Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pos Pejaten Pengawal Angket

Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat menyiapkan aneka peluru untuk menembak Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada dukungan petinggi kepolisian memasok data yang terkait dengan penyidikan di KPK.

17 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GRUP percakapan di aplikasi WhatsApp yang dibentuk para politikus Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat mendadak riuh pada Kamis pekan lalu. Akbar Faisal dari NasDem menulis bahwa informasi di grup tersebut telah bocor.

Menurut seorang politikus yang menjadi anggota grup, mereka sempat saling tuding tentang siapa yang membocorkan informasi di dalam forum. Beberapa yang lain langsung keluar dari grup begitu Akbar menginformasikan kebocoran tersebut.

Pangkal kehebohan, kata politikus ini, adalah terusan pertanyaan kepada Akbar dari Tempo. Wartawan majalah ini bertanya apakah benar Panitia Angket akan menghadirkan Ajun Komisaris Besar Hendy Kurniawan untuk menyelidiki prosedur penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hendy adalah polisi yang pernah bertugas di KPK.

Akbar rupanya meneruskan pertanyaan tersebut ke grup WhatsApp itu seraya mengatakan usulnya menghadirkan Hendy adalah materi percakapan di grup. Kepada Tempo, ia membantah mengusulkan pemanggilan Hendy sebagai strategi menyelidiki KPK. "Saya bukan anggota Panitia Angket," ujarnya di kompleks gedung DPR di Senayan pada Kamis pekan lalu.

Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat, yang menjabat Wakil Ketua Komisi Hukum, mengkonfirmasi adanya grup WhatsApp tersebut. Ketika ditanyai soal kehebohan pada Kamis pekan lalu, ia hanya berkata singkat, "Ah, tidak ada yang penting di sana."

Diberi nama "Angket KPK", grup WhatsApp ini berisi politikus yang tercatat dan tak tercatat sebagai anggota Panitia Angket. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan politikus Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bukan anggota Panitia, tapi bergabung di grup tersebut. Fahri adalah politikus yang sudah dipecat Partai Keadilan Sejahtera dan paling getol berbicara tentang pentingnya angket untuk KPK.

Sufmi Dasco mengakui pernah menjadi anggota di grup tersebut. Namun dia memilih keluar bersamaan dengan politikus Gerindra lain, seperti Supratman Andi Agtas dan Desmond Junaidi Mahesa. "Soalnya, saya bukan anggota Panitia Angket," ujar Dasco.

Meski Benny mengatakan tak ada yang penting, strategi menyelidiki KPK dibicarakan dalam grup itu. Menghadirkan Ajun Komisaris Besar Hendy Kurniawan salah satu strategi itu. Menurut seorang anggota Panitia Angket, kehadiran Hendy bakal menjadi peluru ampuh mengungkapkan penyimpangan penyidikan di KPK.

Hendy saat ini menjabat Kepala Sub-Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dia bertugas di KPK sejak 2008 dan mengundurkan diri pada 1 November 2012. Hendy mundur karena menilai ada pelanggaran prosedur saat KPK menetapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda S. Goeltom sebagai tersangka suap cek pelawat untuk anggota DPR.

Saat Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka rekening gendut pada awal 2015, ketika KPK dipimpin Abraham Samad, nama Hendy kembali mencuat. Dia menjadi saksi di sidang praperadilan Budi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kala itu, Hendy mengungkapkan pernah diminta pimpinan KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka meskipun belum ada dua alat bukti.

Usul Akbar mendatangkan eks penyidik KPK dari Kepolisian RI disambut Fahri Hamzah. Menurut seorang politikus, Fahri mengusulkan para polisi yang bakal bersaksi di sidang angket ditetapkan sebagai whistleblower lebih dulu. "Biar seru," ucap Fahri di grup tersebut seperti ditirukan seorang politikus.

Saat dimintai konfirmasi, Fahri mengatakan pernah ada pengakuan malpraktik di KPK dari mantan penyidik. Temuan ini muncul ketika Komisi Hukum DPR periode lalu mengumpulkan bekas penyidik KPK. Fahri mengingatkan, jika personel kepolisian mau bersaksi, pimpinan Polri semestinya memberi izin. "Yang pasti, dokumen soal ini ada," kata Fahri.

Pemimpin KPK era Abraham Samad, Bambang Widjojanto, mengatakan gelar perkara sebuah kasus diikuti banyak orang, termasuk para penyidik anggota satuan tugasnya. Menurut Bambang, dalam penetapan tersangka, mungkin saja ada sebagian kecil penyidik yang tidak sepakat. Rapat lalu mengambil keputusan karena, "Ada penyidik lain menyatakan sebuah perkara sudah cukup bukti."

Bambang Soesatyo, anggota Panitia Angket dari Partai Golkar, setuju menghadirkan para mantan penyidik KPK dalam sidang panitia yang dimulai pada Senin pekan lalu. Keterangan mereka dianggap cukup signifikan untuk mengungkapkan proses di KPK. "Banyak temuan baru yang akan digelar dalam sidang angket," ujarnya.

Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan belum ada permintaan menghadirkan Hendy dari Panitia Angket saat mereka bertemu dengan Kepala Polri Tito Karnavian pada Rabu pekan lalu. "Tidak ada pembicaraan sama sekali soal itu," ucap Syafruddin pada Jumat pekan lalu. Hendy Kurniawan juga mengatakan belum menerima panggilan Panitia untuk meminta kesaksiannya. "Sibuk kerjaan, Bro," katanya.

l l l

PANITIA Angket DPR terhadap Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK berawal ketika politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani, mengaku diintimidasi penyidik KPK sehingga menyebut 43 nama anggota DPR yang kecipratan suap proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Di depan hakim, Novel Baswedan, yang memeriksa Miryam, mengatakan justru Miryam yang mengaku ditekan koleganya di DPR setelah pengakuannya itu sehingga mencabut keterangan semula.

Miryam menjadi mata rantai penting untuk membongkar skandal e-KTP. Jika ia membatalkan seluruh kesaksian, korupsi proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun akan terputus. Kesaksian Novel yang mengutip Miryam soal tekanan anggota DPR membuat politikus Senayan meradang. Dari situlah sejumlah politikus menggalang dukungan membentuk Panitia Angket.

Sejak awal terbentuk, Panitia menargetkan mendapat peluru dari orang-orang yang pernah mengeluhkan penyidikan KPK. Karena itu, mereka mendatangi para koruptor di penjara Sukamiskin di Bandung.

Panitia juga mengundang Romli Atmasasmita, guru besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Senin pekan lalu. Romli, yang dibebaskan Mahkamah Agung dari dakwaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum pada 2010, memaparkan ada 36 orang yang menjadi tersangka di KPK tanpa bukti permulaan yang cukup.

Informasi itu dia peroleh setelah mengikuti gelar perkara yang dipimpin eks pelaksana tugas KPK, Taufiequrachman Ruki. Esoknya, muncul bantahan Ruki atas pernyataan Romli tersebut.

Setelah Romli memberikan keterangan, grup "Angket KPK" kembali riuh. Seorang anggota Panitia Angket mengunggah tautan sebuah berita sembari memberi keterangan tambahan, "Wah, informasi ini tidak dimakan oleh media, ya?" Penghuni grup lain menimpali, "Bagaimana nih operasi media kita?"

Panitia Angket juga mendatangi Markas Besar Polri. Menurut Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, kedatangan Panitia Angket bertujuan meminta bantuan pengamanan terhadap saksi atau narasumber yang akan Panitia Angket panggil. "Termasuk pengamanan anggota Panitia Angket jika diperlukan," ujar Tito.

Menurut Ketua Panitia Angket Agun Gunandjar Sudarsa, tujuan pertemuan dengan polisi itu adalah agar mereka bisa bekerja efektif dengan dukungan korps Bhayangkara. "Sehingga bisa membuat semakin baik politik pemberantasan korupsi," kata politikus Golkar itu.

Rupanya, peran polisi tak sebatas pengamanan saksi atau anggota Panitia Angket. Sejak Panitia terbentuk, menurut seorang anggotanya, sejumlah perwira menengah bekerja secara klandestin menyiapkan dokumen untuk mendukung penyelidikan terhadap KPK. Kepolisian juga menyiapkan tiga pos untuk menyokong kerja Panitia.

Pos pertama, menurut seorang politikus, berada di sebuah apartemen di Hotel Fairmont, Jakarta. Penanggung jawab pos ini adalah Akbar Faisal. Pos lain di sekitar markas Badan Intelijen Negara di Pejaten, Jakarta Selatan, yang dikawal seorang politikus Golkar. Akbar Faisal membantah terlibat dalam pengelolaan pos ini.

Pos terakhir berada di salah satu gedung Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian dan langsung berada di bawah kendali Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar. Saat dimintai konfirmasi, Antam hanya menjawab, "Saya tak ada sangkut-paut dengan angket."

Dalam urusan menggoyang KPK, nama bawahan Budi Gunawan ketika memimpin Kepolisian Daerah Bali ini kerap disebut. Majalah ini pada Februari 2015, misalnya, menulis Antam membujuk Direktur Penyidikan KPK Endang Tarsa agar bersedia menjadi saksi pada sidang praperadilan tersangka Budi Gunawan oleh komisi antikorupsi. Endang diminta menyatakan penetapan tersangka calon Kepala Polri yang telah disetujui DPR itu atas desakan Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto. Antam, kala itu Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, membenarkan adanya pertemuan tersebut. "Itu pertemuan kedua, setelah pada Sabtu malam, di tempat yang sama," katanya.

Politikus Partai Amanat Nasional, Mulfachri Harahap, tak menampik adanya pos-pos itu. Menurut dia, awalnya anggota Dewan sering berkumpul di Hotel Mulia di belakang gedung DPR. Karena tempatnya terlalu ramai, para politikus ini pindah ke Fairmont, dua kilometer dari Mulia. "Itu juga bukan posko, cuma tempat berkumpul," ujar Wakil Ketua Komisi Hukum DPR ini.

Para politikus juga menyebutkan Antam Novambar aktif berkomunikasi dengan Bambang Soesatyo tentang angket ini. Antam pernah mengusulkan ada penggalangan opini guru besar pendukung angket. Menurut seorang politikus, usul Antam diteruskan Bambang ke grup WhatsApp "Angket KPK".

Dalam pesan itu, Antam mengaku bertemu dengan guru besar Universitas Gadjah Mada. Ia menyarankan Panitia menjelaskan kepada para guru besar UGM agar memahami masalah di KPK. Dosen UGM lebih banyak yang mendukung KPK ketimbang mendukung Panitia. Bambang memberi kode pada terusan pesan Antam tersebut dengan kata-kata "Dari Posko II".

Bambang menampik pernah meneruskan komunikasinya dengan Antam tentang angket. Menurut politikus Golkar itu, percakapannya dengan Antam tak terkait dengan dukungan polisi untuk Panitia Angket. Antam pun tak mau memberi konfirmasi tentang percakapan itu. "Saya tak ada waktu," katanya.

Antam juga disebut-sebut memasok telepon antisadap kepada anggota Panitia Angket. Seorang anggota Panitia menunjukkan telepon seluler buatan Swiss yang berisi nomor-nomor politikus lain pendukung angket. Ia menerima telepon tersebut dari Sufmi Dasco Ahmad.

Di Indonesia, telepon seluler itu dikenal sebagai Blackphone, diproduksi Silent Circle, dan dijual Rp 12 juta. Kelebihan ponsel ini memiliki kemampuan mengenkripsi panggilan telepon dan pesan pendek. Ponsel ini juga dirancang untuk mencegah penyedotan data saat terkoneksi dengan jaringan seluler nirkabel.

Anggota Panitia Angket, Masinton Pasaribu, membantah pembagian ponsel antisadap itu. "Mana? Ponsel saya mah ini saja," ujarnya seraya menunjukkan iPhone miliknya. Dasco juga menyangkal. "Wah, kalau ada, saya juga mau," katanya, tertawa.

Dukungan lain kepolisian adalah pasokan data untuk Panitia Angket oleh sejumlah perwira menengah. Seorang politikus menuturkan, polisi mencari sejumlah orang yang bisa menceritakan ancaman penyidik KPK saat pemeriksaan. Temuan ini dirangkum dalam matriks yang berisi uraian temuan dan target Panitia Angket.

Salah satu temuan tersebut adalah keterangan Miko Panji Tirtayasa, saksi kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Miko muncul dalam video pada April lalu mengaku diancam Novel Baswedan dan bekas Ketua KPK, Abraham Samad. "Saya diminta memberi keterangan palsu agar om saya (Muhtar Ependy) dan Bapak Akil masuk penjara," ujar Miko dalam testimoni tersebut.

Dalam matriks itu disebutkan KPK memberikan tiga identitas baru, yakni atas nama Miko Panji Tirtayasa, Samsul Anwar, dan Koko Tirtayasa. Tiga identitas itu diberikan saat KPK memeriksa Miko untuk aliran korupsi Akil dalam memainkan perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Tak hanya itu, temuan tersebut mendapati adanya pemberian kartu KPK yang berlaku sejak Januari 2014 hingga Mei 2018 untuk memberi kekebalan hukum.

Miko, dalam dokumen Panitia, juga mengaku pernah diancam dipenjarakan dengan tuduhan menggelapkan uang perusahaan Muhtar jika menolak menuruti skenario KPK. Miko luluh. Ia diberi tiket berlibur ke Bali, Lombok, dan Raja Ampat.

Miko tak bisa dimintai konfirmasi. Firdaus, seorang kawan dekatnya, mengaku kepada Rusman Paraqbueq dari Tempo bahwa ia mendapat informasi tentang video itu dari kerabat Miko, Sand Tirtayasa. Kepada Firdaus, Sand bercerita bahwa Miko sedang dikejar anak buah Muhtar Ependy pada sekitar April lalu. Sand meneruskan pesan dari Miko kepada Firdaus. "Saya dikejar untuk membuat berita dan video bohong," demikian bunyi pesan Miko.

Mulfachri Harahap mengaku memegang data mengenai Miko. Namun ia membantah mendapatkannya dari polisi. "Anda meremehkan Panitia Angket kalau menganggap data itu dipasok pihak tertentu," tuturnya. Fahri Hamzah mengatakan keterangan Miko sudah beredar di publik. "Tak perlu disuplai kepolisian," ujarnya.

Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan keterlibatan polisi dalam Panitia Angket hanya berbentuk pengamanan saksi dan anggota. Dia membantah kabar bahwa Antam Novambar memasok data untuk Panitia Angket. Dia curiga info itu bertujuan mengadu domba kepolisian dengan KPK. "Tidak ada (dukungan polisi), bohong itu," ujarnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan, permintaan perlindungan datang dari Miko pada 7 April 2014. Seperti penuturannya kepada Tempo waktu itu, Miko merasa bersalah karena terlibat dalam korupsi Akil dan Muhtar. Ia kemudian membeberkan cara-cara korupsi Akil dalam sengketa pemilihan kepala daerah kepada KPK dengan syarat minta dilindungi. Agus mengakui, KPK memberikan bantuan biaya hidup untuk Miko selama berstatus saksi yang dilindungi. "Dia lalu menghilang dan mangkir dari sidang," kata Agus.

Dengan berbagai temuan itu, menurut seorang politikus, Panitia Angket punya tiga target setelah penyelidikan: membubarkan KPK, merevisi Undang-Undang KPK untuk menghapus kewenangan menyadap, atau menyingkirkan penyidik utama seperti Novel Baswedan. "Tujuan akhirnya perbaikan atau menindak penyidik bermasalah," ujar Arsul Sani, anggota Panitia Angket dari Partai Persatuan Pembangunan. "Revisi undang-undang itu paling jauh."

Wayan Agus Purnomo, Danang Firmanto, Ahmad Faiz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus