual karena dipaksa menirukan tiga gaya bersetubuh dalam keadaan telanjang. Suatu hari, sipir mengeluarkan isi mentimun dan meletakkan sambal. Kepada seorang napi, sipir itu meminta agar dia bermasturbasi menggunakan mentimun itu.
Nama Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman sempat populer karena video yel-yel kekompakan para narapidana di YouTube viral di media sosial. Program pemulihan narapidana kasus narkotik di penjara ini juga dianggap menonjol karena mengadopsi sistem pesantren dan memiliki perpustakaan dengan koleksi buku paling banyak.
Luthfi mengatakan sebaliknya. Mereka wajib bangun tidur tiap pukul 04.00. Setelah itu, mereka diperintahkan berbaris dan mengikuti apel. “Persis latihan militer,” ucapnya.
Sipir juga dituding tak memperlakukan narapidana yang sakit dengan layak. Akses berobat ke poliklinik sangat terbatas. Asupan gizi juga dianggap kurang.
Anggara Adiyaksa, pendamping para narapidana, mengatakan aduan ke Ombudsman Yogyakarta dilayangkan setelah sejumlah lembaga negara tak mengubris laporannya. Mereka pernah mengadu ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta pada 16 September 2020 secara online, tapi tak direspons.
Anggara menghimpun lebih dari 50 eks napi yang mengalami kekerasan selama mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman. “Segera hentikan kekerasan dan pelaku sesuai dengan aturan,” katanya.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman Cahyo Dewanto mengatakan kasus ini menjadi pukulan berat bagi pihaknya. Selama ini, dia menjelaskan, Lembaga Pemasyarakatan Sleman merupakan rujukan penjara lain sebagai lembaga pemasyarakatan yang bersih dari narkotik. “Rasanya malu, terlepas kekerasan itu benar ada atau tidak,” ujar Cahyo.
Ia menyerahkan hasil pemeriksaan dugaan kekerasan terhadap napi kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta. Cahyo berjanji akan menerima apa pun hasil pemeriksaan dan tetap mematuhi aturan.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Cahyo Dewanto di ruang kerjanya, 6 Mei 2021/TEMPO/Shinta Maharani
Namun ia membantah kabar bahwa narapidana kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Cahyo juga pernah mengatakan Lembaga Pemasyarakatan Sleman mengadopsi latihan ala militer untuk mencegah kekacauan akibat budaya senioritas. Misalnya, penjara mewajibkan setiap blok membuat yel-yel yang diucapkan setiap pagi dan sore serta mengikuti baris-berbaris.
Dia mengklaim sipir memperlakukan semua napi setara ketika membagikan makanan, pakaian, dan hukuman. Contohnya, jika ada narapidana melanggar aturan, petugas memasukkan napi itu ke sel isolasi. Cahyo tak mengabulkan permintaan Tempo untuk mengecek kondisi sel isolasi tersebut dengan alasan keamanan.
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta menarik lima petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman karena terindikasi menerapkan disiplin secara berlebihan terhadap narapidana baru. Lima petugas itu berdalih mendisiplinkan narapidana agar patuh aturan. Tujuannya adalah memberantas peredaran narkotik, telepon seluler, dan uang tunai.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DI Yogyakarta Budi Argap Situngkir mengatakan pihaknya melakukan investigasi mendalam tentang kekerasan di dalam penjara. Dari hasil pemeriksaan sementara terhadap lima petugas tersebut, Budi mengatakan tindakan itu dilakukan sebagai bagian dari ketatnya pengamanan penjara. “Saking ketatnya, lembaga pemasyarakatan seperti neraka buat bandar narkotik,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo