Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Batik dan Bima untuk Mama Obama

26 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Monica Tanuhandaru*
  • *) Pendiri Yayasan Women’s World Banking Indonesia, sekarang Koordinator Program IOM untuk Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    SELASA bersejarah, 20 Januari 2009. Angin dingin Washington tak sanggup menghadang senyum lebar di hati dan wajah kami. Bersama dua juta manusia di The National Mall, seharian itu kami larut dalam keriaan merayakan ­inaugurasi Barack Obama.

    Bagi kami, kegembiraan terasa lebih spesial. Hari itu, putra sahabat kami, Stanley Ann Dunham Soetoro, ahli antropologi yang mencintai Indonesia, menjadi pemimpin yang menawarkan harapan pada dunia. Dan kado apa yang lebih besar dari seorang wanita yang melahirkan anak yang kelak menjadi pemimpin besar dunia?

    Apartemen Potomac Plaza, Virginia. Di sinilah kami berkumpul dalam sebuah pesta pe­rayaan alternatif atas inaugu­rasi Obama. Dua puluh perempuan, sahabat Ann saat bekerja di Women’s World Banking pada 1980-an, hadir di sini. Termasuk Susan Davis (yang mengembangkan Grameen Bank dari Pakistan sampai Aceh), Wanjiku Kibui dari Kenya (sekarang menjadi konsultan Bank Dunia), dan Kellee Tsai (profesor untuk South East Asian Stu­dies di John Hopkins University).

    Dari Indonesia, ada saya dan Artine S. Utomo (Direktur Televisi Pendidikan Indonesia). Kami berdua bersama Ann Dunham dan beberapa kawan lain mendirikan Yayasan Women’s World Banking Indonesia. Tuan rumah pesta adalah Nina Nayar, asisten Ann Dunham selama berada di Indonesia sampai Ann meninggal karena kanker rahim, November 1995, pada usia 53 tahun. Nina adalah mantan Koordinator Women’s World Banking Regional Asia.

    Persiapan pesta cukup ribet. Suasana Indonesia, dengan tema Jawa dan Bali, dihadirkan untuk menghormati Ann. Kebaya, selendang, kain, dan sarung batik mewarnai ruangan. Patung Bima, tokoh wayang perlambang keberanian—kesayangan Ann—ditempatkan di tengah ruangan.

    Sedari siang, saya bertugas di dapur. Berbekal bumbu instan yang kami temukan di supermarket, saya menyiapkan masakan Indonesia, seperti rawon, rendang, gado-gado, dan rujak. Tak ada te­rasi, tentu saja. Tapi, ya lumayan, aroma Indonesia kental terasa.

    Malam hari, setelah makanan siap, pesta dimulai. Wanjiku Kibui membuka dengan doa syukur. Kami berterima kasih atas hadiah Ann Dunham kepada dunia, yakni melahirkan tokoh sekelas Obama. Kami berimajinasi apa yang akan terjadi seandainya Ann masih hidup. ”Mungkin dia enggan menghadiri acara formal dan lebih memilih bersama sahabat-sahabatnya,” kata Kibui.

    Ann semasa hidupnya dikenal sebagai sosok yang hangat dan tak suka formalitas. Keluyuran di Pasar Klewer dan Kota Gede, mencari batik dan kerajinan pe­rak, adalah hobi Ann.

    Dinny Jusuf, kini di Suara Ibu Peduli, mengenang Ann sebagai orang yang amat hidup. ”Pembawaannya riang. Kami pernah hadir di sebuah konfe­rensi di Tokyo. Ann membawa kipas besar yang bisa menjadi topi dan dia tak henti tertawa jika kipas itu mengembang jadi topi,” kata Dinny mengenang. Sayang, Dinny tak bisa menghadiri reuni malam itu dan hanya bisa mengikuti inaugurasi Obama melalui televisi di Jakarta.

    Makan malam dimulai. Nina berterima kasih kepada hadirin. ”Terima kasih juga kepada anak-anak di rumah yang merelakan ibu-ibu mereka yang ’gila’ ini bepergian jauh, hanya untuk bereuni dengan kawan lama,” katanya.

    Sebuah reuni yang menyenangkan. ­Seusai makan malam, kami masing-masing mengungkapkan kenangan atas Ann Dunham. Bagi saya, Ann mengajarkan bahwa memberdayakan perekonomian perempuan adalah sebuah gerakan. Bukan sekadar soal ekonomi yang dia perjuangkan melalui women’s banking, melainkan juga gerakan untuk meraih ke­setaraan dan kehidupan yang lebih baik. ”You have to work with women, you have to work with community and listen to them,” begitu dikatakan Ann berulang kali. Pendekatan itu mungkin saat ini tergolong biasa, tapi cukup progresif untuk ukuran 1980-an.

    Annlah yang turut membesarkan Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur yang dimotori Ibu Zafril Ilyas. Belakangan, 1998, model koperasi ini diadopsi oleh Suara Ibu Peduli.

    Ibunda Obama ini pula yang turut membidani kredit mikro untuk perempuan di Bank Rakyat Indonesia pada 1980-an. Tak aneh bila Hillary Clinton menyebutkan Ann Dunham amat berjasa dalam pengembangan kredit mikro di Indonesia.

    Sebagai penutup, pada pesta itu kami sepakat bertemu lagi lebih sering. Kami akan terus menghidupkan semangat Ann Dunham dengan berbagai cara dan di berbagai tempat. Susan Davis menutup malam yang menyenangkan itu dengan menyanyikan lagu rap berjudul Obama Mama.

    ”Obama, your mama gave birth to a dream.

    Bali, Jakarta and the taste of nasi goreng.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus