Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Panglima Jilah Bertitah

Penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, oleh polisi berhulu pada konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit. Ada nota kesepakatan yang diduga tak dipatuhi perusahaan.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lahan sawit PT SML di Kalimantan Tengah, yang berkonflik dengan masyarakat adat Kinipan, Lamandau., Februari 2019./Dok Yayasan Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, oleh polisi berkaitan dengan konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit.

  • Pemimpin Besar Pasukan Merah se-Tanah Dayak, Panglima Jilah, mengancam menurunkan pasukan merah.

  • Ada tuntutan ganti rugi Rp 10 miliar di atas konflik tanah adat itu yang diduga belum dipenuhi perusahaan.

IRING-iringan mobil pribadi itu berbalik arah setelah 60 kilometer meninggalkan Kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada Rabu malam, 26 Agustus lalu. Awalnya mereka hendak menuju Markas Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah di Kota Palangka Raya. Rencana itu buyar di tengah jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mobil berisi belasan reserse Polda Kalimantan Tengah itu tancap gas menuju Kepolisian Resor Pangkalan Bun. Mereka berencana menyerahkan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, ke sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Effendi berada di dalam salah satu mobil dengan kawalan ketat polisi bersenjata api laras panjang. “Mereka berbalik menuju kantor Polres Pangkalan Bun,” ujar Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono, Sabtu, 29 Agustus lalu.

Para polisi yang sebagian berpakaian preman itu menangkap Effendi di rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau, pada Rabu siang, 26 Agustus lalu. Ia menjadi tersangka pencurian mesin gergaji pohon milik PT Sawit Mandiri Lestari. Enam warga desa yang lain lebih dulu menjadi tersangka dalam konflik dengan PT Sawit Mandiri.

Proses penangkapan Effendi berlangsung dramatis. Video rekaman penangkapan itu beredar di media sosial hanya dalam tempo sejam dari kejadian. Video itu menunjukkan Effendi menolak dibawa ke Polda karena kasusnya dianggap tak jelas. Polisi menyeret Effendi ke dalam mobil ketika kentongan desa dibunyikan untuk mengumpulkan penduduk.

Kepala Polda Kalimantan Tengah Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menggelar rapat dengan anak buahnya saat Effendi bersama rombongan polisi menuju Palangka Raya. Rapat itu memutuskan untuk menangguhkan penahanan Effendi. Polisi memberi satu syarat: Effendi harus kooperatif.

Selang beberapa jam seusai penangkapan, solidaritas bermunculan dari kalangan masyarakat adat Dayak. Salah satunya dukungan dari Pemimpin Besar Pasukan Merah se-Tanah Dayak, Panglima Jilah. Ia membawahkan ribuan tentara merah, pasukan khas Dayak yang tersebar di seluruh Borneo.

Ketua Komunitas Adat Kinipan Effendi Buhing ditangkap paksa oleh polisi, 26 Agustus 2020./Istimewa

Panglima Jilah membuat video mendukung Effendi beberapa jam seusai penangkapan. Dalam video itu, ia meminta petugas membebaskan Effendi. Ia menilai Effendi menjadi korban kriminalisasi konflik antara masyarakat adat dan perkebunan sawit. “Saya akan menurunkan pasukan merah di Kalimantan Tengah jika kata-kata saya tidak diindahkan,” ucap Jilah dalam video itu.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Tengah Komisaris Besar Hendra Rochmawan menjelaskan, penangguhan penahanan juga diberikan kepada empat warga Desa Kinipan lain. Keputusan itu diambil setelah polisi mempertimbangkan permohonan penangguhan dari Dewan Adat Dayak dan menghindari potensi konflik di masyarakat. “Untuk menjaga kekondusifan, kami menangguhkan sebagian tersangka,” katanya.

Dimas Novian Hartono bertemu dengan Effendi Buhing pada Kamis malam, 27 Agustus lalu, di Desa Kinipan. Saat itu, sejumlah polisi menyerahkan Effendi kepada keluarga dan masyarakat. Dalam video yang beredar di masyarakat, Effendi mengatakan tak mengalami penganiayaan selama bersama rombongan polisi. “Tak ada keluar kata kasar dari kepolisian,” ucapnya dalam video itu.

• • •

KONFLIK antara warga Desa Kinipan dan perusahaan sawit berlangsung sejak 2004. Saat itu, PT Tanjung Lingga mengklaim sebagian lahan masyarakat sebagai bagian hutan konsesi yang dikuasai perusahaan. “Konsesi lahan itu di kemudian hari beralih kepada PT Sawit Mulia Lestari,” ujar Ketua Walhi Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono.

Setelah beralih, PT Sawit Mandiri menerima izin lokasi pembukaan lahan perkebunan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pada 2012. Lahan seluas 26 ribu hektare itu membentang dari Kecamatan Delang, Kecamatan Batang Kawa, hingga Kecamatan Lamandau.

Dalam pelaksanaannya, kata Dimas, PT Sawit Mandiri Lestari menduduki lahan yang dianggap sebagai bagian dari wilayah hutan adat Desa Kinipan. Kantor Staf Presiden pernah memediasi sengketa lahan Desa Kinipan di Jakarta pada Juni 2018. “Tapi PT Sawit Mandiri tak meladeni undangan itu,” tutur Dimas.

Warga Desa Kinipan berupaya menempuh jalan musyawarah dengan PT Sawit Mandiri pada 29 Juni 2020. Pertemuan itu berujung pada penandatanganan nota kesepakatan menghentikan seluruh aktivitas pembukaan lahan yang masuk wilayah adat Desa Kinipan. Daerah tersebut mencakup Lubuk Buntar, hulu Sungai Toin, hulu Sungai Sekatap, dan hulu Sungai Inuhan.

Kesepakatan itu berlangsung di ruang rapat kantor Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau. Warga Desa Kinipan diwakili empat orang. Salah satunya Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing. PT Sawit Mandiri mengutus Kepala Hubungan Masyarakat Wendy Soewarno dalam pertemuan itu.

Salah satu isi nota kesepakatan itu menyebutkan PT Sawit Mandiri berjanji membicarakan tuntutan ganti rugi warga sebesar Rp 10 miliar. Mereka juga akan membantu masyarakat menyediakan kebun plasma kelapa sawit. Selama proses ini berlangsung, PT Sawit Mandiri diminta menghentikan sementara pembukaan lahan.

Pertemuan berikutnya direncanakan berlangsung sebulan kemudian. Namun tak ada utusan PT Sawit Mandiri yang menghadirinya. Belakangan, Executive Operation PT Sawit Mandiri Haeruddin Tahir menyampaikan dalam keterangan tertulis bahwa ia sudah mengutus tim untuk menghadiri pertemuan itu. Rombongan PT Sawit Mandiri balik kanan setelah mengetahui ada aksi penghadangan kelompok bersenjata menuju lokasi pertemuan.

Petaka muncul setelah kegagalan pertemuan kedua. PT Sawit Mandiri Lestari melaporkan pencurian mesin gergaji pohon ke Polda Kalimantan Tengah pada 9 Agustus lalu. Enam warga desa ditangkap. Empat di antaranya ditahan. Nama Effendi Buhing ikut terseret. Ia dituduh dalang di balik pencurian itu.

Pengacara Effendi, Aryo Nugroho Waluyo, membantah tuduhan itu. “Warga desa hanya menghadang petugas yang hendak kembali melakukan penebangan yang dilakukan saat ada kesepakatan moratorium,” ujarnya.

Aryo menilai laporan itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap warga Desa Kinipan yang sedang berjuang mempertahankan kepemilikan lahan adat. Penangkapan Effendi Buhing dan enam warga Desa Kinipan lain, kata dia, patut dicurigai sebagai bagian dari siasat perusahaan untuk menganulir keputusan dalam akta kesepakatan yang dibuat pada 29 Juni lalu.

Aryo juga mempertanyakan pengaduan yang disampaikan kepada polisi. Ada banyak pengaduan masyarakat yang belum ditindaklanjuti kepolisian. “Warga juga pernah melaporkan PT SML (Sawit Mandiri Lestari) soal dugaan pencemaran lingkungan dan penjualan aset desa, tapi belum ada yang direspons,” ucapnya.

Kepala Hubungan Masyarakat PT Sawit Mandiri Lestari Wendy Soewarno membantah tuduhan kriminalisasi terhadap warga Desa Kinipan. Menurut dia, penangkapan tersebut berdasarkan pelanggaran pidana yang diduga dilakukan warga desa. “Bukan kriminalisasi, tapi pencurian itu murni tindak pidana,” ujarnya, Rabu, 26 Agustus lalu.

Wendy mengatakan wilayah yang diklaim warga Desa Kinipan sebagai lahan adat berada di area konsesi perusahaan. Ia menilai gugatan Effendi Buhing kepada PT Sawit Mandiri tidak bertujuan untuk membela kepemilikan lahan adat. “Dia hanya ingin mengejar tuntutan uang ganti rugi Rp 10 miliar,” katanya.

Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah Ferdi Kurnianto menilai pernyataan Wendy sebagai upaya membelokkan fakta. Menurut dia, ganti rugi Rp 10 miliar adalah hasil penghitungan musyawarah adat.

Nilai kerugian itu diukur dari nilai ekonomis hasil hutan desa yang ditumbuhi pepohonan bernilai tinggi, seperti kayu ulin. Kayu-kayu itu akan menghilang seiring dengan pembukaan lahan sawit. “Penghitungan kerugian itu berdasarkan aturan yang berlaku sejak dulu,” ujarnya.

RIKY FERDIANTO, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus