DI lapangan Ba Dinh di depan mosoleum Ho Chi Minh yang megah di
Hanoi, beberapa polisi kelihatan berjaga-jaga. Sejumlah buruh
sedang bekerja, memperbaiki pelataran yang memisahkan mosoleum
itu dengan lapangan tersebut. Tak seperti biasa, mosoleum itu
tertutup untuk umum pertengahan Oktober lalu. Dan siapa pun yang
mendekati bangunan yang kekar itu, untuk memotret foto besar
almarhum Ho Chi Minh yang tepampang di puncak mosoleum, pasti
akan ditegur polisi.
Ada apa? Di sebuah gedung yang nampak sepi menghadap mosoleum
itu, di bagian lain dari lapangan Ba Dinh, penjagaan pun nampak
lebih dari biasa. Di atas gedung yang tinggi itu dua polisi yang
membawa walkie-talkie kelihatan siap memainkan teropongnya.
Ternyata di gedung yang tak lain adalah Balai Sidang itu sedang
berlangsung suatu rapat penting. "Rapat polit-biro," kata
seorang di Hanoi. Tentang persiapan Kongres ke-V?"Kelihatannya
begitu," lanjutnya.
Inilah saat-saat yang paling sibuk bagi para pemimpin di Hanoi.
Mereka sibuk mempersiapkan Kongres ke-V partai. Kapan akan
dimuhinya Kongres itu tak seorang pejabat pun mengetahui secara
pasti. Semula diperkirakan Kongres ke-V Partai Komunis Vietnam,
yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-36 kemerdekaan
Vietnam, akan jatuh pada bulan November ini. Kemudian terdenar
kongres diundur sampai akhir tahun. Tapi seorang yang dekat
dengan Deplu Vietnam memperkirakan kongres baru akan berlangsung
antara Februari dan Maret tahun depan.
Kenapa diundur-undur? Bukankah, seperti kata PM Pham Van Dong,
kongres yang akan datang ini merupakan kelanjutan dan
pengembangan dari kongres yang lampau? Timbul spekulasi bahwa
telah terjadi perdebatan sengit di antara pemimpin Vietnam.
Kalau dugaan seperti itu benar, bisa dipastikan yang menjadi
topik perdebatan adalah wajah ekonomi Vietnam lima tahun
mendatang.
Berpenduduk 55 juta, dengan laju kelahiran di atas 2,6% setahun,
beban Vietnam memang tidak enteng. Apalagi negeri itu, di bagian
utara, sering diganggu angin tdpan dan banjir. "Lima tahun
terakhir ini merupakan masa yang amat sulit buat Vietnam. Iklim
selama itu mengerikan," kata Hoang Tung, pemimpin redaksi,
karian partai Nhan Dan Tung, anggota partai yang memimpin koran
itu 33 tahun semenjak terbit, tak cuma berbicara tentang
buruknya cuaca, tapi juga beberapa hal lain yang kurang kena. Ia
rupanya dibolehkan untuk mengritik. Editor kawakan itulah yang
melihat perlunya digunakan ukuran-ukuran ekonomi dan perangsang
material--suatu hal yang oleh pandangan doktriner sosialis
dianggap tak tepat. Hoang Tung mencatat bahwa di Vietnam
sekarang, orang yang bekerja secara kolektif, menurun
produksinya dibandingkan sewaktu ia bekerja sendiri. Karena itu
ia berpendapat perlunya ada rangsangan individual bagi buruh dan
tani.
Pendapat tenung perlu dikembangkannya sistem perangsang ini,
juga prinsip siapa yang bekerja lebih keras harus mendapat
imbalan lebih banyak, rupanya makin diyakini banyak orang.
Terutama setelah Pelita 11 Vietnam (1976-1980) secara resmi
dinyatakan sebagai gagal. Tapi dengan begitu perdebatan seru
sedang terjadi di kalangan pemimpin Vietnam. Bukan cuma soal
perangsang, tapi juga perlu tidaknya desentralisasi.
Nguyen Lam, Ketua Bappenas-nya Vietnam,dalam suatu wawancara
khusus dengan Nayan Canda dari Far Eastern Ekonomic Review
akhir Februari lalu melihat "adanya dua kecenderungan di dalam
tubuh partai dalam hal menilai sistem manajemen di tingkat pusat
yang mengontrol segalanya dan pada tingkat lokal yang dibiarkan
berbuat sesukanya . . . Kalau tingkat pusat mengontrol
segalanya, maka para direktur dan buruh pabrik tak akan memiliki
inisiatif. Kami harus mencapai akumulasi modal untuk
industrialisasi dari kalangan produsen kecil dan kami harus
merangsang mereka secara material untuk meningkatkan produksi."
Revisionis? Jalan kapitalis? Sama sekali tidak, menurut Lam.
"Kami hanya menghargai tiga kepentingan: negara, kolektif dan
perorangan. Satu hal yang kami kritik adalah birokrasi dan
sistem di mana pusat mengontrol segala-galanya. Ini tak memberi
peluang untuk kreativitas pekerja. Kami melansir kampanye
besar-besaran antibirokrasi. Sambutan dari rakyat, pekerja dan
kader partai ternyata besar. Tentu saja ada beberapa pihak yang
konservatif, sedikit sekali, yang menilai sistem insentif
tersebut tidak baik."
Memang, pelan-pelan hasil kampanye itu mulai mendapat bentuk di
Vietnam. Untuk merangsang para petani di pedesaan, mereka
dibolehkan memiliki 5% dari hasil garapannya. Bidang industri
kecil seperti kerajinan, yang berbentuk koperasi, juga
menjalankan sistem perangsang, dengan membayar lebih besar
kepada mereka yang menghasilkan lebih banyak.
Di kota-kota besar, seperti di Hanoi mulai bermunculan pula para
pedagang kaki-lima menjual sayur-mayur, buah-buahan sampai
makanan. Di suatu sudut Kota Hanoi, ada sederet warung milik
keluarga yang menjual burung dara goreng, sea food secara
terbatas sampai bir kalengan merek Asahi dan Heinekens.
Sekaleng bir mereka jual 30 dong, yang di pasar gelap bernilai
satu dollar US (resminya, untuk 1 US$ seorang hanya mendapat 9
dong). Bir impor itu pun bisa mereka peroleh dari pasaran atau
dari Intershop. Di toko yang khusus disediakan untuk para korps
diplomatik dan orang asing di Hanoi, untuk satu dollar bisa
diperoleh tiga bir kalengan .....
Tentu saja ada efek negatif akibat dikendurkannya kendali
pengawasan itu. Di sebuah depot minuman di seberang Hotel Thang
Loi di Hanoi, setiap hari ada saja sekumpulan pemuda dudukduduk
minum bir. Dan di sebuah kafetaria persis di sebelah Hotel Tong
Nhat di jantung Hanoi, suatu siang nyaring terdengar lagu-lagu
pop disko. Sejak setahun-dua ini lagu-lagu dari Barat itu memang
mulai berkumandang di hotel, warung-warung minuman sampai di
rumah penduduk tertentu. Penyanyi Abba Group, The Beatles dan
Bonnie M termasuk favorit. "Salah satu yang saya sangat sukai
adalah Rasputin, Lover of the Russian Queen, punya Bonnie M,"
kata seorang wanita di sana -- suatu selera yang bisa serupa
dengan kegemaran gadis-gadis Muangthai yang "kapitalistis".
Tentu saja banyak hal masih berbeda. Vietnam belum pakai
kosmetika. Tapi perubahan mulai nampak. "Kehidupan mulai
berwarna di Hanoi," kata seorang Belanda di sana. Dalam pakaian
para remaja sudah mulai pandai memilih warna, dandan sedikit,
dan banyak yang berpotongan rambut pendek. Setiap sore
berbondong-bondong para remaja dan orang dewasa naik sepeda.
Banyak di antara mereka yang bersantai di lapangan atau di
pinggir danau yang banyak terdapat di Hanoi. Meskipun dengan
batas: tepat pukul 10 malam polisi yang ikut menjaga akan
memberi isyarat agar mereka pulang.
YANG menarik, para pasangan boleh memenuhi hasrat asmara mereka
di tempat-tempat terbuka bila datang gelap itu. "Tapi jangan
salah paham, banyak juga di antara pasangan itu yang
suami-istri," kata seorang di Kedubes Indonesia. Soalnya:
penduduk di Hanoi rupanya merasa sumpek untuk tinggal di rumah
atau tepatnya di kamar mereka. Masalah perumahan di ibukota
Vietnam memang terkenal belum memadai. Sebuah kamar biasa dihuni
dua sampai empat keluarga, tergantung luasnya.
Pemerintah sejak enam tahun lalu memang sudah mendirikan
apartemen-apartemen untuk penduduk, bertingkat empat. Tapi
jangan kaget kalau sebuah kamar dalam apartemen sekitar 4 X 4
meter dihuni satu keluarga lengkap, berikut anak dan menantu.
Itu pula mungkin sebabnya pemerintah membiarkan penduduk Vietnam
menikmati keleluasaan pribadi di luar kandangnya.
Selain perumahan yang padat penghuni, biaya hidup di Hanoi yang
berpenduduk 1,5 juta manusia itu juga tak bisa dikatakan murah.
Memang ada pembagian, mulai dari beras, gula sampai sayur
kangkung. Tapi sebagian besar dari dapur penduduk, yang bukan
pegawai negeri dan kader partai, harus mereka peroleh dari
pasar.
Dan di pasar Cho Hom di Hanoi, orang bisa membeli beras kualitas
sedang D. 11,50/kg, kelapa D. 25/kg, kankung D. 5/kg, telur ayam
negeri D. 2/butir, daging ayam potong D. 70/kg, daging sapi yang
amat jarang D. 75/kg, daging babi D. 60/kg, minyak goreng D.
70/liter, susu kental dalam negeri D. 24/ kaleng dan minyak
tanah D. 5/botol.
Harga-harga yang tercatat di pertengahan bulan Oktober lalu itu
termasuk lumayan, karena panen yang berhasil tahun ini. Toh
banyak orang tak bisa mencukupi kebutuhan dapurnya untuk
sebulan. Seorang penduduk Hanoi rata-rata memperoleh penghasilan
sebulan antara D. 200 sampai D. 300. Maka buat yang bergaji 200
dong, itu berarti kurang dari 20 kg beras dalam musim panen ini.
Tak sampai tiga kilogram daging ayam.
Toh tak kelihatan ada bocah yang perutnya buncit gara-gara
kurang makan di Vietnam. Atau orang tua yang melarat
meminta-minta. Di sebuah pagoda, 60 km lebih di luar Hanoi,
seorang nenek yang menjaga kuil itu mengaku hanya mendapat gaji
9 kg beras sebulan. "Selebihnya saya cari sendiri, dari hasil
ternak ayam dan babi," katanya. "Dan dari hasil pengasih para
turis yang kebetulan datang ke mari."
Orang di Vietnam memang bisa hidup hanya dengan nasi kepal --
campuran nasi merah dengan kacang hijau dan sedikit garam,
bacang yang dibuat dari ketan campur kacang hijau. Atau mie
rebus dicampur kecap yang terbuat dari minyak ikan, ramuan
paling penting di setiap rumah tangga Vietnam.
Meskipun begitu, laporan dari organisasi pangan sedunia FAO)
mencatat Vietnam setiap tahun kekurangan paling sedikit 2 juta
ton bahan makanan. Dan sumber-sumber diplomatik di Hanoi merasa
yakin rakyat di sana kekurangan gizi -- mungkin dengan ukuran
kesehatan Barat. Kalaupun dugaan itu tak benar, masih ada
harapan: para ekonom di Hanoi optimistis, bahwa proyek bendungan
raksasa Mekong Delta, di daerah selatan yang sekarang mereka
kuasai, kalau kelak jadi (diharapkan selesai 1985), akan mampu
mengolah sekitar 5 juta hektar sawah. Proyek tersebut, selain
masih dibantu oleh Bank Dunia juga menggunakan teknisi Jepang
dan Denmark.
Daerah.,di selatan itu memang lebih ramah iklimnya dibandingkan
di utara. Pemandangan alamnya, sawah-sawahnya, juga flora yang
tumbuh di sana mirip dengan Jawa atau Sumatera. Mengenal hanya
dua musim--berbeda dengan di utara yang empat musim disertai
musim dingin yang menggigit -- kehidupan di Vietnam Selatan
memang jauh lebih santai.
Persamaan yang nampak antara Hanoi dengan Saigon alias Kota Ho
Chi Minh sekarang adalah ini: kedua kota besar itu sama-sama
memiliki banyak sepeda. Kalau di Hanoi dan sekitarnya
diperkirakan ada setengah juta sepeda, maka di Kota Ho Chi Minh
yang lebih banyak penduduknya mungkin akan lebih dari itu.
"Suasana berubah sekali," kata seorang pelancong dari Hue.
Pemuda Hue itu mengaku baru kali itu ke Saigon, setelah sembilan
tahun tak ke sana. "Dulu motor-motor buatan Jepang dan mobil
banyak berseliweran," katanya sepulang dari gedung opera. "Kini
sepeda melulu."
BISA dimengerti. Seliter bensin kini berharga US$ 3, berarti se
kitar Dong 120 kalau dikurs di _ pasaran gelap. Dengan mudah
seorang turis bisa memperoleh 40 dong untuk satu dollar US.
Itulah perbedaan menyolok juga antara Hanoi dan Kota Ho Chi
Minh--tempat pasar gelap begitu mudah ditemui dan kupon Dollar
A, yang dikeluarkan oleh Bank Devisa Vietnam, praktis tidak laku
dan tidak mempan sebagai pengganti dollar US yang resminya
dilarang beredar.
Orang di Kota Ho Chi Minh rupanya memang lebih suka mengumpulkan
dollar US agar bisa ke luar negeri. Ratusan orang sabar menunggu
di pelabuhan udara kota Ho Chi Minh, tiap kali ada pesawat
datang. Ada yang ingin ke Paris, ada yag ke Amerika dan ada
pula yang ingin ke Kanada. Mereka rupanya dibebaskan untuk
itu--sebagai anasir yang tak berguna.
Salah satu jalan untuk mengumpulkan uang adalah dengan menjual
barangbarang impor, terutama makanan dan minuman dalam kaleng.
Pemerintah nampaknya membiarkan orang-orang di Vietnam mendapat
kiriman uang dari sanak keluarga yang sudah di luar negeri. Dan
uang kiriman itu banyak yang diputarkan lagi, dengan membeli
barangbarang impor itu lewat Imex--kantor impor ekspor yag
didirikan pemerintah di beberapa kota besar, antara lain di
Danang, Haiphong dan Kota Ho Ci Minh.
Dan Imex, yang menjadi gudang dari barang-barang impor itu, akan
menjual kepada para pedagang itu dengan harga miring. Mereka ini
kemudian menjualnya lagi dengan untung yang lumayan. Jangan
tanya harganya. Sekaleng biskuit Verkades mereka jual Dong 300,
begitu pula untuk sebotol Scotch Whisky. Barang-barang itu masuk
dari Hongkong dan Singapura. Ada televisi, radio transistor, dan
barang elektronik lain. Siapa yang membeli, tak jelas benar.
Sebuah sumber yang mengetahui mengatakan, agen-agen Imex di
kedua kota Asia itu "hanya tinggal menunggu telepon atau kawat
dari Kota Ho Chi Minh." Salah seorang agen yang kini membuka
pangkalan di Singapura adalah seorang Swedia bernama "Andre".
Kantor impor ekspor tersebut-merupakan suatu.bagian dari
kegiatan Badan Perencanaan Kota Ho Chi Minh. Selain mengurusi
impor, Imex juga mengekspor barang-barang industri, kerajinan,
makanan, hasil pertanian--kecuali beras, karet dan kopi--dan
hasil laut seperti ikan dan rumput laut. Direktur Imex Nguyen
Van Phuoc mengakui tahun lalu ekspor mereka masih belum banyak.
"Tapi tahun ini diperkirakan eks por mencapai 30 - 40% dari
seluruh produksi Kota Ho Chi Minh," katanya.
Imex itu jelas merupakan saluran pokok untuk ekspor dan impor.
Hasil sampingannya tentu masihbertahannya semangat
konsumtif--dan juga semangat kapitalisme. Agaknya pasti, sistem
kapiulisme atau pasaran bebas masih mempunyai daya tahan yang
cukup ampuh di Kota Chi Minh, setelah lebih 6 tahun diambii-alih
oleh partai komunis dari utara.
Semua itu kenyataan yang keras yang nampaknya sejauh ini
mengharuskan sebagian para pemimpin Vietnam bersikap agak
mengalah alias pragmatis. Tapi justru sikap demikian pula yang
di lain pihak membikin cemas sebagian pemimpin lain: "penyakit
kapitalisme" bisa meroyak jauh dari sana, dan menggerogoti
sendi-sendi sistem sosialisme yang sedang mereka bangun. Sebab
bagaimana sosialisme tak terganggu jika ada orang ambil untung
besar dengan jual beli Scotch Whisky dan biskuit Verkade ?
Itulah agaknya tema besar perdebatan tersembunyi di kalangan
para pemimpin Vietnam sekarang--setidaknya menurut banyak analis
dari luar. Bagi negara tetangganya, siapa pun yang bakal unggul
nampaknya tak akan punya pengaruh besar. Paling-paling jika
kaum "pragmatis" menang, Vietnam dalarm perdagangan akan lebih
terbuka. Mungkin citranya sebagai negeri perang--seperti yang
suka dibayangkan orang di Singapura dan Muangthai -- akan ter
kikis.
Tapi sekalipun pihak yang lebih "kurang pragmatis" akhirnya
menang, masih diragukan benarkah Vienam akan lebih berbahaya.
Lambatnya proses pembangunan ekonomi di sana bagi para pemimpin
tipe ini mungkin akan tetap dikaitkan dengan semangat menghadapi
musuh dari luar. Ekonomi yang mereka serukan adalah ekonomi
perang. Tapi nampaknya musuh dari luar yang berkali-kali mereka
teriaki hanya Cina. Dalam kata-kata Menlu Nguyen Co Thach
pilihan dewasa ini adalah pilihan "antara hidup merdeka dan
hidup dijajah Cina".
Kata-kata Thach mungkin terlalu dramatis, bagi banyak orang
luar. Tapi begitu pula terlalu dramatis untuk membayangkan
Vietnam merupakan ancaman terbesar di Asia Tenggara. Negeri yang
berkali-kali menang perang dengan mengesankan ini, dan kini
dibantu oleh Uni Soviet, memang masih membuang bayang-bayang
yang tak enak ke luar, terutama ke Muangthai. Tapi tetap jadi
tandatanya sampai sejauh mana konflik di Asia Tenggara akan
benar-benar meningkat dari Hanoi di masa depan yang dekat ini.
Selama masih dalam ikhtiar memecahkan soal-soal pokok
ekonominya, Vietnam justru penting untuk jadi bahan perbandingan
dalam cara pembangunan di kawasan ini, yang lain dari cara
pembangunan di ASEAN. Seorang pengamat di Kota Ho Chi Minh
mengatakan, setelah meninjau negeri itu beberapa tahun, "Vietnam
harus siap jadi semacam dusun besarnya Asia Tenggara." Jika itu
benar, dari dusun itu para tetangga bisa menilai diri mereka
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini