Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sekali sidang paripurna, terutama menjelang akhir masa tugas pada ujung bulan ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, mampu melahirkan empat peraturan perundang-undangan sekaligus. Adapun ”junior” mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, sekali bersidang, bisa memproduksi satu peraturan lebih banyak.
Pada pertengahan bulan ini, para wakil rakyat Nanggroe Aceh Darussalam mengesahkan dua peraturan daerah mengenai tindak kriminalitas yang disebut Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Kata ”jinayah” berarti pidana. Tiga peraturan daerah lainnya adalah Qanun Penanaman Modal, Qanun Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, serta Qanun Wali Nanggroe.
Tidak seperti tiga qanun terakhir, dua yang pertama menjadi obrolan riuh warga provinsi, baik pro maupun kontra. Hingga hari pengesahannya, dua kelompok aspirasi berlomba menyambangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Forum Komunikasi untuk Syariat, yang dimotori sejumlah aktivis kampus, mendukung pengesahan. Adapun sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat dalam Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat, seperti Koalisi Kebijakan Partisipatif Aceh, justru sebaliknya.
Riuh ini terkait dengan penerapan hukuman rajam bagi pelaku perzinaan, khususnya yang telah menikah, seperti diatur pasal 24. Jika masih lajang, hukumannya ”cukup” didera hingga seratus kali. Hukuman rajam ini hanya berlaku jika ada empat saksi mata yang memergoki perbuatan haram itu. Hukuman rajam identik dengan hukuman mati, yaitu pelaku dikubur hingga sebahu dan dilempari batu hingga tewas.
Peraturan daerah ini memerinci berbagai macam klausul tindak kriminalitas plus sanksinya bagi para pelanggar. Tindak kriminalitas itu misalnya melakukan pedofilia, pelecehan seksual, pemerkosaan; meminum minuman keras, berjudi, berdua dengan nonmuhrim di tempat sepi, bermesraan lelaki dan perempuan yang belum menikah, berzina, serta terlibat homoseksualitas dan lesbian. Sanksinya beragam, dari berupa denda, penjara, potong tangan, cambuk, hingga rajam.
Qanun Jinayah ini terdiri atas 50 pasal dan sepuluh bagian. Berlakunya qanun ini sekaligus menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, yang mengatur provinsi ini berstatus istimewa dengan syariat Islam sebagai landasan hukumnya.
Usul draf Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah ini sebenarnya rancangan Pemerintah Aceh dan masuk ke Dewan sekitar setahun lalu. Ketua Panitia Khusus XII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Bahrom M. Rasyid menjelaskan, draf awal tidak mencantumkan klausul hukuman rajam. Namun, dalam pembahasan, mayoritas fraksi menyetujui klausul ini dimasukkan.
Pada Agustus lalu, draf qanun ini lalu dipaparkan kepada publik lewat media untuk dikritik, dilanjutkan dengan rapat dengar pendapat umum. Qanun Jinayah ini sebenarnya dirancang sebagai penyempurnaan dari tiga qanun yang hadir lebih dulu, yaitu Qanun tentang Maisir (berjudi), Qanun tentang Khalwat (berdua dengan nonmuhrim di tempat sepi), dan Qanun tentang Khamar (minuman beralkohol). Pembahasan lantas melibatkan polisi, jaksa, hakim, Mahkamah Syariah, akademisi, dan advokat.
Di parlemen, Bahrom mengatakan, pembahasan antarfraksi berlangsung encer. Merujuk pada zaman Nabi, ia menambahkan, hukum timpuk ini baru diterapkan jika pezina meminta pelaksanaan hukuman ini setelah mengakui perbuatannya dan bertobat. ”Jadi ini lebih bersifat antisipasi jika ada yang meminta,” katanya. Selain pemerintah Aceh yang menolak klausul rajam ini, Fraksi Partai Demokrat meminta korting hukuman cambuk dan penghapusan hukuman timpuk.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh Asiah Uzia membenarkan adanya sosialisasi draf ini. Namun saat rapat dengar pendapat, ia mengaku tak diundang Dewan. ”Pembahasannya terkesan ditutup-tutupi,” kata Asiah. Draf qanun juga baru bisa diperoleh lewat jalur belakang, dari seorang anggota Dewan. Nasib apes juga dialami Liza Dayani dari Koalisi Kebijakan Partisipatif Aceh. ”Saya baru tahu ada undangan terbuka di media setelah rapat selesai,” ujarnya. Alhasil, para aktivis berencana menggugat klausul ini ke Mahkamah Konstitusi.
Budi Riza, Adi Warsidi (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo