Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kesepakatan rahasia pemerintah Mesir-Cina yang tak hendak dikemukakan di muka publik tiga pekan belakangan ini. Akibatnya sangat nyata, tapi sang "sebab" tetap tersembunyi hingga berita ini diturunkan.
Tak ada suara yang dapat menerangkan dengan jelas mengapa polisi Mesir sekonyong-konyong menangkap 20-an mahasiswa berkewarganegaraan Cina di Al-Azhar University, Kairo, Jumat dua pekan lalu. Kejadian yang sama terjadi di Distrik Hay Sabria, Kairo, ketika polisi mendatangi kerumunan anak muda yang sedang makan siang, lalu menciduk sejumlah mahasiswa asal Negeri Tirai Bambu itu. Dugaan adanya kerja sama diam-diam dua pemerintah itu makin tak terbendung ketika polisi menahan sejumlah mahasiswa lain yang tengah menanti pesawat yang bakal membawa mereka ke luar negeri di ruang tunggu bandar udara Alexandria.
Sejauh ini, pemerintah Mesir menganggap itu bagian dari pemeriksaan rutin terhadap para mahasiswa asing. Adapun pusat pemberitaan Al-Azhar menyangkal kabar bahwa penangkapan dilakukan di lingkungan kampus, kendati tak menampik atau mengakui adanya penahanan mahasiswanya.
Dalam sebulan ini, polisi telah menangkap seratusan mahasiswa yang berasal dari etnis Uighur, minoritas muslim penghuni Daerah Otonomi Xinjiang, Cina. Kabar angin menyatakan anak muda yang kebanyakan sedang belajar ilmu agama Islam dan bahasa Arab di Mesir itu telah diterbangkan pulang ke Cina. Sebagian mahasiswa langsung dibawa ke kamp-kamp kerja paksa, sedangkan sebagian lagi--yang diyakini tidak tersangkut kelompok teroris di Xinjiang--diboyong masuk ke kelas-kelas "rehabilitasi."
"Pemerintah Mesir selama ini telah menahan mereka yang tak memiliki surat-surat lengkap atau visanya kedaluwarsa," kata seorang sumber komunitas Uighur di Kairo yang meminta agar nama dan identitasnya tak disebutkan. "Kini mereka tidak lagi mengecek visa. Polisi terus menangkap secara kasar." Melihat gentingnya keadaan, para mahasiswa mencari tempat persembunyian yang aman di Mesir atau terbang ke negeri-negeri yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Cina.
Sejak Januari 2017, pemerintah Cina senantiasa waswas dengan gelagat separatisme warga Uighur dan mulai memaksa ribuan mahasiswa Uighur yang kuliah di luar negeri pulang kampung. Bulan ini pemerintah Cina telah menunjukkan otot diplomatiknya dengan meyakinkan pemerintah Mesir untuk memulangkan warganya. Sesampai di Cina, mereka akan didata dan menjalani skrining politik yang bakal menentukan nasib mereka selanjutnya.
Sejauh ini, pemerintah Cina mengakui bahwa sejumlah mahasiswa Uighur telah ditahan di Mesir. "Kedutaan Besar Cina telah mengirim konsuler untuk bertemu dengan mereka," kata Geng Shuang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina. Namun organisasi hak asasi Human Rights Watch mengingatkan pemerintah Mesir agar tidak mendeportasi para mahasiswa Uighur yang telah ditahan. "Di Cina, mereka akan menghadapi persekusi dan penyiksaan," demikian pernyataan organisasi itu.
Diakui atau tidak, pemerintah Cina seperti penumpang gelap yang mengambil keuntungan dari arus besar perang melawan terorisme untuk mengikis kelompok-kelompok separatis muslim di negerinya. Dan, menghadapi aneka kekerasan di Xinjiang oleh kelompok bersenjata Gerakan Pembebasan Turkistan Timur, Cina berusaha menggerus identitas Uighur, termasuk tradisi Islamnya.
Pada 2014, sebuah surat kabar lokal yang terbit di Kota Karamay, Xinjiang, memberitakan bahwa warga yang memelihara janggut panjang, mengenakan jilbab, apalagi dengan bros bintang-bulan, tak diperkenankan menggunakan transportasi publik seperti bus. Adapun di kota lainnya, Kashgar, salah satu persinggahan kafilah di Jalan Sutra, pemerintah setempat memperkenalkan Proyek Keindahan, proyek yang mendorong para perempuan Uighur untuk "memperlihatkan kecantikan wajahnya dengan membiarkan rambut yang tergerai ditiup angin."
Bukan cuma itu, orang-orang Uighur juga menghadapi bermacam kesulitan administrasi untuk beribadah haji. Ditambah berbagai kekerasan yang marak di Xinjiang akhir-akhir ini, tekad pemerintah untuk menyingkirkan tradisi Islam yang jadi identitas Uighur semakin keras.
Berbeda dengan orang-orang Uighur yang berbahasa Turki dan memiliki kecenderungan memisahkan diri, muslim dari suku Hui, yang menghuni Daerah Otonomi Ningxia--dan keturunan Persia itu--jauh lebih beruntung. Berpenampilan sama dengan Han, suku mayoritas di Cina, muslim Hui lebih tertarik berdagang dan mengembangkan usaha ketimbang memisahkan diri. "Pemerintah melihat orang-orang Hui sebagai muslim yang baik, sedangkan orang Uighur adalah muslim yang buruk," kata seorang pengamat asing yang meminta agar identitasnya tetap dirahasiakan.
Tak ada orang Hui muslim yang dilarang menuntut ilmu agama mainstream di Al-Azhar University atau bahkan ajaran yang lebih salafi di University of Madinah. Pemerintah Cina dengan senang hati memperlihatkan pembedaan perlakuan di antara dua suku muslim Cina ini sekaligus menunjukkan bahwa Beijing tak akan mengizinkan siapa pun yang berkecenderungan memisahkan diri. Sekalipun itu melanggar hak asasi manusia.
Idrus F. Shahab (The New York Times, Aljazeera, Time, AFP)
Diakui atau tidak, pemerintah Cina seperti penumpang gelap yang mengambil keuntungan dari arus besar perang melawan terorisme untuk mengikis kelompok-kelompok separatis muslim di negerinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo