Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gelombang protes yang melanda Thailand diikuti banyak anak muda.
Memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi dan berkoordinasi soal aksi massa.
Tekanan terhadap demonstran meningkat setelah sejumlah aktivis dan pelajar ditangkap polisi.
BERSAMA tiga rekannya, Arnon Nampa datang ke kantor polisi Nang Loeng, Bangkok, pada Selasa, 25 Agustus lalu, untuk membahas dakwaan pelanggaran atas aksi protes mereka di depan markas besar Angkatan Darat Thailand lima hari sebelumnya. Namun aktivis politik dan pengacara 36 tahun itu malah mendapat surat penahanan. Polisi menangkap Arnon karena ia melanggar hukuman percobaan dan berorasi dalam unjuk rasa di Thammasat University pada 10 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arnon digelandang ke kantor polisi Distrik Khlong Luang di Pathum Thani dengan pengawalan ketat. Polisi, seperti dilaporkan Reuters, mendakwa Arnon dengan Pasal 116 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand tentang penghasutan karena membahas reformasi dalam monarki Thailand dalam orasinya. Sehari sebelumnya, polisi juga menciduk Panupong Jadnong, aktivis politik yang berpartisipasi dalam unjuk rasa menentang Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini ketiga kalinya dalam sebulan Arnon ditahan dengan dakwaan serupa. Sehari sebelum dibawa ke Khlong Luang, ia mengatakan penahanannya yang berulang kali itu justru menunjukkan strategi pemerintah yang otoriter. “Saya akan terus berjuang,” katanya, seperti dilaporkan laman surat kabar Thailand, Khaosod. Dibantu tim pembela hukum untuk hak asasi Thailand yang dipimpin Yaowalak Anuphan, Arnon dan Panupong akhirnya bisa dibebaskan.
Arnon termasuk tokoh yang aktif terlibat dalam gerakan memprotes pemerintah Thailand dan lese majeste, larangan menghina kerajaan seperti termaktub dalam Pasal 112 KUHP Thailand. Aksi Arnon mematahkan tabu yang selama ini membayangi masyarakat negeri itu. Mereka yang membicarakan atau mengkritik monarki bisa dihukum penjara hingga 15 tahun dengan pasal tersebut. Pada 2017, seorang pria dijatuhi hukuman 35 tahun penjara karena dinilai menghina kerajaan melalui komentarnya di Facebook.
Gelombang unjuk rasa besar melanda Thailand dalam dua bulan terakhir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah. Sebagian besar peserta justru pelajar dan mahasiswa. Hampir tiap hari mereka menggelar protes di sekolah, kampus, dan jalanan. Unjuk rasa di Monumen Demokrasi di Bangkok pada 16 Agustus lalu diikuti lebih dari 10 ribu orang dan menjadi demonstrasi terbesar sejak kudeta militer pada 2014.
Demonstrasi prodemokrasi dengan membuat miniatur tank sebagai simbol penolakan pemerintahan militer di Bangkok, Thailand, 19 Agustus 2020. Reuters/Jorge Silva
Gerakan ini berbeda dengan aksi protes sebelumnya, yang biasanya berafiliasi dengan partai politik atau tokoh tertentu. Pada 2005, misalnya, muncul gerakan kelompok Kaus Kuning yang menggoyang pemerintah Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Lima tahun kemudian, setelah Thaksin terjungkal dikudeta militer, muncul rangkaian unjuk rasa kelompok Kaus Merah yang menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilihan umum. Aksi ini berujung pada bentrokan berdarah demonstran dengan polisi dan tentara yang menewaskan 91 orang serta melukai lebih dari 2.000 penduduk sipil.
Tahun ini, lewat unjuk rasa damai, para demonstran menuntut perbaikan demokrasi dan perubahan dalam tubuh pemerintah yang disokong militer. Mereka juga menentang penggunaan lese majeste untuk membungkam suara yang kritis terhadap pemerintah. “Apa yang berlangsung saat ini mengejutkan masyarakat Thailand karena tak pernah terjadi sebelumnya,” kata Kanokrat Lertchoosakul, dosen Chulalongkorn University, kepada The Guardian.
Para peserta aksi mendesak Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, yang memimpin kudeta militer pada 2014, membubarkan kabinet dan parlemen. Mereka juga menuntut intimidasi dan penangkapan peserta unjuk rasa dihentikan. Menurut laporan kelompok Pengacara Thailand untuk Hak Asasi Manusia, ada 103 kasus intimidasi terhadap pelajar dan mahasiswa yang menyampaikan pandangan politiknya.
Gerakan protes dengan cepat menyebar berkat bantuan teknologi dan media sosial. Para pelajar juga memanfaatkan simbol-simbol populer dalam unjuk rasa. Mereka mengacungkan salam tiga jari, yang merupakan simbol protes terhadap tiran dalam film Hunger Games. Kostum penyihir sekolah Hogwarts dari film Harry Potter pun dipakai sebagai tanda protes kepada monarki.
Gerakan mereka menjadi sorotan media massa internasional. Namun para pelajar berusaha menjauh dari pengaruh politik seperti yang terjadi dalam unjuk rasa kelompok Kaus Kuning dan Kaus Merah. Jurnalis independen Bangkok, Prangtip Daorueng, menilai para demonstran muda yang akrab dengan teknologi dan Internet itu tidak terikat pada ideologi politik tertentu. “Mereka hanya ingin menyampaikan ketidakpuasan terhadap konservatisme, otoritarianisme, dan rendahnya keadilan sosial,” kata Prangtip kepada Tempo, Jumat, 28 Agustus lalu.
Gerakan protes ini mirip dengan apa yang dilakukan anak-anak muda di Hong Kong yang menentang tekanan pemerintah Cina. Meski sejumlah nama aktivis politik muncul dalam aksi di kampus-kampus, gerakan protes di Thailand tak memiliki kepemimpinan tunggal. Menurut Prangtip, para demonstran berbagi informasi dan melakukan koordinasi lewat media sosial. “Twitter menjadi platform utama mereka untuk melakukan komunikasi politik,” ujar Prangtip, yang juga anggota Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional.
Pemerintah menanggapi gerakan ini dengan menciduk anak-anak muda yang dinilai sebagai pemimpin gerakan. Pada 26 Agustus lalu, polisi menangkap anggota Free Youth, Tattep Ruangprapaikitseree dan Panumas Singprom. Mereka dituding terlibat dalam gerakan yang memicu kekerasan dan melanggar larangan berkumpul di ruang publik dalam demonstrasi di Bangkok pada 18 Juli lalu. Kedua pembela hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender itu didakwa dengan pasal penghasutan dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.
Daftar aktivis yang ditangkap polisi pun kiang panjang. Menurut laporan organisasi pembela hak asasi manusia Inggris, Article 19, setidaknya 22 orang telah ditangkap atau dipanggil polisi karena terlibat dalam aksi protes. “Intimidasi terhadap aktivis dan pelajar yang terus berlangsung akan memperkuat tuntutan para demonstran,” tutur Ketua Article 19 Program Asia Matthew Bugher.
Dalam keterangan tertulis pada 28 Agustus lalu, organisasi sipil Human Rights Watch mendesak pemerintah Thailand melepaskan para aktivis prodemokrasi dan membatalkan tuntutan hukum terhadap mereka. Direktur Human Rights Watch Asia Brad Adams mengatakan pemerintah seharusnya berhenti menangkap dan mendakwa aktivis yang mengorganisasi dan berpartisipasi dalam unjuk rasa damai ini. “Pemerintah Thailand harus berhenti meyakini bahwa penangkapan organisator aksi protes bisa membuat unjuk rasa prodemokrasi berhenti,” ujar Adams.
Meski mendapat sorotan besar, tak ada jaminan tuntutan para demonstran itu bakal dipenuhi pemerintah dalam waktu dekat. Menurut Prangtip, sejumlah pelajar yang ditemuinya juga menyatakan tak tahu apa hasil konkret yang bisa mereka dapatkan. Namun mereka bersepakat mengenai perlunya terus terlibat dalam gerakan ini karena penting untuk masa depan. “Ini adalah awal perubahan sosial dalam jangka panjang,” kata Prangtip. “Fakta bahwa mereka tak takut membahas isu fundamental bisa mengubah pola pandang masyarakat.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, BBC, BANGKOK POST, CNN, AL JAZEERA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo