Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Aristyo Rizka Darmawan mengingatkan Presiden RI Prabowo Subianto untuk tetap berkonsultasi pada anak buahnya dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Saat ini, kinerja Prabowo dan Menteri Luar Negeri RI (Menlu) Sugiono banyak terbantu oleh tiga wakil menteri luar negeri, yakni Anis Matta, Arrmanatha Christiawan Nasir, dan Arif Havas Oegroseno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Aristyo, posisi Indonesia di dunia Islam akan banyak terbantu oleh peran Anis Matta. Dalam bidang maritim, Arif menjadi tokoh penting. Adapun Arrmanatha berperan dalam mengatur hubungan multilateral. Aristyo mengingatkan agar Prabowo selalu mempertimbangkan masukan sosok-sosok ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkenaan dengan itu, Aristyo mendorong agar Sugiono lebih berperan dalam diplomasi. Menurut dia, sosok menlu menjadi sentral dalam menentukan gagasan-gagasan utama kebijakan luar negeri. Meski begitu, Aristyo menilai tidak ada yang salah jika Prabowo ingin berperan lebih dominan daripada Sugiono. Sebab, menlu memang merupakan kepanjangan tangan dari presiden.
“Kalau menlu punya kebijakan sendiri, bertentangan dengan presiden, itu justru malah aneh," kata Aristyo kepada Tempo pada Rabu, 22 Januari 2025. Sebagai contoh, keputusan bergabungnya Indonesia sebagai anggota BRICS. Menurut Aristyo, langkah itu pada dasarnya merupakan pilihan Prabowo untuk menentukan kebijakan luar negeri Indonesia.
Walau demikian, Aristyo mengingatkan agar Prabowo bisa mempertanggungjawabkan pilihan itu. Dia menekankan bahwa Prabowo perlu memperhatikan langkahnya dalam menentukan kebijakan luar negeri agar sesuai dengan aturan hukum Indonesia.
“Ada hal yang harus dipertimbangkan, khususnya terkait hukum. Jangan sampai kebijakannya melanggar hukum,” ujarnya.
Aristyo juga menyoroti langkah blunder Prabowo soal Laut Cina Selatan. Menurut dia, kebijakan Indonesia atas kawasan tersebut menimbulkan kesan inkonsistensi. Dia menilai kesalahan Prabowo soal Laut Cina Selatan membuat Indonesia tak memiliki sikap yang jelas.
“Itu semua menjadi berantakan,” ucapnya.
Aristyo juga menilai penentuan arah kebijakan luar negeri harus terukur dan sesuai dengan kemampuan Indonesia. Dia berpendapat pemerintahan Prabowo mesti memilih isu-isu mana saja yang mampu dijangkau Indonesia. Sebab, tidak semua isu internasional bisa ditangani Indonesia.
Misalnya, isu internasional yang mampu dijangkau Indonesia ialah kemerdekaan Palestina karena Indonesia memiliki peran sentral sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia sekaligus anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Sebaliknya, sejumlah isu internasional yang belum mampu dijangkau Indonesia secara langsung ialah seperti konflik Iran-Arab Saudi, Korea Utara-Korea Selatan, dan Rusia-Ukraina.
Arah kebijakan luar negeri Indonesia secara detail dibahas dalam Majalah Tempo edisi khusus 100 hari kerja Presiden Prabowo yang terbit pekan ini. Dalam laporan “Politik Luar Negeri di Bawah Komandan Prabowo”, Tempo mengungkap adanya dominasi Presiden Prabowo Subianto atas kebijakan dan diplomasi politik luar negeri. Sebagai presiden, Prabowo memiliki kecenderungan untuk enggan didikte dalam pengambilan keputusan untuk urusan luar negeri. Keputusan yang Prabowo ambil tanpa kajian matang tak jarang membuat kegaduhan di dalam negeri dan dunia internasional.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini