Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nguyen Quoc Duc Vuong divonis penjara karena mengkritik pemerintah.
Total 284 aktivis dan jurnalis telah dipenjara sejak 2017.
Jumlah penangkapan meningkat menjelang kongres partai komunis pada Januari 2021.
ORGANISASI pemantau hak asasi manusia Human Rights Watch mengenali Nguyen Quoc Duc Vuong sebagai aktivis Vietnam. Ia kerap membuat komentar kritis di laman Facebook dan berbicara secara terbuka tentang pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan kegagalan pemerintahan Partai Komunis Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan Vuong itu dituangkan melalui puisi, esai, berita, video, dan siaran langsung di platform media sosial tersebut. “Dia bagian dari gerakan narablog dan aktivis Vietnam yang lebih besar yang berani menggunakan hak berekspresinya untuk mengkritik pemerintah,” ucap Phil Robertson, Wakil Direktur Divisi Asia Human Rights Watch (HRW), kepada Tempo, Kamis, 16 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivisme Vuong berhenti setelah polisi menyatroni rumahnya dan menciduk pemuda 29 tahun itu pada 23 September 2019. Ia ditahan di penjara Mat-Lam Dong dan tak pernah bisa bertemu dengan keluarganya. Hanya pengacaranya, Nguyen van Pieces, yang masih bisa menemuinya. Terakhir kali sang pengacara menengoknya pada 12 Juni lalu. Nguyen van Pieces kemudian memberi tahu keluarga Vuong bahwa pemuda itu sehat, stabil secara mental, dan kuat.
Dalam sidang pada 7 Juli lalu, Vuong mengaku tidak bersalah atas tuduhan menyebarkan propaganda antinegara karena ia hanya menyuarakan pandangan pribadinya. Namun hakim tetap menjatuhkan vonis 8 tahun penjara kepadanya karena “melakukan propaganda antinegara” berdasarkan Pasal 117 Hukum Pidana.
Alasannya, kata hakim, seperti dilansir kantor berita pemerintah VNA, Vuong telah menyiarkan video dengan total sekitar 110 jam tayang dan menulis 366 artikel yang “mencemarkan nama baik Partai Komunis dan sosialisme, mempermalukan Ho Chi Minh dan para pemimpin partai dan negara lain”. Pengadilan menilai perilakunya berbahaya bagi masyarakat.
Persidangan Vuong ini merupakan serangkaian tindakan keras pemerintah Vietnam terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan. Pada 12 Juni lalu, polisi menangkap Le Huu Minh Tuan, jurnalis anggota Asosiasi Jurnalis Independen Vietnam (IJAVN), atas tuduhan menciptakan dan menyebarkan propaganda antipemerintah. Ia dijerat menggunakan pasal yang sama dengan Vuong.
Sebelumnya, polisi menangkap dua jurnalis yang juga anggota IJAV, organisasi wartawan yang didirikan pada 2014 tapi tidak diakui pemerintah. Ketua IJAV Pham Chi Dung ditangkap pada 21 November 2019 dan wakilnya, Nguyen Tuong Thuy, pada 23 Mei 2020. Menurut Kementerian Keamanan Umum, mereka ditangkap karena melawan negara, termasuk “mengarang, menyimpan, dan menyebarkan informasi serta bahan-bahan lain yang menentang pemerintah Vietnam”.
Dengan banyaknya penangkapan terhadap jurnalis ini, April lalu, organisasi Reporters Without Borders menempatkan Vietnam di peringkat ke-176 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2020. Kementerian Luar Negeri Vietnam menolak indeks itu dan mengatakan pemeringkatan tersebut dilakukan “berdasarkan informasi yang salah, jahat, dan tidak berdasar”.
Menurut The 88 Project, organisasi penyokong kebebasan berekspresi di Vietnam, penangkapan Vuong ini menambah panjang daftar setidaknya 284 aktivis kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang telah dipenjara dan 78 perempuan aktivis yang dipersekusi sejak Desember 2017. Menurut HRW, Vietnam memiliki ratusan tahanan politik, jauh lebih besar daripada negara mana pun di ASEAN, sehingga menjadi salah satu negara yang paling banyak melanggar hak asasi manusia di kawasan ini.
HRW memperkirakan jumlah penangkapan aktivis dan jurnalis terus bertambah. “Pemerintah Vietnam telah menggunakan terganggunya komunitas internasional oleh pandemi Covid-19 untuk memperluas tindakan kerasnya terhadap pengkritik, khususnya menjelang kongres Partai Komunis Vietnam yang akan berlangsung pada awal 2021,” tutur Robertson.
•••
NGUYEN Quoc Duc Vuong tinggal bersama ayah dan empat kakak lelakinya di Dusun Hai Duong, Komune Lac Lam, Distrik Don Duong, Provinsi Lam Dong, sekitar 240 kilometer dari Ibu Kota Ho Chi Minh. Ibunya sudah meninggal. Menurut The 88 Project, ia dulu bekerja sebagai petani. Ia beberapa kali berganti pekerjaan karena gangguan dari aparat keamanan setempat karena aktivismenya. Pekerjaan terakhirnya adalah asisten pengemudi untuk saudaranya.
“Saya tidak yakin bahwa semua aparatur negara korup, tapi saya 100 persen yakin mereka yang terlibat korupsi adalah anggota Partai Komunis. Vietnam hanya mengizinkan satu partai dan tidak mengizinkan oposisi bersaing.”
Vuong termasuk Facebooker yang populer. Ia memiliki lebih dari 10.500 pengikut. Selain berbagi artikel berita, Vuong sering menyiarkan pendapatnya tentang isu-isu nasional, seperti soal kedaulatan, korupsi, dan hak atas tanah. Ia juga berpartisipasi dalam sejumlah demonstrasi. Salah satunya unjuk rasa menentang dua rancangan undang-undang tentang zona ekonomi khusus dan keamanan siber pada 10 Juni 2018.
Zona ekonomi khusus itu memicu protes nasional karena memungkinkan investor asing memiliki hak sewa tanah selama 99 tahun. Masyarakat khawatir hal itu akan memperluas ekspansi perusahaan Cina di negeri mereka. Ribuan orang ikut serta dalam demonstrasi di Ho Chi Minh, Hanoi, Nha Trang, dan daerah lain.
Polisi di beberapa kota dituduh menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan untuk membubarkan protes. Bentrokan paling keras terjadi di Binh Thuan, tempat para demonstran melemparkan batu dan bom molotov ke markas besar Komite Rakyat, lembaga eksekutif tingkat provinsi di negeri itu. Polisi antihuru-hara menggunakan gas air mata, bom asap, dan meriam air untuk membubarkan para pemrotes. Menurut kepolisian, sebanyak 107 orang ditahan akibat demonstrasi itu. Vuong dilaporkan ikut dalam demonstrasi dan sempat ditahan selama tiga hari serta didenda sekitar Rp 500 ribu.
Vuong juga menjadi target pemerintah karena komentar-komentarnya di Facebook. Namun tidak jelas komentar mana yang membuat pemerintah marah dan polisi kemudian menangkapnya. Dia memang secara teratur menyiarkan komentarnya tentang masalah sosial dan politik, termasuk dukungannya kepada demokrasi dan kritiknya terhadap partai yang berkuasa.
Dalam sebuah siaran langsung di platform itu, seperti dikutip The Guardian, dia mengatakan, “Saya tidak yakin bahwa semua aparatur negara korup, tapi saya 100 persen yakin mereka yang terlibat korupsi adalah anggota Partai Komunis. Vietnam hanya mengizinkan satu partai dan tidak mengizinkan oposisi bersaing.”
Vuong juga berbagi informasi terbaru tentang aksi protes masyarakat yang menolak revisi Undang-Undang Ekstradisi di Hong Kong pada Maret 2019. Hal lain yang juga menjadi subyek komentarnya adalah sengketa tanah. Polisi mengaku telah berulang kali mengunjungi Vuong sejak 2017 dan mendesaknya agar berhenti “memfitnah” pemerintah.
Pada 22 September 2019, Vuong menulis berita tentang kasus tanah yang dihadapi warga Distrik Cu M'gar, Provinsi Dak Lak. Kasus ini bermula pada 1989, saat pemerintah memutuskan mendirikan pasar Kota Ea Pok. Sekitar 200 warga distrik kemudian membayarkan sejumlah uang untuk membeli tanah negara guna membangun rumah dan memfasilitasi bisnis mereka. Komite Rakyat Kota Ea Pok seharusnya kemudian menerbitkan sertifikat tanah kepada mereka. Namun, setelah 30 tahun berlalu, sertifikat itu tak kunjung keluar. Masyarakat berulang kali meminta penerbitan buku tanah itu, tapi tak juga membuahkan hasil.
Cerita mengenai kasus tanah itu adalah tulisan terakhir Vuong. Esoknya, ratusan polisi menggeledah rumahnya serta menyita telepon seluler dan laptopnya. Vuong diborgol di depan ayah dan saudara-saudaranya sebelum akhirnya dibawa pergi.
ABDUL MANAN (VOA NEWS, MIZZIMA, RFA VIETNAM, HRW)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo