RIUH rendah pemilihan umum di Nigeria, negeri paling kaya dan
berpenduduk paling padat di Afrika Hitam, usai sudah.
Pemerintah Lagos membelanjakan tidak kurang dari Rp 1 trilyun
untuk membiayai "pesta demokrasi" ini. Padahal keadaan ekonomi
negeri itu lumayan gawat.
Pemilihan umum yang diselenggarakan dua pekan lalu merupakan
pemungutan suara pertama yang diselenggarakan pemerintahan sipil
di Nigeria. Pemilihan umum sebelumnya, 1964, berakhir pada
kerusuhan nasional yang mendorong rezim militer naik panggung
serama 13 tahun. Baru pada 1979 kekuasaan diserahkan kembali ke
tangan sipil, dengan Shehu Shagari sebagai kepala negara.
Dalam pemilihan umum kemarin Shagari mengantungi 47% suara dari
25 juta pemilih. Ia dengan mudah mengalahkan lawan utamanya,
Obafemi Awolowo, dari Partai Persatuan Nigeria (UPN). Nnamdi
Azikiwe, calon ketiga dalam pemilihan umum yang diikuti enam
partai itu, mendapat suara lebih sedikit.
Selama 23 tahun merdeka, Nigeria tampil sebaai contoh unik di
tengah benua dengan "tradisi" kediktatoran militer dan sistem
negara berpartai tunggal. Negeri ini bahkan disebut-sebut
sebagai "negeri demokrasi terbesar keempat" -- setelah India,
Amerika Serikat, dan Jepang. Betapa tidak. Di Nigeria tidak ada
tahanan politik. Tahun lalu, Shagari bahkan memberi pengampunan
penuh kepada Odumegwu Ojukwu, pemimpin pemberontakan Biafra yang
mengobarkan perang sipil 1967-1970. Pulang dari pengasingannya
di Pantai Gading, Ojukwu langsung mendukung Partai Naslonal
Nlgeria (NPN) yang dipimpin Shagari.
Untuk Shagari kemenangan ini membuka masa jabatan kedua, dan
terakhir. Ia memang sungguh-sungguh berjuang selama masa
kampanye. Ketika pertama kali terpilih, 1979, bekas guru itu
bukanlah tokoh yang gemerlapan di pentas politik. Tapi ia cepat
belajar, dan meniru kepemimpinan model Amerika.
Ia segera memagari dirinya dengan sekawanan pembantu dan
penasihat -- sebagian besar didikan Amerika. Mereka ini lalu
melancarkan kampanye yang berbeda dari tradisi Afrika, tenang,
terkontrol, tidak dikacaubalaukan oleh caci maki politik.
Rapat-rapat umum NPN diselingi dengan musik dansa. Bahkan mereka
mengangkat lagu John Lennon, Give Peaee a Chance, sebagai lagu
kampanye.
Namun bisa dipastikan masa jabatan kedua ini bukanlah masa
berleha-leha bagi Shagari. Sejak tiga tahun silam Nigeria
terpukul oleh harga minyak yang jatuh. Pada 1980, negeri ini
masih menerima Rp 26 trilyun dari penjualan minyak. Tahun ini
angka itu diperkirakan hanya sekitar Rp 10 trilyun.
Dalam keadaan demikianlah Shagari menggalakkan pembangunan. Ia
selain merancang ibu kota baru yang megah dan mewah, di Abuja,
juga membangun beberapa ribu mil jalan raya baru, serta lalu
lintas di bawah tanah untuk Lagos.
Setelah kenaikan harga minyak, 1970, para petani berduyun-duyun
ke kota dan menikmati uang licin itu. Kini, sektor pertanian
hampir ambruk. Dari negeri pengekspor bahan pangan, Nieria
berubah menjadi negeri pengimpor. Shagari berusaha memugar
sektor agraria dengan program "Revolusi Hijau" yang memakan
biaya Rp 13,5 trilyun. Tapi hasilnya masih diragukan. Sementara
itu, angka pertambahan penduduk -- kini 83 juta -- naik 3,5%
setahun.
Saat ini inflasi hampir mencapai 20%, produksi minyak turun
hingga 1,3 juta barrel per hari, impor pangan naik, dan cadangan
dollar turun. Tak kalah penting, korupsi berkemban biak di
Nigeria. "Korupsi memang sudah ada di zaman pemerintahan
militer," ujar Jenderal Olusegun Obasanjo yang memimpin Nigeria
di tahun 1976-1979. "Tapi selama empat tahun pemerintahan sipil,
Rp 50 trilyun tak ketahuan ujung pangkalnya. Korupsi tampaknya
mulai melembaga." Shagari mengaku bahwa korupsi memang nyaris
tak tertanggulangi.
Sebagian besar rakyat Nigeria tampaknya sadar, dalam tahun-tahun
mendatang mereka akan lebih mengencangkan ikat pinggang. Dan
satu hal yang menarik, kaum militer tampaknya tidak berselera
mendongkel Shagari. "Pemerintahan sipil lebih baik untuk negeri
ini, juga untuk tentara," kata Jenderal Obasanjo. Dia
menambahkan bahwa tentara Nigeria adalah "orang-orang yang
paling berakal sehat."
Tapi kekerasan bukannya tidak menandai kampanye pemilihan umum
barusan. Sekitar 60 orang terbunuh, dan pemerintah menurunkan 90
ribu polisi untuk mengamankan negeri. Para kontestan dari pihak
oposisi melemparkan tuduhan pula ke alamat Shagari. Menurut
mereka, NPN bertanggung jawab terhadap sejumlah bentrokan dan
peledakan. "Kekerasan dibayar dengan kekerasan," seru Awolowo,
calon yang didukung oleh suku Yoruba yang Kristen.
Tapi Shagari, yang merebut pemilih dari suku Muslim Hausa dan
Fulani di bagian utara Nigeria, ternyata tetap tenang. "Marilah
bersaing dengan damai dan mematuhi aturan permainan," katanya
menjelang hari pemilihan. "Hanya dengan cara itu kita bisa
memelihara demokrasi." Seruan ini berhasil mengajak lima dari
enam kontestan menandatangani semacam "persetujuan perdamaian".
Namun kemenangan kali ini bukanlah sesuatu yang terlalu indah
untuk dinikmati terutama oleh Shagari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini