Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bara The Interview di Pyongyang

Setelah banjir dukungan, juga kecaman, karena dianggap tunduk kepada teror, Sony Pictures Entertainment akhirnya merilis The Interview.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jo Jin-hye begitu ingin menyaksikan film yang sudah membuat heboh bukan hanya jagat sinema, melainkan juga panggung politik dunia, bahkan sebelum jadwal rilisnya, The Interview. Washington dan Pyongyang pun sampai perang mulut—berbeda 180 derajat dengan hubungan Amerika Serikat-Kuba, yang baru mulai dipulihkan. Bara bahkan memanaskan markas Perserikatan Bangsa-Bangsa: Korea Utara sampai absen dari acara yang membahas pelanggaran hak asasi manusia di negerinya.

"Apakah kita ketakutan? Ini memalukan," kata perempuan asal Korea Utara yang mendapatkan suaka di Amerika itu kepada CNN, dua pekan lalu.

Sumber gerutuan Jo adalah keputusan Sony Pictures Entertainment membatalkan rilis film yang membuat Pyongyang bak kebakaran jenggot itu. Pembuat film dianggap tunduk kepada teror yang menyerang perusahaan ini mulai akhir bulan lalu. Sebuah kelompok yang mengaku "Penjaga Perdamaian" meretas sistem perusahaan ini. Tak hanya memasang tulisan ancaman teror, mereka mencuri dan menyebarkan data rahasia Sony Pictures. Ini tindakan yang kemudian mengundang protes, termasuk dari Jo dan Presiden Barack Obama.

Film komedi buatan Sony itu mengisahkan presenter sebuah acara bincang-bincang dan produsernya yang akan terbang ke Korea Utara untuk wawancara khusus dengan pemimpin negara itu, Kim Jong-un. Keduanya diberi misi oleh Badan Intelijen Amerika (CIA) untuk membunuh Kim.

Dalam trailer digambarkan analis CIA memberi penjelasan kepada keduanya: "Kalian memasuki negara paling berbahaya di dunia. Orang-orang Kim Jong-un mempercayai apa pun yang dia bilang kepada mereka, termasuk dia bisa berbicara dengan lumba-lumba atau dia tidak buang air kecil dan besar."

Biro Investigasi Federal (FBI) menuding Korea Utara bertanggung jawab atas serangan ke Sony Pictures, dan Presiden Obama mengancam akan merespons. Tak lama setelah pidato Obama, Korea Utara mengalami "oglangan" Internet sekitar sembilan jam.

Pyongyang menyangkal tudingan itu dan menyatakan mungkin serangan dilakukan orang-orang pro-Korea Utara. "Peretasan Sony Pictures Entertainment mungkin perbuatan yang benar bagi pendukung dan simpatisan DPRK (Republik Rakyat Demokratik Korea) sebagai respons," demikian ditulis kantor berita Korean Central News Agency (KCNA).

Meski demikian, Pyongyang terang-terangan menentang peredaran film itu. "Film itu merupakan olok-olok yang tak termaafkan atas kedaulatan dan martabat kami, juga pemimpin tertinggi kami," kata Kim Song, diplomat Korea Utara di New York, kepada AP.

Sebenarnya, pemerintah Korea Utara sudah lama berteriak dan mengancam. Pada Juni lalu, Kementerian Luar Negeri Korea Utara menuding Washington sebagai dalang film The Interview. "Jika pemerintah Amerika diam-diam menyetujui atau mendukung peluncuran film ini, kami akan melakukan tindakan balasan yang tegas dan tak kenal ampun," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri di KCNA.

Korea Utara memang dikenal berkulit tipis dalam soal kritik. Apalagi bila menyangkut dinasti Kim. Bukan hanya soal serius seperti pelanggaran hak asasi manusia, melainkan juga lelucon-lelucon yang menghina "para Kim". Misalnya saat salon pria di London membuat iklan pemberian diskon 15 persen. Pemilik salon menggunakan poster Kim Jong-un dengan kata-kata "Bad Hair Day?". Orang Kedutaan Korea Utara pun mendatanginya. Mereka juga mengirim surat protes resmi ke Kementerian Luar Negeri Inggris.

Berkaitan dengan film, sekitar sepuluh tahun lalu Pyongyang juga marah-marah karena beredarnya Team America: World Police. Film ini memparodikan ayah Kim Jong-un, Kim Jong-il, dalam versi kartun.

Menurut Kim Young-hyun, profesor studi Korea Utara di Dongguk University di Seoul, Korea Selatan, Pyongyang memang sangat melindungi citra pemimpinnya. "Orang-orang Korea Utara sangat sensitif terhadap satire. Ada beberapa kasus, mereka mengeluhkannya karena hal itu mencederai martabat pemimpin mereka di masa lalu," katanya kepada VOA.

Koin toh telah berbalik. Setelah banjir dukungan dan kritik, pekan lalu, Sony merilis The Interview. Jo tampaknya tak perlu lagi kecewa.

Purwani Diyah Prabandari (CNN, VOA, Reuters, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus