Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KE BREGA! Ke Brega!” Mereka ingin ke Brega. Hampir tengah hari, matahari membuka matanya lebar-lebar, tapi angin yang berembus kencang masih menyisakan dingin. Pada 6 April lalu itu, musim semi baru dimulai. Dengan memakai jaket tipis, ratusan tentara dan gerilyawan Libya antipemerintahan Muammar Qadhafi berkumpul di gerbang barat Kota Ajdabiya. Hanya 50 kilometer lagi pasukan pemberontak tak berseragam itu sampai di Brega, yang dikuasai pemerintah.
Setelah teriakan ”ke Brega” dan takbir berkali-kali, puluhan kendaraan terbuka serta truk yang mengangkut senapan mesin antitank dan pelontar mortir menggelinding tergesa-gesa. Di jalan selebar 10 meter yang amat lurus dan rata itu, mereka bisa menekan gas dalam-dalam dan melaju dengan kecepatan 140 kilometer per jam.
Tak perlu khawatir ada yang menyeberang. Di kiri-kanan hanyalah padang pasir hingga ke cakrawala. Yang perlu dikhawatirkan adalah peredam kejut kendaraan yang merana dibebani senjata ratusan kilogram. Selama ini, nasib terburuk per-per itu hanya dikencingi domba. Ini memang bukan kendaraan militer, hanya kendaraan biasa milik rakyat yang diubah fungsinya.
Sejak akhir Februari lalu, banyak yang berubah fungsi di Libya. Mahasiswa, orang kantoran, penganggur, dan petani menjadi gerilyawan. Mereka mengangkat senjata—yang sebelumnya hanya dikenal singkat dalam wajib militer. Menamai diri thuwar, revolusioner, tujuan mereka adalah menggulingkan pemerintahan Qadhafi di Tripoli.
”Dia sudah terlalu lama berkuasa, 42 tahun yang membosankan dan tanpa kebebasan,” kata Ahmed Misrati, seorang thuwar yang merelakan pickup bapaknya ditumpangi senjata mesin 12 milimeter yang dia rebut dari atas tank pemerintah. Kaca depan mobilnya hancur dan diganti dengan plastik. Sebuah peluru menerobos hingga tembus ke kaca belakang dalam sebuah pertempuran beberapa hari lalu. Untung, dia selamat, dan bisa menceritakan kejadian tersebut. ”Dia bukan lagi muammar (pemberi kemakmuran), melainkan mudammar (penghancur).”
Tiga puluh jam sebelumnya.
Namanya Said Habi dan sama sekali tak mirip petugas imigrasi. Ia memakai baju kamuflase tentara warna hijau tanpa sepatu bot. Said mengambil tiga paspor penumpang taksi—dua wartawan Tempo dan seorang dokter Ukraina—yang datang dari pos perbatasan Mesir. Ia membolak-baliknya sebentar, lalu meminta saya ikut ke pos penjagaan. Di dinding luar pos itu tertulis ”Saqata Qadhafi”. Qadhafi sudah jatuh. Grafiti yang terlalu optimistis untuk revolusi yang belum selesai.
Kenapa dia menyuruh ke dalam pos? Apa karena kami mencoba masuk ke Libya tanpa memiliki visa? Di dalam, ia meminta saya menuliskan nama dan nomor paspor. ”Ketiga-tiganya, ya, termasuk milik dokter,” katanya. Saya menuruti kata-katanya, menulis ketiga nama di sebuah buku lebar yang mirip buku tamu pernikahan. Setelah itu, Said mengembalikan semua paspor. ”Oke, kalian bisa jalan.” Itu saja? Tak ada cap atau visa? Said menggeleng. ”Kalian bebas.” Terima kasih, Tuhan, ini lebih mudah daripada memasuki pesta pernikahan.
Di wilayah timur Libya, birokrasi memang sudah mati. Tak ada lagi pemerintahan resmi. Semua dikuasai kelompok pemberontak yang berpusat di Benghazi. Kerapian birokrasi bukanlah prioritas Mustafa Abdul Jalil, pemimpin kelompok oposisi. Yang lebih penting baginya adalah mempertahankan kota-kota yang sudah direbut. Sejauh ini, mereka berhasil menguasai wilayah timur Libya, dari perbatasan dengan Mesir di ujung timur hingga Ajdabiya. Diplomasi luar negeri adalah prioritas kedua. Sejauh ini, ia berhasil diakui sebagai kepala pemerintahan Libya yang sah oleh beberapa negara, termasuk Prancis dan Italia.
Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan Libya. Alexandr, dokter Ukraina itu, turun tak lama kemudian. Sopir mobil ini adalah warga negara Mesir yang batuk-batuk tiada henti. Berkali-kali ia meludah ke luar jendela dan merokok tak putus-putus. Setelah satu jam, ia menghentikan kendaraan di tempat rehat. Pemiliknya memberi kami stiker bergambar Omar Mukhtar dengan latar belakang bendera tiga warna.
Mukhtar adalah pahlawan nasional Libya dalam revolusi menentang penjajahan Italia. Benito Mussolini dari Roma memerintahkan pria Benghazi itu digantung sampai mati. Anthony Quinn memerankan Mukhtar dengan sangat bagus dalam film The Lion of the Desert yang disutradarai Mustafa Akkad. Kini Mukhtar menjadi simbol perlawanan. Foto dirinya yang tua dan kurus ada di mana-mana di Libya timur.
Bendera tiga warna—merah, hitam, hijau—adalah bendera Libya sebelum Qadhafi berkuasa. Setelah mengkudeta Raja Idris pada 1969, sang Kolonel memilih bendera hijau polos. Kini para pemberontak kembali memakai bendera triwarna dengan bulan-bintang di tengahnya itu sebagai tanda pembangkangan.
Di stiker itu tertulis petuah Mukhtar: ”Kezaliman membuat orang yang dizalimi menjadi pahlawan. Kejahatan hanya akan menciutkan hati pelakunya, meski dia mencoba untuk menunjukkan kepongahan.”
Kezaliman dan kejahatan yang dimaksudkan Mukhtar tentu adalah Italia dan Mussolini. Tapi, di masa kini, kezaliman itu ditujukan kepada rezim Qadhafi di Tripoli. Semua berawal satu hari setelah Valentine, yang tidak dirayakan di Libya. Sekitar 200 orang turun ke jalan Benghazi, berdemonstrasi menentang penangkapan aktivis hak asasi manusia, Fathi Terbil. Polisi membubarkan demonstrasi sore hari itu dengan keras, tapi tak ada yang tewas. Seruan agar Qadhafi turun belum terdengar.
Keesokan harinya, protes semakin besar. Sekitar 1.500 orang turun ke jalan dan bentrok dengan polisi. Enam orang tewas. Kematian demonstran ini tidak bisa diterima oleh sebagian besar rakyat. Sehari setelah bentrokan berdarah itu, mereka mengumumkan 17 Februari sebagai Hari Revolusi. Di hari yang sama, lima tahun lalu, sebuah demonstrasi menentang kartun Nabi Muhammad di Jylland-Posten berubah menjadi protes anti-Qadhafi.
Demonstrasi semakin besar dan korban semakin banyak. Ratusan orang tewas setiap hari karena peluru dari penembak jitu atau dari pesawat dan helikopter. Oposisi berharap Saif al-Islam Qadhafi—putra kedua sang Kolonel, yang terkenal reformis—dapat maju sebagai penengah. Tapi pidatonya pada 20 Februari lalu justru memperbesar api. Saif mengumumkan perang saudara. Keesokan harinya, Benghazi jatuh ke tangan pemberontak, dan perang saudara benar-benar terjadi. Wilayah timur dengan bendera tiga warna dikuasai oposisi dan wilayah barat masih di genggaman Qadhafi.
Di sepanjang perjalanan menuju Benghazi, kami melihat bendera itu di mana-mana. Di atas rumah, mobil, pompa bensin, atau pos-pos penjagaan. Di pos-pos yang dijaga 5-10 orang thuwar ini, sopir Mesir yang terbatuk-batuk itu memperlambat kendaraan dan memberi salam. Setelah melewatinya, ia kembali menginjak pedal gas dan melaju 120 kilometer per jam.
Kami tak berusaha mencegahnya karena ingin segera selesai dari perjalanan yang membosankan. Tak ada apa-apa, hanya gurun pasir dan menara-menara besi untuk kabel listrik tegangan tinggi. Tak ada bekas perang, karena pertempuran tak sampai di sini. Perang saudara akan berakhir saat Tripoli atau Benghazi jatuh. Dan karena tidak berada di antara keduanya, kota-kota di ujung timur ini bisa tidur nyenyak.
Saya tertidur karena bosan dan lelah, dan terbangun saat mobil memasuki Kota Tobruk. Di sisi kanan, Laut Mediterania terlihat begitu biru. Di salah satu pantai, sebuah kilang penyulingan minyak tampak masih bekerja. Meski sedang terjadi perang, suplai bahan bakar terjamin. Pompa bensin masih berfungsi—kecuali beberapa di garis depan yang dihantam mortir. Berkali-kali kami menyalip truk tangki bahan bakar yang berjalan ke Benghazi.
Soal minyak, mereka tak perlu khawatir. Sumur dan kilang penyulingan di timur masih bekerja. Sejumlah negara Eropa juga siap bertransaksi dengan oposisi yang menguasainya. Libya adalah negara Afrika dengan cadangan minyak paling besar. Dan Qadhafi punya cara agar cadangan itu tak dimakan ketamakan perusahaan minyak asing. Mereka boleh mengebor minyak Libya, tapi hanya bisa mengambil 12 persen keuntungan. Soal risiko pengeboran, perusahaan itulah yang menanggung. Pemerintah Libya menerima bersih 88 persen.
Korupsi bukan isu utama. Mereka tahu Mu’tasim, salah satu putra Qadhafi, menjejalkan jutaan dolar ke rekening bintang Hollywood yang mau diajak berpesta, tapi berita itu hanya seksi di luar negeri. Kesejahteraan hampir tak ada masalah. Hal ini terlihat saat kami melewati kawasan Jabal el-Akhdar. Setelah perjalanan membosankan di padang pasir, kami berjumpa dengan bukit dan lembah yang amat hijau. Di musim semi, semuanya memang tampak indah.
Menjelang senja, kami sampai di gerbang Benghazi. Puluhan kabel listrik tegangan tinggi menjuntai di atas jalan. Malang-melintang dari kiri dan kanan, kabel-kabel itu seperti otot-otot binaragawan yang sedang berpose. Benghazi seakan ingin berkata: ”Aku adalah kota industri terbesar kedua di Libya, dengan kebutuhan tenaga yang luar biasa.”
Di kota inilah pemerintahan sementara berpusat, juga kekuatan militer mereka. Dari jendela kamar hotel, kami bisa melihat kapal-kapal perang pasukan oposisi berwarna kelabu berlabuh.
Meski telah mendapatkan kamar hotel, kami tak dapat tidur cepat. Malam itu, Jenderal Abdul Fattah Younis—Panglima Tentara Libya Merdeka—akan berbicara. Kepada sejumlah wartawan, termasuk Tempo, Younis mengungkapkan kekesalan terhadap lambatnya dukungan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). ”Bayangkan, delapan jam setelah kami minta menyerang, mereka baru datang. Kalau memang mereka tak bisa cepat, biarkan pesawat-pesawat MiG kami terbang. Kami hanya perlu tiga menit untuk sampai ke Misrata atau Brega yang dikuasai rezim,” kata jenderal dengan rambut kelabu itu.
Kami mendengar dengung mesin jet, tapi tak melihat satu titik pun di langit. Langit yang begitu biru hingga membuat semua fotografer tersenyum. Tampaknya, para pejabat NATO tersinggung dibilang lambat, dan pagi itu mereka mengirimkan pesawat tempur. Mungkin pesawat itu terbang terlalu tinggi hingga kami tak dapat melihatnya dan hanya mendengar dengung mesinnya. Tapi, di Ajdabiya, jarum jatuh pun bisa kita dengar. Kota ini begitu sepi, hampir mati.
Ajdabiya terletak 128 kilometer di sebelah barat Benghazi. Ini adalah bumper terakhir kelompok pemberontak. Jika kota ini jatuh ke tangan Qadhafi, Benghazi tinggal menunggu hari. Pada 15 Maret lalu, kota berpenduduk 80 ribu orang ini sempat direbut pemerintah. Tapi, berkat bantuan NATO, para pemberontak dapat merebutnya kembali sebelas hari kemudian. Tank-tank Qadhafi hancur dan terbakar berserakan. Selongsong peluru antipesawat terbang tercecer di mana-mana. Sejumlah bangunan jebol dihantam roket.
Di jalan utamanya, hanya satu-dua mobil melintas. Sebagian besar adalah pickup pasukan pemberontak dengan senjata berat di bak. Hampir tak terlihat pejalan kaki. Semua tempat tutup: sekolah, toko, rumah makan, dan pompa bensin. Bahkan grafiti-grafiti mengecam Qadhafi yang memenuhi dinding-dinding kota terdengar bisu. Yang buka hanya sebuah hotel berisi wartawan asing dan rumah sakit. ”Kota sudah kosong. Semua orang pergi,” kata seorang gerilyawan pemberontak yang menjaga gerbang kota dari arah timur. Mereka mengungsi dan masih enggan kembali.
Seorang dokter muda, Muhammad Kamal, yang kami temui di rumah sakit Ajdabiya, menunjukkan sejumlah foto mengerikan korban serbuan Qadhafi. ”Dua puluh tujuh orang tewas. Sebagian besar terkena bom,” katanya. Dokter lulusan universitas di Benghazi itu memilih bertahan dan setiap hari memakai baju bedah berwarna hijau. Ia bersiap menangani korban dari garis depan. Dua ambulans telah dikirim bersama pasukan pemberontak yang ingin menjebol Brega.
Brega belum jatuh. Pasukan Qadhafi bertahan di kawasan kampus. Di garis depan, Jenderal Younis memimpin pasukan khusus—yang terdiri atas tentara profesional yang melakukan desersi. Sedangkan para gerilyawan diminta berjaga sepuluh kilometer di luar kota. Wartawan juga hanya boleh sampai di sini. Setebal apa pun urat keberanian kami, mereka tak akan mengizinkan siapa pun melintas.
Bum… bum… bum, dan asap hitam pun membubung. Tak terlihat jelas apa yang tertembak. Beberapa jenak kemudian, sebuah sedan putih mendekat dengan kecepatan penuh. Empat orang keluar dan panik. ”Sebuah mobil pemuda kami tertembak di depan,” kata salah satu dari mereka, pemuda awal 20-an tahun dengan pet biru.
Setengah jam kemudian, serangan balasan dilakukan. Selusin truk dan mobil bak terbuka datang dari belakang dan melewati kami. Semua orang memekikkan yel-yel. Lima ratus meter di depan kami, mereka berhenti dan mengarahkan moncong ke Brega. Salah satunya menyalakkan tembakan. Enam roket telah terkirim.
Tapi sore itu mereka belum beruntung. Brega belum jatuh. Mungkin mereka akan melanjutkan serangan sampai malam, atau memulainya lagi besok pagi. Ke Brega, ke Brega, mereka akan menyerang kembali.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo