NUN di pelosok Depok, 36 km dari hiruk-pikuk Jakarta, kawasan Desa Sukmajaya, Jawa Barat, ada sebuah perkampungan seniman. Letaknya tak jauh dari Studio Alam TVRI, dan secara tak resmi perkampungan itu disebut "Sanggar Depok". Awalnya, enam tahun silam, ketika koreografer Gusmiati Suid, yang baru setahun pindah ke Jakarta dari Batusangkar, memimpikan sebuah sanggar tari yang luas, tenang, dan dekat dengan alam. "Saya dibesarkan di daerah pinggiran sungai di kota kecil Batusangkar," katanya. Setelah mencari, bersama anak buahnya, pelosok Depok itulah pilihannya. Dibelinya tanah seluas 2.000 meter persegi dan didirikanlah sebuah sanggar yang terdiri dari sebuah rumah induk yang menyerupai rumah Minangkabau yang bertiang dan bertangga kayu. Di serambi belakang, terdapat sebuah pendopo tempat penari dan pemusik pria menginap. Setelah Gusmiati, menyusul koreografer Farida Feisol, Sardono W.Kusumo, dan penari Maria D. Hoetomo. Sardono mendirikan panggung tempat berlatih, demikian juga Maria. Farida mendirikan sebuah rumah panggung di atas kolam. Sardono pernah mengadakan gladi resik Mahabhuta di sanggarnya itu, sebelum dibawa ke festival di Meksiko. Ada yang bilang, sebuah sanggar akan hidup bila melibatkan masyarakat setempat. Sejauh ini yang sudah melibatkan warga setempat barulah Boi G. Sakti, putra Gusmiati. Lalu sastrawan Gerson Poyk, yang juga membeli tanah di sini, yang membuka kursus menulis. Bila saja ini diikuti yang lain-lain, tampaknya Sanggar Depok bisa menjadi pusat kesenian alternatif.LSC dan SPR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini