SEBUAH Lada berhenti di keriuhan Kota Sofia, musim semi lalu. Begitu keluar dari mobil buatan Soviet itu, pemiliknya buru- buru mencabut whipper dari kaca depan, lantas menyimpannya dalam tas. "Harganya sih murah, tapi kalau tiap hari hilang, bisa jebol pula kantongku," katanya setengah bersungut. Kantong spesial penyimpan whipper kini menjadi perlengkapan wajib bagi pemilik mobil di seluruh Bulgaria. Tentu itu bukan karena keharusan peraturan lalu lintas, tapi lantaran ancaman pengutilan yang lagi mewabah. Lumayan, di Sofia, barang tilapan seperti itu cukup untuk makan siang. Kriminalitas. Itulah mode terbaru di negeri-negeri bekas komunis Eropa Timur. Tak hanya di Kota Sofia, tapi juga di Moskow, Budapest, dan Praha. Belum tampak ada beleid operasi bersih atau petrus (penembakan misterius) untuk mengganyang para bandit seperti di sini. Padahal, menurut catatan polisi, tiap dua menit ada alarm berbunyi (di mobil, rumah, kantor, dan lain-lain) akibat ulah tangan kriminal. Banyak yang percaya, ini semua akibat besarnya jurang kaya miskin dan pengangguran yang tak terkendali. Benih-benih kondisi ekonomi yang compang-camping ini, konon, dilahirkan oleh kebijakan ekonomi pasar yang gagal. Barangkali karena itu jugalah langkah liberalisasi Eropa Timur kini sedang digugat. Bermula dari Lithuania, hampir dua tahun lalu. Di anak negeri yang melepaskan diri dari Uni Soviet atas nama demokrasi itu, seorang bekas pemimpin komunis meraih kursi kepresidenan. Setahun kemudian, giliran Polandia, ketika Aliansi Kiri Demokrat, reinkarnasi Partai Komunis, memenangkan pemilu. Kemenangan yang sama juga direbut oleh Partai Komunis Ukraina sebulan lalu. Begitu juga di Hungaria, ketika Partai Sosialis pimpinan Gyula Horn, menteri luar negeri era komunisme, meraih suara terbanyak dalam pemilu pertama. Memang baru Ahad pekan ini, pada pemilu kedua, bisa dibuktikan apakah Horn akan ikut menandai lahirnya "komunisme" baru di Eropa Timur (lihat Sosialisme di Hungaria). Gelombang kelahiran kembali komunisme ini mungkin tak bakal keras gaungnya jika tak menyangkut "ibu kandungnya" sendiri, di Rusia. Pada pemilu Desember lalu, koalisi Partai Komunis dan saudara kembarnya, Partai Agraria, meraih suara terbanyak, 79 kursi, di majelis rendah. Kemenangan ini disambut ribuan buruh yang memadati balai rakyat di tengah Moskow. Di bawah potret raksasa pemimpin besar Lenin, mereka bersorak seperti mengucapkan doa syukur, "Kejayaan Soviet akan kembali." Dan bendera merah pun lantas dikerek tinggi-tinggi. Salah satu buah kemenangan, seorang penasihat ekonomi pemerintah yang pernah didepak kaum reformis, Leonid Albakin, dirangkul kembali. Mesin komunisme ini lalu mengajukan sejumlah terapi untuk membenahi ekonomi Rusia yang sedang compang- camping. Di antaranya, mengembalikan ekonomi dalam kontrol negara dan memperbesar insentif sosial. Di tengah derasnya niat Amerika Serikat bersama sekutunya di Eropa Barat untuk menggandeng negeri-negeri Eropa Timur itu, bangkitnya komunisme menjadi tanda tanya besar. Padahal, baru empat tahun lalu ajaran Marxisme itu dihujat habis-habisan, dicap kriminal, dilarang, dan dihapuskan dari sejarah. Dalam pidatonya di Capitol Hill, 1992, Presiden Rusia Boris Yeltsin berseru, "Komunisme telah sekarat dan tak pernah bangkit lagi." Ketika itu, Yeltsin pasti tak menghitung bahwa ekonomi pasar tak pernah berpihak pada mereka yang tak menguasai alat produksi -- jumlah terbesar dari masyarakat Rusia warisan komunisme. Sistem catu dihapus, subsidi harga dicabut, dan kontrol harga dilepas. Akibatnya, pensiunan, pegawai pemerintah, dan mereka yang bergaji tetap menjerit lantaran inflasi melesat jauh di atas kenaikan upah yang merayap tersendat. Roti dan keju, yang tampak lebih klimis dan indah, hanya terlihat di etalase toko. Tak terbeli oleh rakyat. Sementara itu, para pejuang liberalisasi yang memimpin pemerintahan tampak kurang cakap memimpin. Di Polandia, misalnya, pemerintah lebih sibuk berdebat soal aborsi. Di Bulgaria, sidang parlemen berkepanjangan dan tak menghasilkan undang- undang sebutir pun. Di samping itu, melahirkan wiraswasta dalam masyarakat yang puluhan tahun dibelenggu oleh ekonomi negara tidaklah gampang. Di Bulgaria, program penswastaan BUMN tak jalan. Selama tiga tahun, hanya satu BUMN yang diswastakan: pabrik gula Burgas di tepi Laut Hitam. Ini semua menyebabkan ekonomi sebagian Eropa Timur kian terpuruk. Di Hungaria, sejak pasar bebas dikumandangkan, pengangguran meledak 10 kali lipat. Di Rusia, mata uang rubel makin tak ada nilainya. Dua tahun lalu, kurs resmi masih satu-satu terhadap dolar AS. Kini, nilai satu rubel jatuh, tinggal 6/100 sen dolar. Akibatnya, para pensiunan, yang cuma menggantungkan hidupnya pada rubel, makin terjepit. Sepertiga penduduk bahkan terperosok ke bawah garis kemiskinan. Namun, ada pula yang bisa memetik untung dari pasar bebas itu. Yakni mereka yang dulu punya koneksi khusus dengan penguasa di zaman komunis. Dengan uang partai, mereka dikirim untuk studi bisnis atau magang di perusahaan luar negeri. Tapi tumbuhnya kelompok elite yang hidup mewah ini justru membuat rakyat makin tak sabar. Kesempatan inilah yang, boleh jadi, dimanfaatkan tokoh-tokoh sosialis untuk mengobarkan lagi semangat komunal, sama-rata sama-rasa.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini