Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bayang-bayang beban vietnam

Laporan kunjungan fikri jufri ke vietnam, kehidupan rakyat dan situasi vietnam dewasa ini. rakyatnya dikenal anti terhadap cina, ulet, semangat bertahannya tinggi hingga berkali-kali menang perang.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lapangan Ba Dinh di depan mosoleum Ho Chi Minh yang megah di Hanoi, beberapa polisi kelihatan berjaga-jaga. Sejumlah buruh sedang bekerja, memperbaiki pelataran yang memisahkan mosoleum itu dengan lapangan tersebut. Tak seperti biasa, mosoleum itu tertutup untuk umum pertengahan Oktober lalu. Dan siapa pun yang mendekati bangunan yang kekar itu, untuk memotret foto besar almarhum Ho Chi Minh yang tepampang di puncak mosoleum, pasti akan ditegur polisi. Ada apa? Di sebuah gedung yang nampak sepi menghadap mosoleum itu, di bagian lain dari lapangan Ba Dinh, penjagaan pun nampak lebih dari biasa. Di atas gedung yang tinggi itu dua polisi yang membawa walkie-talkie kelihatan siap memainkan teropongnya. Ternyata di gedung yang tak lain adalah Balai Sidang itu sedang berlangsung suatu rapat penting. "Rapat polit-biro," kata seorang di Hanoi. Tentang persiapan Kongres ke-V?"Kelihatannya begitu," lanjutnya. Inilah saat-saat yang paling sibuk bagi para pemimpin di Hanoi. Mereka sibuk mempersiapkan Kongres ke-V partai. Kapan akan dimuhinya Kongres itu tak seorang pejabat pun mengetahui secara pasti. Semula diperkirakan Kongres ke-V Partai Komunis Vietnam, yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-36 kemerdekaan Vietnam, akan jatuh pada bulan November ini. Kemudian terdenar kongres diundur sampai akhir tahun. Tapi seorang yang dekat dengan Deplu Vietnam memperkirakan kongres baru akan berlangsung antara Februari dan Maret tahun depan. Kenapa diundur-undur? Bukankah, seperti kata PM Pham Van Dong, kongres yang akan datang ini merupakan kelanjutan dan pengembangan dari kongres yang lampau? Timbul spekulasi bahwa telah terjadi perdebatan sengit di antara pemimpin Vietnam. Kalau dugaan seperti itu benar, bisa dipastikan yang menjadi topik perdebatan adalah wajah ekonomi Vietnam lima tahun mendatang. Berpenduduk 55 juta, dengan laju kelahiran di atas 2,6% setahun, beban Vietnam memang tidak enteng. Apalagi negeri itu, di bagian utara, sering diganggu angin tdpan dan banjir. "Lima tahun terakhir ini merupakan masa yang amat sulit buat Vietnam. Iklim selama itu mengerikan," kata Hoang Tung, pemimpin redaksi, karian partai Nhan Dan Tung, anggota partai yang memimpin koran itu 33 tahun semenjak terbit, tak cuma berbicara tentang buruknya cuaca, tapi juga beberapa hal lain yang kurang kena. Ia rupanya dibolehkan untuk mengritik. Editor kawakan itulah yang melihat perlunya digunakan ukuran-ukuran ekonomi dan perangsang material--suatu hal yang oleh pandangan doktriner sosialis dianggap tak tepat. Hoang Tung mencatat bahwa di Vietnam sekarang, orang yang bekerja secara kolektif, menurun produksinya dibandingkan sewaktu ia bekerja sendiri. Karena itu ia berpendapat perlunya ada rangsangan individual bagi buruh dan tani. Pendapat tenung perlu dikembangkannya sistem perangsang ini, juga prinsip siapa yang bekerja lebih keras harus mendapat imbalan lebih banyak, rupanya makin diyakini banyak orang. Terutama setelah Pelita 11 Vietnam (1976-1980) secara resmi dinyatakan sebagai gagal. Tapi dengan begitu perdebatan seru sedang terjadi di kalangan pemimpin Vietnam. Bukan cuma soal perangsang, tapi juga perlu tidaknya desentralisasi. Nguyen Lam, Ketua Bappenas-nya Vietnam,dalam suatu wawancara khusus dengan Nayan Canda dari Far Eastern Ekonomic Review akhir Februari lalu melihat "adanya dua kecenderungan di dalam tubuh partai dalam hal menilai sistem manajemen di tingkat pusat yang mengontrol segalanya dan pada tingkat lokal yang dibiarkan berbuat sesukanya . . . Kalau tingkat pusat mengontrol segalanya, maka para direktur dan buruh pabrik tak akan memiliki inisiatif. Kami harus mencapai akumulasi modal untuk industrialisasi dari kalangan produsen kecil dan kami harus merangsang mereka secara material untuk meningkatkan produksi." Revisionis? Jalan kapitalis? Sama sekali tidak, menurut Lam. "Kami hanya menghargai tiga kepentingan: negara, kolektif dan perorangan. Satu hal yang kami kritik adalah birokrasi dan sistem di mana pusat mengontrol segala-galanya. Ini tak memberi peluang untuk kreativitas pekerja. Kami melansir kampanye besar-besaran antibirokrasi. Sambutan dari rakyat, pekerja dan kader partai ternyata besar. Tentu saja ada beberapa pihak yang konservatif, sedikit sekali, yang menilai sistem insentif tersebut tidak baik." Memang, pelan-pelan hasil kampanye itu mulai mendapat bentuk di Vietnam. Untuk merangsang para petani di pedesaan, mereka dibolehkan memiliki 5% dari hasil garapannya. Bidang industri kecil seperti kerajinan, yang berbentuk koperasi, juga menjalankan sistem perangsang, dengan membayar lebih besar kepada mereka yang menghasilkan lebih banyak. Di kota-kota besar, seperti di Hanoi mulai bermunculan pula para pedagang kaki-lima menjual sayur-mayur, buah-buahan sampai makanan. Di suatu sudut Kota Hanoi, ada sederet warung milik keluarga yang menjual burung dara goreng, sea food secara terbatas sampai bir kalengan merek Asahi dan Heinekens. Sekaleng bir mereka jual 30 dong, yang di pasar gelap bernilai satu dollar US (resminya, untuk 1 US$ seorang hanya mendapat 9 dong). Bir impor itu pun bisa mereka peroleh dari pasaran atau dari Intershop. Di toko yang khusus disediakan untuk para korps diplomatik dan orang asing di Hanoi, untuk satu dollar bisa diperoleh tiga bir kalengan ..... Tentu saja ada efek negatif akibat dikendurkannya kendali pengawasan itu. Di sebuah depot minuman di seberang Hotel Thang Loi di Hanoi, setiap hari ada saja sekumpulan pemuda dudukduduk minum bir. Dan di sebuah kafetaria persis di sebelah Hotel Tong Nhat di jantung Hanoi, suatu siang nyaring terdengar lagu-lagu pop disko. Sejak setahun-dua ini lagu-lagu dari Barat itu memang mulai berkumandang di hotel, warung-warung minuman sampai di rumah penduduk tertentu. Penyanyi Abba Group, The Beatles dan Bonnie M termasuk favorit. "Salah satu yang saya sangat sukai adalah Rasputin, Lover of the Russian Queen, punya Bonnie M," kata seorang wanita di sana -- suatu selera yang bisa serupa dengan kegemaran gadis-gadis Muangthai yang "kapitalistis". Tentu saja banyak hal masih berbeda. Vietnam belum pakai kosmetika. Tapi perubahan mulai nampak. "Kehidupan mulai berwarna di Hanoi," kata seorang Belanda di sana. Dalam pakaian para remaja sudah mulai pandai memilih warna, dandan sedikit, dan banyak yang berpotongan rambut pendek. Setiap sore berbondong-bondong para remaja dan orang dewasa naik sepeda. Banyak di antara mereka yang bersantai di lapangan atau di pinggir danau yang banyak terdapat di Hanoi. Meskipun dengan batas: tepat pukul 10 malam polisi yang ikut menjaga akan memberi isyarat agar mereka pulang. YANG menarik, para pasangan boleh memenuhi hasrat asmara mereka di tempat-tempat terbuka bila datang gelap itu. "Tapi jangan salah paham, banyak juga di antara pasangan itu yang suami-istri," kata seorang di Kedubes Indonesia. Soalnya: penduduk di Hanoi rupanya merasa sumpek untuk tinggal di rumah atau tepatnya di kamar mereka. Masalah perumahan di ibukota Vietnam memang terkenal belum memadai. Sebuah kamar biasa dihuni dua sampai empat keluarga, tergantung luasnya. Pemerintah sejak enam tahun lalu memang sudah mendirikan apartemen-apartemen untuk penduduk, bertingkat empat. Tapi jangan kaget kalau sebuah kamar dalam apartemen sekitar 4 X 4 meter dihuni satu keluarga lengkap, berikut anak dan menantu. Itu pula mungkin sebabnya pemerintah membiarkan penduduk Vietnam menikmati keleluasaan pribadi di luar kandangnya. Selain perumahan yang padat penghuni, biaya hidup di Hanoi yang berpenduduk 1,5 juta manusia itu juga tak bisa dikatakan murah. Memang ada pembagian, mulai dari beras, gula sampai sayur kangkung. Tapi sebagian besar dari dapur penduduk, yang bukan pegawai negeri dan kader partai, harus mereka peroleh dari pasar. Dan di pasar Cho Hom di Hanoi, orang bisa membeli beras kualitas sedang D. 11,50/kg, kelapa D. 25/kg, kankung D. 5/kg, telur ayam negeri D. 2/butir, daging ayam potong D. 70/kg, daging sapi yang amat jarang D. 75/kg, daging babi D. 60/kg, minyak goreng D. 70/liter, susu kental dalam negeri D. 24/ kaleng dan minyak tanah D. 5/botol. Harga-harga yang tercatat di pertengahan bulan Oktober lalu itu termasuk lumayan, karena panen yang berhasil tahun ini. Toh banyak orang tak bisa mencukupi kebutuhan dapurnya untuk sebulan. Seorang penduduk Hanoi rata-rata memperoleh penghasilan sebulan antara D. 200 sampai D. 300. Maka buat yang bergaji 200 dong, itu berarti kurang dari 20 kg beras dalam musim panen ini. Tak sampai tiga kilogram daging ayam. Toh tak kelihatan ada bocah yang perutnya buncit gara-gara kurang makan di Vietnam. Atau orang tua yang melarat meminta-minta. Di sebuah pagoda, 60 km lebih di luar Hanoi, seorang nenek yang menjaga kuil itu mengaku hanya mendapat gaji 9 kg beras sebulan. "Selebihnya saya cari sendiri, dari hasil ternak ayam dan babi," katanya. "Dan dari hasil pengasih para turis yang kebetulan datang ke mari." Orang di Vietnam memang bisa hidup hanya dengan nasi kepal -- campuran nasi merah dengan kacang hijau dan sedikit garam, bacang yang dibuat dari ketan campur kacang hijau. Atau mie rebus dicampur kecap yang terbuat dari minyak ikan, ramuan paling penting di setiap rumah tangga Vietnam. Meskipun begitu, laporan dari organisasi pangan sedunia FAO) mencatat Vietnam setiap tahun kekurangan paling sedikit 2 juta ton bahan makanan. Dan sumber-sumber diplomatik di Hanoi merasa yakin rakyat di sana kekurangan gizi -- mungkin dengan ukuran kesehatan Barat. Kalaupun dugaan itu tak benar, masih ada harapan: para ekonom di Hanoi optimistis, bahwa proyek bendungan raksasa Mekong Delta, di daerah selatan yang sekarang mereka kuasai, kalau kelak jadi (diharapkan selesai 1985), akan mampu mengolah sekitar 5 juta hektar sawah. Proyek tersebut, selain masih dibantu oleh Bank Dunia juga menggunakan teknisi Jepang dan Denmark. Daerah.,di selatan itu memang lebih ramah iklimnya dibandingkan di utara. Pemandangan alamnya, sawah-sawahnya, juga flora yang tumbuh di sana mirip dengan Jawa atau Sumatera. Mengenal hanya dua musim--berbeda dengan di utara yang empat musim disertai musim dingin yang menggigit -- kehidupan di Vietnam Selatan memang jauh lebih santai. Persamaan yang nampak antara Hanoi dengan Saigon alias Kota Ho Chi Minh sekarang adalah ini: kedua kota besar itu sama-sama memiliki banyak sepeda. Kalau di Hanoi dan sekitarnya diperkirakan ada setengah juta sepeda, maka di Kota Ho Chi Minh yang lebih banyak penduduknya mungkin akan lebih dari itu. "Suasana berubah sekali," kata seorang pelancong dari Hue. Pemuda Hue itu mengaku baru kali itu ke Saigon, setelah sembilan tahun tak ke sana. "Dulu motor-motor buatan Jepang dan mobil banyak berseliweran," katanya sepulang dari gedung opera. "Kini sepeda melulu." BISA dimengerti. Seliter bensin kini berharga US$ 3, berarti se kitar Dong 120 kalau dikurs di _ pasaran gelap. Dengan mudah seorang turis bisa memperoleh 40 dong untuk satu dollar US. Itulah perbedaan menyolok juga antara Hanoi dan Kota Ho Chi Minh--tempat pasar gelap begitu mudah ditemui dan kupon Dollar A, yang dikeluarkan oleh Bank Devisa Vietnam, praktis tidak laku dan tidak mempan sebagai pengganti dollar US yang resminya dilarang beredar. Orang di Kota Ho Chi Minh rupanya memang lebih suka mengumpulkan dollar US agar bisa ke luar negeri. Ratusan orang sabar menunggu di pelabuhan udara kota Ho Chi Minh, tiap kali ada pesawat datang. Ada yang ingin ke Paris, ada yag ke Amerika dan ada pula yang ingin ke Kanada. Mereka rupanya dibebaskan untuk itu--sebagai anasir yang tak berguna. Salah satu jalan untuk mengumpulkan uang adalah dengan menjual barangbarang impor, terutama makanan dan minuman dalam kaleng. Pemerintah nampaknya membiarkan orang-orang di Vietnam mendapat kiriman uang dari sanak keluarga yang sudah di luar negeri. Dan uang kiriman itu banyak yang diputarkan lagi, dengan membeli barangbarang impor itu lewat Imex--kantor impor ekspor yag didirikan pemerintah di beberapa kota besar, antara lain di Danang, Haiphong dan Kota Ho Ci Minh. Dan Imex, yang menjadi gudang dari barang-barang impor itu, akan menjual kepada para pedagang itu dengan harga miring. Mereka ini kemudian menjualnya lagi dengan untung yang lumayan. Jangan tanya harganya. Sekaleng biskuit Verkades mereka jual Dong 300, begitu pula untuk sebotol Scotch Whisky. Barang-barang itu masuk dari Hongkong dan Singapura. Ada televisi, radio transistor, dan barang elektronik lain. Siapa yang membeli, tak jelas benar. Sebuah sumber yang mengetahui mengatakan, agen-agen Imex di kedua kota Asia itu "hanya tinggal menunggu telepon atau kawat dari Kota Ho Chi Minh." Salah seorang agen yang kini membuka pangkalan di Singapura adalah seorang Swedia bernama "Andre". Kantor impor ekspor tersebut-merupakan suatu.bagian dari kegiatan Badan Perencanaan Kota Ho Chi Minh. Selain mengurusi impor, Imex juga mengekspor barang-barang industri, kerajinan, makanan, hasil pertanian--kecuali beras, karet dan kopi--dan hasil laut seperti ikan dan rumput laut. Direktur Imex Nguyen Van Phuoc mengakui tahun lalu ekspor mereka masih belum banyak. "Tapi tahun ini diperkirakan eks por mencapai 30 - 40% dari seluruh produksi Kota Ho Chi Minh," katanya. Imex itu jelas merupakan saluran pokok untuk ekspor dan impor. Hasil sampingannya tentu masihbertahannya semangat konsumtif--dan juga semangat kapitalisme. Agaknya pasti, sistem kapiulisme atau pasaran bebas masih mempunyai daya tahan yang cukup ampuh di Kota Chi Minh, setelah lebih 6 tahun diambii-alih oleh partai komunis dari utara. Semua itu kenyataan yang keras yang nampaknya sejauh ini mengharuskan sebagian para pemimpin Vietnam bersikap agak mengalah alias pragmatis. Tapi justru sikap demikian pula yang di lain pihak membikin cemas sebagian pemimpin lain: "penyakit kapitalisme" bisa meroyak jauh dari sana, dan menggerogoti sendi-sendi sistem sosialisme yang sedang mereka bangun. Sebab bagaimana sosialisme tak terganggu jika ada orang ambil untung besar dengan jual beli Scotch Whisky dan biskuit Verkade ? Itulah agaknya tema besar perdebatan tersembunyi di kalangan para pemimpin Vietnam sekarang--setidaknya menurut banyak analis dari luar. Bagi negara tetangganya, siapa pun yang bakal unggul nampaknya tak akan punya pengaruh besar. Paling-paling jika kaum "pragmatis" menang, Vietnam dalarm perdagangan akan lebih terbuka. Mungkin citranya sebagai negeri perang--seperti yang suka dibayangkan orang di Singapura dan Muangthai -- akan ter kikis. Tapi sekalipun pihak yang lebih "kurang pragmatis" akhirnya menang, masih diragukan benarkah Vienam akan lebih berbahaya. Lambatnya proses pembangunan ekonomi di sana bagi para pemimpin tipe ini mungkin akan tetap dikaitkan dengan semangat menghadapi musuh dari luar. Ekonomi yang mereka serukan adalah ekonomi perang. Tapi nampaknya musuh dari luar yang berkali-kali mereka teriaki hanya Cina. Dalam kata-kata Menlu Nguyen Co Thach pilihan dewasa ini adalah pilihan "antara hidup merdeka dan hidup dijajah Cina". Kata-kata Thach mungkin terlalu dramatis, bagi banyak orang luar. Tapi begitu pula terlalu dramatis untuk membayangkan Vietnam merupakan ancaman terbesar di Asia Tenggara. Negeri yang berkali-kali menang perang dengan mengesankan ini, dan kini dibantu oleh Uni Soviet, memang masih membuang bayang-bayang yang tak enak ke luar, terutama ke Muangthai. Tapi tetap jadi tandatanya sampai sejauh mana konflik di Asia Tenggara akan benar-benar meningkat dari Hanoi di masa depan yang dekat ini. Selama masih dalam ikhtiar memecahkan soal-soal pokok ekonominya, Vietnam justru penting untuk jadi bahan perbandingan dalam cara pembangunan di kawasan ini, yang lain dari cara pembangunan di ASEAN. Seorang pengamat di Kota Ho Chi Minh mengatakan, setelah meninjau negeri itu beberapa tahun, "Vietnam harus siap jadi semacam dusun besarnya Asia Tenggara." Jika itu benar, dari dusun itu para tetangga bisa menilai diri mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus