Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tagihan kepada Almarhum

Bank Danamon mengucurkan kredit Rp 7,7 miliar kepada orang yang sudah meninggal. Diduga ada pemalsuan identitas serta melibatkan orang dalam.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah bercat putih dengan gaya Spanyol di Jalan Raya Curug Parigi, Kabupaten Tangerang, Banten, itu setiap hari tampak sunyi. Keramaian hanya muncul di sana sebulan sekali saat digelar pengajian. "Supaya tak terlihat kalau tidak ada penghuninya," kata Henny Susanti, ahli waris pemilik rumah.

Berdiri di atas lahan 4.225 meter persegi, sejak beberapa tahun lalu rumah tersebut memang kosong alias tak ada penghuninya. Pemiliknya, pasangan Oon Sugandi dan Aminan, sudah lama meninggal. Kuburan pasangan ini terletak sekitar 200 meter dari halaman "rumah Spanyol" itu, di tengah-tengah kebun singkong. Sugandi, seperti tertulis di nisannya, meninggal pada 10 April 2003, sedangkan Aminah 17 September 2006. Suami-istri ini memiliki lima anak, dan Henny itulah yang tertua.

Sebelas tahun setelah kematian Sugandi, keluarga Sugandi dikagetkan oleh datangnya tagihan dan perintah membayar utang sebesar Rp 7,7 miliar. Teguran (anmaning) menyelesaikan kredit macet tersebut disampaikan oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada Januari 2014. Bila kredit yang dikucurkan PT Bank Danamon Tbk tak diselesaikan, demikian "ancaman" pengadilan, akan dilakukan sita eksekusi. "Dalam surat panggilan pertama, suratnya ditujukan kepada almarhum Sugandi," kata Amin Nasution, pengacara ahli waris Sugandi, Rabu dua pekan lalu.

Henny menyatakan surat dari pengadilan itu benar-benar mengejutkan mereka. Sebab, teguran itu atas kredit yang diajukan Sugandi pada 2010 dan 2011. "Padahal waktu itu kan Bapak sudah meninggal," kata Henny. Keluarga Sugandi kemudian menjelaskan bahwa Sugandi sudah meninggal, eh, pihak pengadilan, pada Februari 2014, mengirimkan surat teguran yang ditujukan kepada ahli waris Sugandi.

Pada akhir Mei, pengadilan melakukan eksekusi sita atas lahan milik Sugandi. Dalam berita acara sita eksekusi, juru sita menjelaskan di atas lahan terdapat nisan dari pihak termohon eksekusi.

Keluarga Sugandi melawan eksekusi ini. Lewat kuasa hukumnya, mereka mengajukan keberatan atas sita yang dilakukan Pengadilan Negeri Tangerang. Mereka juga balik melakukan gugatan dan meminta pengadilan mengembalikan sertifikat lahan yang kini di tangan Bank Danamon.

l l l

Sugandi terhitung tokoh masyarakat di daerahnya. Berkarier di militer, setelah pensiun ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tangerang. Saat menjadi wakil rakyat, ia memfasilitasi para warga di Kabupaten Tangerang untuk mensertifikatkan lahan mereka. Dia mengajukan pembuatan sertifikat massal lewat program Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria). Sugandi sendiri yang ke sana-kemari mengurus pensertifikatan massal itu.

Masyarakat yang sebagian besar bermata pencarian petani itu akhirnya berhasil mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) atas lahan mereka. Sebagai ucapan terima kasih, sejumlah warga di sana yang memiliki lahan luas memberikan sebagian lahannya kepada Sugandi. Ketika itu harga tanah di kawasan Curug Wetan dan sekitarnya Rp 15-50 ribu per meter persegi.

Kini harga tanah di daerah tersebut sudah melejit. Lahan Sugandi seluas 4.225 meter persegi tersebut, misalnya, harganya sekarang tak kurang dari Rp 3 miliar. Lahan itu sudah memiliki sertifikat hak milik bernomor 175/Curug Wetan. Di situ tercantum sertifikat itu diterbitkan pada 18 Maret 1985.

Sejak Sugandi dan istrinya meninggal, tak ada yang menempati lahan dan rumah di Curug Wetan itu. Hanya seorang pedagang kerupuk mendiami rumah kecil di belakang rumah induk. Lima anak Sugandi tinggal berpencar di sekitar Tangerang. Anak kedua, Deni Purnamasari, tinggal paling dekat dengan rumah warisan, hanya di seberang rumah itu.

Sejak 2009, Denilah yang menyimpan sertifikat lahan warisan itu. Semua anak Sugandi bersepakat tak akan menjual atau menggadaikan lahan dan rumah itu. "Ada makam kedua orang tua di sana," kata Henny.

Setelah adanya teguran dan sita eksekusi dari pengadilan, kelima bersaudara ini menggelar rapat. Di situlah Deni mengaku sertifikat orang tua mereka itu pada 2009 pernah diserahkan kepada kawannya, Darmawan, sebagai jaminan utangnya sebesar Rp 25 juta. Awalnya, menurut Deni, ia butuh pinjaman Rp 100-300 juta, tapi tak dipenuhi Darmawan.

Menurut Amin, Darmawan inilah yang diduga memanipulasi pengajuan kredit ke Bank Danamon. Keluarga Sugandi sudah menelisik bagaimana utang ke Danamon terjadi. Terungkap, sebelumnya, pada 2010 dan 2011, ada perjanjian pemberian kredit dari Danamon kepada PT Petro Kencana. Direksi Petro Kencana yang menandatangani akta perjanjian tercatat bernama Andi Rusli Sajo sebagai Direktur Umum dan Oon Sugandi sebagai Direktur. Dalam perjanjian, Andi Rusli melampirkan kartu tanda penduduknya yang beralamat di Kelurahan Cinere, Tangerang.

Nah, dalam akta perjanjian kredit disebutkan, Sugandi menyertakan sertifikat SHM Nomor 175/Curug Wetan sebagai jaminan atas pinjaman sebesar Rp 7,7 miliar. Jaminan itu disetujui oleh Darmawan, yang disebut sebagai ahli waris dan anak tunggal Oon Sugandi. Dalam akta disebutkan status Sugandi, yakni duda.

Bank Danamon mengucurkan kredit ke Petro Kencana dalam beberapa tahap. Kredit yang pertama dikucurkan pada 15 Desember 2010 sebesar Rp 1 miliar dengan masa pinjaman selama satu tahun. Kredit berikutnya Rp 3 miliar dengan masa pinjaman 18 Februari sampai 15 Desember 2011. Terakhir Rp 3,7 miliar dengan jangka waktu 18 Februari 2011 hingga 18 Februari 2016.

Semua pinjaman ini sama sekali tak pernah dibayar cicilan utang pokok dan bunganya. Dalam hitungan Bank Danamon, bunga dan utang pokok itu semuanya kini menjadi Rp 9,6 miliar.

Amin menuding terjadi pemalsuan dalam proses pengajuan kredit ini. Dalam pelacakan Amin, para pemohon kredit memang menggunakan kartu tanda penduduk palsu. Dalam akta kredit, tertulis Sugandi lahir pada 1944. "Padahal lahirnya tahun 1927," kata Amin. Pihak Kelurahan Cinere, menurut Sugandi, juga tak pernah mengeluarkan KTP atas nama Andi Rusli.

Bukti pemalsuan dokumen itulah yang dijadikan dasar putra-putri Sugandi melaporkan Andi Rusli Sajo ke polisi. "Sampai sekarang keberadaan Andi tak jelas," kata Amin. Pada Jumat pekan lalu, Tempo mencari kediaman Darmawan yang beralamat di Jalan Kartasari, Ciampea, Bogor. Rumahnya kosong. Sejumlah warga di sana menyatakan mereka tak banyak tahu perihal Darmawan.

Kepada Tempo, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Tangerang Komisaris Aris Triyunarko menyatakan pihaknya masih melakukan penyidikan atas kasus itu. Sampai sekarang, menurut Aris, sudah sekitar sepuluh orang diperiksa dalam kasus ini, termasuk Darmawan. "Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka," katanya.

Menurut Aris, ada dugaan perkara pengajuan kredit dengan menjaminkan rumah yang seolah-olah oleh pemiliknya ini melibatkan "orang dalam" Danamon. Masalahnya, kata dia, orang dalam yang diduga terlibat ini sudah tak lagi bekerja di bank tersebut. "Ini yang membuat pengusutan perkara ini menjadi lambat," katanya.

Dalam akta perjanjian kredit ke Petro Kencana, dua pejabat Bank Danamon yang menandatangani akta perjanjian tertulis M. Hadidian Khalis, dengan jabatan Business Manager PT Bank Danamon Cabang Kalibata, dan Nining Sulistyani.

Dua pekan lalu, Tempo menghubungi Regional Corporate Officer Bank Danamon Wilayah I Henny Gunawan. Wilayah I membawahkan Bank Danamon se-Jabodetabek, Cilegon, Serang, dan Lampung. Menurut Henny, pengucuran kredit kepada PT Petro Kencana dilakukan setelah perusahaan itu memenuhi ketentuan dan prosedur yang berlaku di Bank Danamon. "Dalam akta anggaran dasar PT Petro Kencana, Sugandi merupakan salah satu direktur," kata Henny. Bank Danamon, menurut Henny, akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, yang mempermasalahkan keabsahan kepemilikan jaminan atas nama Sugandi.

Amin sendiri telah membuat laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kejanggalan kredit itu. Kepada Tempo, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis mengatakan pihaknya akan mengkaji apakah pemberian kredit janggal itu juga melibatkan pihak internal bank. Pemeriksaan, menurut dia, juga akan dilakukan ke kantor cabang Danamon lain. "Bila melibatkan internal bank, pihak bank bisa kami kenai sanksi," kata Irwan.

Yuliawati, Sidik Permana (Bogor), Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus