MAKAM Bapak Pakistan Mohammad Ali Jinnah, yang terletak di pusat
Kota Karachi, berubah jadi pusat kerusuhan. Ahad, dua pekan
selam, sekitar 20.000 orang berkumpul di sana. Maksudnya
memperingati hari ulang tahun ke-36 kemerdekaan Pakistan, tapi
yang kemudian terjadi adalah bentrokan dan kekerasan.
Asal mulanya adalah perang slogan antarakelompok massa yang
mendukung pemerintah lawan kelompok oposisi. Ketika batu-batu
gencar dilontarkan, gas air mata pun tak ayal disemprotkan.
Empat dikabarkan luka-luka, tapi syukurlah, makam Ali Jinnah
yang terbuat dari pualam indah tidak sempat berlumur darah.
Namun peristiwa kecil ini merupakan awal dari gelombang
kerusuhan yang sampai akhir minggu masih terus melanda Pakistan.
Gerakan Pemulihan Demokrasi (MRD), wadah yang menampung delapan
partai terlarang, hari itu menyerukan perlawanan sipil --
khususnya protes terhadap UU Darurat dan pembekuan UUD 1973.
Tapi para pengamat dan kalangan diplomat tidak yakin MRD akan
bergerak. Sebab massa pendukungnya tercerai-berai, setelah
seratus pemimpin mereka ditangkapi. Ditambah lagi sikap keras
rezim Zia yang sejak lama menciutkan semangat orang.
Terbukti MRD bukan cuma gertak. Bahkan pemerintah mulai kecut
melihat aksi protes yang menjalar dari Karachi ke Dadu,
Tharpakar, Nawabshah, Moro, dan Larkana. Dikhawatirkan aksi
protes akan merembet terus ke Peshawar, kota penting di provinsi
barat laut Pakistan. Karena itu pihak militer bertindak cepat.
Di enam kota di Provinsi Sind, yang muncul sebagai pusat
kerusuhan, sekarang ditempatkan di bawah pengawasan militer.
Huru-hara yang terjadi mulai ditandai aksi-aksi merusak.
Kompleks perkantoran, bank, dan kendaraan diserang tiba-tiba.
Rel kereta api dibongkar. Di Dadu, perusuh melempari kantor
pemerintah, membakar bis, dan dua traktor. Selain itu mereka
meneriakkan: Sindu desh -- yang berarti "Hidup Tanah Air Sind".
Juga terlihat slogan bertulisan: Down with Zia dan Pemilu
Sekarang.
Provinsi Sind adalah basis Partai Rakyat Pakistan (PPP) --
partai bekas Presiden Ali Bhutto yang dihukum gantung oleh Zia
Ul-Haq, tahun 1979. PPP ini merupakan kekuatan paling menentukan
dalam MRD. Teriakan Sindu desh mencerminkan sikap bermusuhan
terhadap pemerintahan Zia yang mayoritasnya diborong tokoh
politisi dan militer asal Punjab, provinsi kelahiran Zia.
Harus diakui selama enam tahun masa pemerintahannya, Presiden
Zia Ul-Haq mencatat sukses di bidang pertanian. Dari negara
pengimpor padi-padian, dalam tempo kurang dari lima tahun
Pakistan berubah jadi pengekspor hasil pertanian.
Pembangunannya memang banyak tergantung pinjaman luar. Tapi
stabilitas dan penampilan rezim Zia tampak bisa dijadikan
jaminan untuk dapat pinjaman lebih besar, khususnya menghadapi
Repelita Pakistan Keenam. Tiga juta orang Pakistan yang bekerja
di negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah ternyata
menyumbang banyak untuk tingkat kemakmuran penduduk di
desa-desa. Sekarang pemerintah berusaha meninkatkan pelayanan
kesehatan, menambah jumlah penduduk yang melek huruf, dan
menyediakan alokasi kredit untuk si miskin sebesar 50% dari dana
pinjaman keseluruhan.
Segi-segi baik itu rupanya tidak terlihat oleh pihak oposisi.
Yang mereka rasakan adalah pukulan setelah mendengar pidato hari
kemerdekaan yang diucapkan Zia Ul-Haq 12 Agustus. Tanpa
menetapkan jadwal tertentu Zia berjanji akan menyelenggarakan
pemilihan Majelis Nasional dan mengakhiri UU Darurat dalam tempo
18 bulan mendatang.
Selain itu UUD yang dibekukan akan diberlakukan kembali, dengan
amandemen khusus yang memperkuat posisi presiden. Jenderal Zia
tetap presiden. Tapi wewenangnya nanti akan berbagi dengan
seorang perdana menteri. Perubahan UUD dimaksudkannya
semata-mata untuk melancarkan perjuangan ke arah pembentukan
negara Islam Pakistan. Zia juga berjanji, kelompok militer tidak
akan kebagian porsi dalam tata politik yang baru ini, namun
dipastikannya juga bahwa para perusuh tidak akan memperoleh
keringanan apa pun dalam tempo 18 bulan mendatang.
Ancaman Zia itu memang dibuktikannya. Para perusuh dijatuhi
hukum cambuk dan hukum penjara yang dibebani kerja paksa.
Tentara dengan gencar menangkapi pemimpin oposisi. Yang diciduk,
antara lain, N.D. Khan, Alamdar Haider, Ghulam Mustafa Jatoi,
Mohammad Amin Khattak, dan Ali Abbas Naqvi. Di Peshawar seorang
tokoh wanita terkemuka, Begum Nasim Wali Khan, juga dijebloskan
ke penjara berikut tiga puluh pengikutnya. Ini terjadi sehari
sebelum mereka melancarkan aksi protes terhadap Zia.
Hukum cambuk memang berhasil melembekkan semangat kaum perusuh.
Tapi Presiden Zia Ul-Haq bukan tidak terguncang. Jenderal itu
terpaksa membatalkan beberapa acara, minggu lampau, karena,
"hal-hal lain yang lebih mendesak", katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini