TAK ada sambutan di wilayah Dahaniya, ketika 2.000 polisi Palestina tiba dua pekan lalu. Penduduk desa selatan Jalur Gaza itu justru ketakutan dan menutup pintu rumahnya. "Kami tak pernah takut seperti ini," kata Hassan Hannoun. Sementara itu, Aisha seorang ibu, meratapi nasibnya. "Kami semua akan dibunuh karena PLO tak bisa membedakan mana yang baik dan yang jahat." Dahaniya bukanlah seperti desa Palestina umumnya. Desa ini sudah lama dikenal sebagai sarang bekas "kaki tangan" Israel. Separuh dari 500 penduduk Dahaniya menjadi informan Yahudi. Dan mereka itu sebagian kecil dari 4.500 kolaborator -- populer disebut "barisan burung" -- yang direkrut Israel untuk membantu Shin Bet atau Shabak, kesatuan khusus pengamanan Israel, sejak 27 tahun silam. Ada perlakuan istimewa buat "barisan burung" ini. Mereka boleh memiliki senjata dan mendapat fasilitas permukiman cukup nyaman yang dijaga tentara Israel. Imbalan ini diberikan atas jasa mereka mengorek informasi gerakan perlawanan Palestina, antara lain dengan berpura-pura sebagai sesama tahanan di penjara Israel atau dibaurkan bersama penduduk Palestina di sejumlah permukiman Arab. Dan ini sangat membantu Israel. Menurut seorang pejabat Israel, berkat info dari orang Palestina ini, Israel berhasil menggagalkan separuh aksi serangan yang direncanakan gerilyawan Palestina. Kini, setelah negara otonomi Palestina berdiri, mereka pun ketar-ketir. "Tak lama lagi, kami berhadapan langsung dengan orang-orang Palestina," kata Mohammad Ali, salah seorang bekas "kaki tangan" Israel yang bermukim di Fahme, di selatan Jalur Gaza. Menghadapi ini, pihak Israel sebenarnya tak tinggal diam. Sebuah departemen khusus telah dibentuk untuk mengurus para kolaborator dan keluarganya. Semuanya ada 20.000 orang, tapi hanya 1.000 yang telah dikirim ke tengah keluarga Arab di Jaffa dan Haifa. Sisanya masih ditampung di sejumlah permukiman seperti di Dahaniya dan Fahme tadi. Dalam serangkaian perundingan damai dengan PLO, misalnya, Israel sudah membujuk PLO agar memberikan amnesti. Namun, permintaan itu ditolak. "Ini bukan urusan Anda," kata seorang juru runding PLO. "Mereka adalah sampah masyarakat." Amnesti memang bukan jalan terbaik. Kalau mau, Israel bisa saja menampung bekas "barisan burung" dan keluarganya itu di wilayah Israel. Tapi ini sulit. Selain ongkosnya mahal, warga Arab ini belum tentu diterima oleh masyarakat Yahudi. Sebaliknya, membiarkan mereka di tangan Palestina pun bisa gawat. Soalnya, para kolaborator itu bisa saja dijadikan alat oleh Palestina untuk balik menghantam Israel di masa datang.DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini