Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Belajar Menyelamatkan Bumi dari Pittsburgh

Konferensi Tingkat Tinggi G-20 Pittsburgh berhasil menyetujui sejumlah komitmen, dari soal reformasi lembaga keuangan dunia sampai penanganan perubahan iklim. Tempo melaporkan perjalanan pengurangan emisi gas rumah kaca yang pelik itu.

28 September 2009 | 00.00 WIB

Belajar Menyelamatkan Bumi dari Pittsburgh
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN tanpa alasan bila Kota Pittsburgh dipilih Presiden Amerika Serikat Barack Obama sebagai tuan rumah konferensi tingkat tinggi pemimpin 20 negara industri maju dan berkembang (G-20), Kamis dan Jumat pekan lalu. Kota besar kedua di Negara Bagian Pennsylvania dengan penduduk 310 ribu—dan 2,5 juta di satelit metropolitan itu—menurut Obama adalah, ”Contoh nyata bagaimana menciptakan lapangan kerja dan industri baru sambil melakukan transformasi ekonomi menuju abad ke-21.”

Obama sedang menunjuk pada sebuah perubahan besar yang berhasil. Mayoritas penduduk Pittsburgh berkulit putih. Namun Obama memilih Pittsburgh pasti bukan untuk menyenangkan golongan red neck itu—istilah untuk pekerja tambang kulit putih yang berpikiran sempit dan tak bersimpati pada orang asing. Penduduk Pittsburgh mulanya memang pekerja industri baja, aluminium, kaca, dan tambang batu bara.

Kota yang dibangun pada 1816 itu pada tahun-tahun awal abad ke-20 mencapai era emas sebagai pusat industri berat Amerika. Tapi pada akhir era 1970 ekonomi Pittsburgh jatuh. Industri manufaktur melepas seratus ribu pekerjanya. Langit di atas ”Kota Baja” ini hitam pekat karena polusi udara.

Hawa kota memanas karena matahari tak mampu menerobos pekatnya langit. Sungai Allegheny dan Monongahela, yang bertemu di pusat kota dan membentuk Sungai Ohio, airnya berwarna jelaga karena buangan logam berat serta limbah batu bara. Pittsburgh bukan kota yang nyaman untuk ditempati.

Perubahan dramatis terjadi. Industri berat sekarang ini sudah digantikan industri berbasis teknologi, robotik, pendidikan, kesehatan, hotel, dan jasa keuangan. Kepada peserta Konferensi G-20, Pittsburgh seperti mempertontonkan karya terbarunya, yakni University of Pittsburgh Medical Center. Di gedung jangkung milik perusahaan baja terbesar negeri itu, US Steel, dipasang tanda neon besar ”UPMC”, yang jelas tampak dari seluruh kota. Itulah simbol bahwa industri kesehatan dan pendidikan telah menggantikan industri baja sebagai mesin penggerak ekonomi.

Sementara ”Pittsburgh lama” terguncang hebat akibat kesulitan ekonomi menjelang awal tahun 1980-an, ekonomi ”Pittsburgh baru” tetap kukuh. Bahkan pada 2008, ketika seluruh Amerika mengalami resesi akibat skandal subprime, Pittsburgh menyediakan tambahan lowongan kerja. Lingkungan kota itu pun semakin bersih dengan program perbaikan lingkungan. Pada 2007, majalah Forbes menobatkan kota itu sebagai sepuluh kota bersih di Amerika. Pada 2009 ini, majalah bergengsi The Economist memberikan gelar Pittsburgh sebagai kota paling nyaman untuk ditinggali di Amerika Serikat.

Meskipun Kota Baja sudah bersalin rupa, warisan era ekonomi baja masih bisa dijumpai. Kantor pusat US Steel—perusahaan baja terbesar Amerika yang kini perlahan mengurangi bisnis baja—masih menjulang tinggi di Pittsburgh. Warisan yang lain, Pittsburgh Steelers, klub American soccer yang didirikan pada 1933.

Kota Pittsburgh juga dikenal sebagai kota jembatan. Di atas sungai yang membelah kota, Pittsburgh mempunyai 446 jembatan, lebih banyak daripada Venesia di Italia—dan di salah satu jembatan itu Bruce Willis pernah bermain dalam film yang juga beredar di Indonesia, Striking Distance.

Setelah sukses mengubah Pittsburgh, adakah Amerika Serikat akan menjadi lokomotif pengurangan emisi gas karbon dioksida di atmosfer yang sedang diperjuangkan dunia? Hasil pertemuan 20 pemimpin dunia yang berakhir pada Jumat pekan lalu itu ternyata menjanjikan harapan besar.

Secara kolektif, negara G-20 menegaskan komitmen di Pittsburgh untuk mengambil tindakan tegas untuk menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim. Usaha ini disepakati dilakukan dengan prinsip dan kerangka kerja United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC).

Prinsip badan PBB untuk perubahan iklim yang disepakati itu termasuk satu prinsip penting. Bahwa pengurangan target emisi gas rumah kaca di atmosfer dilakukan secara bersama tapi dengan tanggung jawab yang berbeda (common but differentiated responsibility) antara negara maju dan berkembang.

Indonesia termasuk yang paling gigih memperjuangkan prinsip yang dicanangkan di Kyoto (1997) dan diperkuat di Bali (2007) itu. Barangkali itu sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan sebagai lead speaker dalam pertemuan sesi perubahan iklim di Pittsburgh.

Komitmen mengelola panas bumi sangat ditunggu para aktivis lingkungan, sebab negara maju baru sampai menjanjikan pengurangan emisi itu dengan berbagai alasannya, termasuk krisis ekonomi. Untuk mewujudkan, ”Perlu perjuangan, walaupun saya optimistis. Kalau ada parit penghalang, ya kita harus loncat untuk menghindar. Di Kopenhagen nanti kita harapkan semua negara menaati pengurangan emisi,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar.

Persoalan paling berat untuk dipecahkan dalam isu pengurangan emisi gas rumah kaca adalah sumber dana. Untuk mengganti energi fosil, yang mengandung polusi, ke energi hijau dibutuhkan dana yang sangat besar. Di Pittsburgh, negara G-20 berkomitmen, dana itu harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan dan investasi setiap negara serta menjadi kebijakan negara. Para menteri keuangan 20 negara ditugasi merumuskan berbagai opsi tentang pendanaan perubahan iklim ini. Hasil kerja para menteri keuangan mesti dilaporkan dalam pertemuan UNFCC di Kopenhagen pada Desember mendatang.

Isu perubahan iklim global banyak dibicarakan setidak-tidaknya sejak 1950. Pada tahun itu, untuk pertama kali kandungan gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer mencapai 300 parts per million (ppm)—satu jumlah yang memicu kenaikan suhu bumi secara signifikan. Lebih dari 50 tahun sejak itu, pada 2007, kandungan emisi rumah kaca hampir menyentuh 400 ppm, yang tentu saja diikuti terus meningkatnya panas bumi.

Yang sekarang dicegah mati-matian oleh para aktivis perubahan iklim, jangan sampai panas bumi bertambah dua derajat Celsius lagi dari tingkat sekarang ini. Negara maju, yang sudah seabad lalu telah melepaskan karbon dioksida, paling tidak dalam sudut pandang Indonesia dan sejumlah negara berkembang, harus membayar upaya pencegahan kenaikan temperatur bumi.

Maka, atas prakarsa UNFCC, serangkaian pertemuan diadakan dan berlangsung intensif sejak 1990. Conference of parties (COP) diadakan dan dua yang paling sukses adalah di Kyoto (1997) dan Bali (2007). Konferensi Bali mencatat Indonesia bersama 36 negara—termasuk Cina, India, Brasil, Afrika Selatan—menggariskan bahwa negara-negara maju secara agregat harus menurunkan emisi 40 persen pada 2020 dan 85 persen pada 2050. ”Kesepakatan itu mengikat untuk dilaksanakan,” ujar sumber Tempo. Presiden Yudhoyono juga menyatakan, ”Kesepakatan Bali merupakan landasan kuat dalam pembicaraan perubahan iklim.”

Di luar COP, pemimpin negara kerap mengadakan pertemuan yang membahas sejumlah hal, termasuk isu climate change. Pertemuan pemimpin negara di Markas PBB awal pekan lalu dan G-20 di Pittsburgh merupakan dua di antara pertemuan di luar COP. Tapi pertemuan terpenting perubahan iklim akan berlangsung di Kopenhagen. ”Di Kopenhagen semua janji negara maju diharapkan akan diwujudkan. Pokoknya, pertemuan nanti merupakan pertemuan untuk seal the deal,” kata sumber Tempo lagi.

Ya, semua janji akan ”disegel” di Kopenhagen. Dan di Pittsburgh mulai terlihat kesungguhan negara maju untuk memenuhi janji itu. Semua kita penghuni bumi tentu tak ingin hidup di bawah terik, diancam permukaan laut yang terus meninggi.

Di gedung pusat konvensi David L. Lawrence di Pittsburgh, yang dibangun dengan US$ 375 juta, Presiden Obama dan tamu-tamu VVIP-nya telah berkomitmen kuat untuk mencegah agar bumi tak semakin panas. Gedung dengan teknologi ramah lingkungan mutakhir itu merupakan gedung pertama di Amerika yang mendapatkan penghargaan Gold LEED (leadership in energy and environmental design) dari Konsil Gedung Hijau AS.

Kelak dunia akan mencatat, adakah para pemimpin G-20 ini layak didemonstrasi—seperti yang dilakukan aktivis Green Peace dan beberapa kelompok selama KTT G-20 berlangsung, sampai 15 aktivis ditangkap. Atau diberi award karena membuat kita tetap betah menghuni bumi ini.

Toriq Hadad (Pittsburgh)

Kesepakatan G-20

  • Meluncurkan kerangka kerja dan tata kelola kebijakan serta tindakan bersama untuk menghasilkan pertumbuhan kuat, berkelanjutan, dan seimbang.
  • Memastikan regulasi bank dan lembaga finansial global terkendali dari ekses yang bisa mengakibatkan krisis.
  • Mereformasi arsitektur global institusi keuangan dunia agar sesuai dengan kebutuhan abad ke-21.
  • Mengambil langkah baru untuk meningkatkan akses pada makanan, bahan bakar, dan keuangan di antara negara miskin.
  • Menghapus bertahap inefisiensi dan subsidi bahan bakar fosil sambil menyediakan dukungan bagi kelompok miskin.
  • Mengelola keterbukaan dan langkah ke depan program lingkungan dan pertumbuhan berkelanjutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus