NYANYI dan tari tampak menyemarakkan bandar udara Harare,
Zimbabwe pekan lalu. Namun tak tampak wakil pemerintah,
petugas keamanan, maupun panitia penerima tamu. Padahal tokoh
yang ditunggu hari itu adalah Joshua Mqabuko Nyongolo Nkomo, 66
tahun, yang kerap disebut sebagai "Bapak Zimbabwe".
Membuang diri 160 hari di Inggris, tokoh oposisi dari Partai
ZAPU itu ternyata memenuhi janjinya. Ketika menginjakkan kaki di
bandar udara Heathrow, Inggris, Maret, Nkomo berkata kepada para
wartawan "Saya pasti pulang. Satu-satunya tempat bagi saya
adalah Zimbabwe."
Kisahnya bermula dari konflik antara Nkomo dan Robert Mugabe --
dua tokoh utama kemerdekaan Zimbabwe (dulu: Rhodesia). Tujuh
tahun lamanya kedua tokoh itu bahu membahu memimpin perang
gerilya melawan rezim kulit putih Rhodesia di bawah pimpinan Ian
Smith. Ketika kemerdekaan akhirnya tiba, 18 April 1980, Mugabe
memenangkan pemilihan umum dan duduk di kursi perdana menteri.
Nkomo hanya kebagian jabatan menteri negara tanpa portofolio.
Tapi tak bisa dipungkiri, segi etnis juga memainkan peranan
penting. Mugabe, pemimpin Partai ZANU, datang dari suku Shona,
yang meliputi 80% dari 7,3 juta penduduk Zimbabwe. Sedang Nkomo
berasal dari puak Ndebele, anak suku minoritas Matabele. Akar
konflik ini rupanya terbawa ke dalam Front Patriotik, tempat
ZANU dan ZAPU bernaung.
Letupan pertama terjadi Februari tahun lalu, tatkala Mugabe
memecat Nkomo sebagai menteri. Alasannya: di ladang Nkomo
ditemukan senjata yang cukup untuk membentuk sebuah angkatan
perang. "Pasti bakal digunakan mendongkel saya," seru Mugabe
ketika itu.
Nkomo membantah keras. "Senjata itu adalah sisa-sisa milik para
gerilyawan dari zaman perjuangan dulu," katanya Mugabe tak ambil
pusing. Ia membangkitkan demonstrasi di jalan-jalan Harare, dan
melancarkan operasi mengobrak-abrik pengikut Nkomo.
Dengan menurunkan Brigade ke-5, yang dilatih instruktur Korea
Utara, Mugabe menyapu Matabeleland, kampung halaman puak
Ndebele, di barat daya Zimbabwe. Ratusan penduduk sipil
terbunuh, hampir 2.000 orang dijebloskan ke dalam penjara. Nkomo
memprotes tindakan ini. Tapi tak dihiraukan Mugabe.
Brigade ke-5 kemudian bergerak ke pinggiran Bulawayo. Mereka
mencari "para pemberontak" dari rumah ke rumah. Tak ketinggalan
rumah Nkomo diacak-acak dan pembantunya dilukai. Nkomo sempat
lolos, dan dengan berkendaraan Land Rover menyeberangi
perbatasan masuk ke Bostwana, 8 Maret. Lima hari kemudian dengan
menumpang Fesawat British Airways pemimpin oposisl yang dijuluki
"gajah tua" itu tiba di London.
Mugabe, 55 tahun, mengaku tak pernah berniat mencelakakan Nkomo.
"Tak ada alasan saya untuk membunuh dia," ujarnya. Mendengar
ucapan ini, Nkomo, yang suka berpakaian hitam dan membawa
tongkat tradisional itu, hanya tersenyum. "Mulutnya memang
manis," kata Nkomo, "tapi anak buahnya hampir menyikat saya."
Sebagian pengamat memperkirakan, Mugabe membutuhkan dukungan
Nkomo justru untuk berkuasa lebih lama. Dengan kecenderungan
yang makin ke kiri, perdana menteri itu bukannya menambah cerah
keadaan ekonomi Zimbabwe. Defisit tahun lalu mencapai US$ 600
juta. Dan kebijaksanaan menaikkan pajak hanya menambah keresahan
belaka.
Mungkinkah Nkomo bekerja sama dengan Mugabe? "Sedangkan dengan
Ian Smith saya pernah bekerja sama, konon pula dengan Mugabe,"
ujar Nkomo yang kembali duduk di parlemen sehari setelah tiba di
Zimbabwe.
Josiah Chinamano, yang memimpin ZAPU semasa ditinggal Nkomo,
turut mengelu-elukan. "Partai tetap kuat meskipun Anda pergi,"
serunya. Laporan ini seperti isyarat konflik yang mungkin
meledak lagi. Bukankah Mugabe ingin menciptakan Zimbabwe dengan
satu partai, yang menurut Nkomo hakikatnya adalah "satu suku"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini