YERIKHO mulai berdandan untuk menyambut kunjungan Pemimpin PLO Yasser Arafat pertengahan Juni ini. Seolah, penduduk kota kecil di Tepi Barat itu sudah tak sabar lagi. "Seperti sebuah kampung yang mempersiapkan kenduri besar," kata Saman Khori, penyiar radio dan televisi Palestina. Lampu-lampu gantung berwarna-warni dipajang berjajar di sepanjang jalan. Spanduk selamat datang dan berbagai hiasan dipajang di berbagai tempat yang akan dilewati Arafat. Untuk mempersiapkan pesta itu, warna bisnis pun muncul. PLO, misalnya, dikabarkan telah meneken kontrak dengan jaringan televisi Teleacces sebesar US$ 7,5 juta. Jaringan televisi Austria ini diberi hak menyiarkan liputan kunjungan tiga hari Yasser Arafat ke Yerikho dan Jalur Gaza, 16 Juni nanti. Bagi wartawan yang ingin meliputnya, tersedia paket-paket liputan -- tentu harus dengan duit pula. Wartawan foto dan tulis yang mau mewawancarai Arafat dikenai tarif US$ 20.000. Hanya ikut meliput atau rombongan, tarifnya US$ 10.000. Biaya itu termasuk untuk tiket sepesawat Arafat dari Tunis ke Yerikho, dan perjalanan selama tiga hari di tanah Palestina. Semua persiapan itu dilakukan, termasuk kedatangan 2.000 polisi Palestina (PLA) di Jalur Gaza dan Yerikho Rabu dua pekan lalu. Selain jumlah personel PLA masih kurang, perangkat hukum pun belum jelas. Jalur Gaza menganut hukum Mesir, sedangkan Tepi Barat dan Yerikho masih memberlakukan hukum Inggris. "Kami tak punya tenaga untuk itu," kata Nabil Sahaath, yang baru membawa uang tunai US$ 30.000 untuk menutup kebutuhan anggotanya. Kurangnya personel polisi Palestina itu tampaknya erat kaitannya dengan seretnya dana bantuan internasional. "Kami menunggu kiriman dana dari luar," kata Mayor Jenderal Nasr Youssef, komandan PLA. Ia berharap, tersedia dana US$ 105 juta setahun untuk mengoperasikan 9.000 polisi anggotanya. Mungkin karena itu pula, PLA tak bisa berbuat banyak ketika harus melucuti senjata kelompok penentang perdamaian, seperti Hamas dan Jihad Islam, di wilayah pendudukan. Apalagi senjata para penghuni di 19 permukiman Yahudi. "Menurut peraturan Israel, setiap pemukim harus bersenjata," ujar Mayor Jenderal Ilan Biran, komandan tentara Israel di Tepi Barat. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan keperluan sehari-harinya, misalnya, mereka bergantung pada sumbangan penduduk Jalur Gaza. Setiap hari mereka menyembelih hewan dan memberikan uang shekel (mata uang Israel karena mata uang Palestina belum diberlakukan) kepada para polisi itu. Satu-satunya bekal yang diperoleh setiap polisi yakni sepucuk senapan AK-47, dan beberapa lagi mendapat HT (handy-talky) dari polisi Israel. Di jalan-jalan tampak PLA berpatroli bersama polisi Israel dengan jip berbendera kedua negara. Masalah lain yang dihadapi Arafat adalah pembangunan prasarana di wilayah pendudukan. Memang, ada janji bantuan internasional US$ 1,2 miliar untuk pembangunan Palestina selama tiga tahun ini. Infrastruktur di kedua wilayah bekas pendudukan memang porak-poranda akibat perang selama 27 tahun. Sebagian besar jalan utama masih gelap lantaran minimnya aliran listrik. Sementara itu, sumur-sumur air tercemar racun nitrat oleh penggunaan pestisida dan pupuk yang tak terkontrol. Jalur Gaza bahkan boleh dibilang sebagai "gunung sampah" akibat mengalirnya 950 ton sampah setiap harinya. Bank Dunia baru menyetujui kredit US$ 30 juta -- dari total US$ 128 juta -- buat pembangunan sanitasi dan sarana air bersih, Kamis pekan lalu. Kondisi yang morat-marit dan ketidakpuasan warga Palestina tentu bisa dimanfaatkan oleh PM Israel Yitzhak Rabin buat menyerang Arafat. Dalam pidatonya di Universitas Tel Aviv pekan lalu, misalnya, Rabin mengecam Arafat sebagai pemimpin yang tak becus memimpin sebuah masyarakat. "Arafat tak tahu bagaimana caranya menyediakan pekerjaan dan tunjangan kesehatan bagi rakyatnya," kata Rabin. Kecaman pedas yang dikeluarkan Rabin pertama kali ini -- sejak meneken perjanjian damai di Kairo awal Mei -- tampaknya untuk membalas pidato Arafat di depan jemaah sebuah masjid di Johannesburg, Afrika Selatan, sebulan lalu. "Anda harus berperang dan berjihad untuk membebaskan Yerusalem...." Gara- gara ucapan ini, pihak Israel menuntut agar Arafat membuat pernyataan secara tertulis, bahwa Pemimpin PLO itu tetap memegang teguh perjanjian damai yang diteken di Washington, tahun lalu. Arafat pun meralat bahwa pengertian "jihad" yang diucapkan hanya dalam konteks agama, bukan politik. Dari markas besar PLO di Tunis diperoleh kabar bahwa 19 dari 24 anggota Dewan Pemerintahan Nasional Palestina telah diambil sumpahnya, Jumat pekan lalu. Ini, setidaknya, merupakan indikasi bahwa negara otonomi terbatas Palestina segera dimulai di Yerikho dan Jalur Gaza, bersamaan dengan kedatangan Pemimpin PLO Yasser Arafat yang akrab dipanggil dengan Abu Amar itu. Didi Prambadi (Jakarta) dan Djafar Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini