Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan bioteknologi Amerika Serikat SAb Biotherapeutics tengah menguji klinis fase I SAB-185, antiserum Covid-19 yang dikembangkan dari darah sapi transgenik.
Titer antibodi murni SAB-185 diklaim empat kali lebih tinggi dari pada plasma konvalesen dari pasien Covid-19 yang telah sembuh.
Riset peneliti virus dari Institut Pertanian Bogor yang ingin membuat antiserum Covid-19 dari kuning telur ayam petelur terkendala kekurangan dana untuk membeli protein spike sintetis dari luar negeri yang harganya sangat mahal.
EDDIE J. Sullivan, pendiri dan Chief Executive Officer SAb Biotherapeutics, dengan bangga mengumumkan perusahaannya telah menyuntikkan SAB-185, antiserum yang dikembangkan dari plasma darah sapi transgenik, kepada pasien Coronavirus 2019 (Covid-19) pada Jumat, 21 Agustus lalu. Penyuntikan pasien yang dirahasiakan identitasnya itu menandai dimulainya uji klinis fase Ib yang bertujuan menguji keamanan dan aktivitas farmakologis antiserum tersebut dalam melawan virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh hari sebelumnya, perusahaan bioteknologi yang bermarkas di Sioux Falls, South Dakota, Amerika Serikat, itu mulai menggelar uji klinis fase I dengan menyuntikkan dosis SAB-185 pertama kepada orang sehat. "Kami percaya SAB-185 berpotensi menjadi pilihan terapi berbeda yang sangat cocok melawan kerumitan, keberagaman, dan mutasi-mutasi dari virus SARS-CoV-2,” kata Sullivan seperti dikutip Business Wire, Jumat, 21 Agustus lalu.
Untuk membuat obat atau antiserum SAB-185 itu, mula-mula ilmuwan SAb Biotherapeutics mengambil sel-sel kulit dari sapi dan melumpuhkan gen yang bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi, dan sebagai gantinya disisipkan gen manusia yang menghasilkan antibodi. Kemudian sel-sel rekayasa genetika itu disuntikkan ke telur sapi yang akan berkembang menjadi embrio. Embrio itu lalu dicangkokkan ke induk sapi yang akan melahirkan sapi transgenik.
Sapi-sapi transgenik tersebut lalu diberi imunisasi, yakni penyuntikan vaksin berisi bagian dari virus SARS-CoV-2 yang tidak dapat menular. Walhasil, sapi-sapi transgenik itu secara alami menghasilkan antibodi untuk memerangi virus penyebab Covid-19 tersebut. Sapi-sapi transgenik itu kemudian diambil darahnya. Bagian darah, yakni plasma kaya akan antibodi atau immunoglobulin G (IgG), inilah yang menjadi SAB-185. Antiserum ini bisa diberikan kepada pasien Covid-19 ataupun orang sehat untuk memperkuat sistem imun terhadap serangan SARS-CoV-2.
Terapi SAB-185 ini serupa dengan terapi plasma konvalesen yang menggunakan serum atau plasma darah dari pasien Covid-19 yang sembuh. Berdasarkan uji praklinis in vitro yang dilakukan SAb Biotherapeutics, SAB-185 memiliki level antibodi murni empat kali lebih tinggi dari sampel plasma konvalesen. "Titer SAB-185 lebih tinggi dibanding titer plasma paling kuat dari pasien Covid-19 yang pulih, yang bisa kami dapatkan,” tutur William B. Klimstra dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat, yang menjadi mitra SAb Biotherapeutics.
Selain itu, bagi SAb Biotherapeutics, sapi memiliki tiga kelebihan ketimbang plasma dari donor manusia. Pertama, secara alami, sapi memiliki respons imun lebih kuat dibanding manusia. Kedua, sapi memiliki volume plasma lebih banyak daripada manusia. Ketiga, sapi bisa memberikan plasma tiga kali dalam satu bulan, sementara manusia hanya sekali per bulan. "Tergantung ukuran dan umur, seekor sapi bisa menghasilkan 150-600 gram immunoglobin per bulan,” ujar Sullivan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya SAb Biotherapeutics yang mengembangkan antiserum Covid-19. Ada juga Regeneron Pharmaceuticals, yang memulai uji klinis pada pertengahan Juni lalu. Sementara SAb menggunakan sapi transgenik, Regeneron memanfaatkan tikus transgenik. "Kami memasukkan gen sistem imun manusia ke tikus-tikus itu sehingga mereka memiliki sistem imun yang sama persis dengan manusia," ucap Presiden Regeneron, George Yancopoulos, kepada CNN. "Kami berharap pada akhir musim panas ini dapat menyediakan ratusan ribu dosis."
Pengembangan antiserum Covid-19 juga dilakukan peneliti dalam negeri. Ahli virus Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Kamaluddin Zarkasie, memilih kuning telur ayam petelur sebagai pabrik pembuat antibodi yang disebut immunoglobulin Y (IgY). "Kalau sapi kan mahal, apalagi sapi transgenik. Makanya saya memakai ayam. Titer IgY baik di serum maupun di kuning telur ayam itu sama. Apalagi produksi ayam petelur di dalam negeri 150 juta per tahun,” kata Kamaluddin di kediamannya di Bogor, Selasa, 18 Agustus lalu.
Eddie J. Sullivan./bio.org
Pertimbangan lain, menurut Kamaluddin, IgY lebih aman dibanding IgG mamalia karena tidak mengaktifkan complement system—bagian dari sistem imun yang meningkatkan kemampuan antibodi dan sel fagosit untuk membersihkan mikroba dan sel yang rusak dari tubuh organisme. "Namun bisa terjadi, bila complement system itu tegertak oleh sesuatu, dia memunculkan reaksi yang akan merusak sel tubuh sendiri," ujar doktor yang lulus dari Nippon Veterinary and Animal Science University, Tokyo, Jepang, pada 1995 tersebut.
Kamaluddin menerangkan, untuk menghasilkan IgY itu, ayam petelur harus diimunisasi dengan protein spike virus SARS-CoV-2. "Kalau mau disuntikkan virusnya pun tidak apa-apa karena, walaupun ada cemaran antigen lain, tidak akan menimbulkan antibody dependent enhancement (fenomena menempelnya virus pada antibodi yang suboptimal yang berakibat meningkatnya virus yang masuk ke sel inang, diikuti dengan replikasinya),” kata Kamaluddin, yang menyebut dirinya berpengalaman membuat serum antitetanus, antidifteri, dan anti-bisa ular saat dulu bekerja di PT Bio Farma.
Penanganan Covid-19 dengan antiserum, Kamaluddin melanjutkan, sebenarnya jauh lebih murah ketimbang vaksin, tapi dari sisi komersial kurang menarik. Vaksin merupakan kekebalan aktif buatan yang harus diberikan kepada orang sehat. Adapun antiserum diberikan sebagai terapi bagi yang sakit. "Pasien Covid-19 itu kan 98 persen bisa sembuh dan hanya 2 persen yang bisa menjadi fatal. Jadi berikan saja antiserum untuk yang 2 persen itu,” tutur Kamaluddin, yang menjabat Presiden Direktur PT IPB Shigeta Animal Pharmaceuticals, produsen obat ternak.
Kamaluddin menjadi ketua tim pengembangan antiserum Covid-19 dalam Konsorsium Riset dan Inovasi Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional. "Risetnya terkendala dana. Saya mendapatkan dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan itu Rp 1,7 miliar. Padahal saya membutuhkan protein spike sintetis sebanyak 140 miligram yang harga satu miligramnya sekitar Rp 30 juta, jadi sekitar Rp 4,2 miliar,” ucapnya.
Menurut Kamaluddin, isolat protein spike yang diurutkan (sequencing) dari virus SARS-CoV-2 itu tidak tersedia di Indonesia. Ia harus membelinya dari perusahaan bioteknologi Inggris dengan harga mahal. "Jika ada yang punya isolat virus SARS-CoV-2 yang sudah dibiakkan di culture, itu sangat membantu merealisasi IgY ini dengan cepat,” katanya. “Tapi, technically, kami bisa. Prosesnya dengan mengimunisasi protein spike itu ke ayam, setelah satu bulan memanen kuning telurnya, kemudian dimurnikan untuk mendapatkan IgY.”
DODY HIDAYAT, SABBIOTHERAPUETICS.COM, BIOSPACE.COM, BUSINESSWIRE.COM, CNN.COM, GENEONLINE.NEWS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo