Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bersatu selagi gorbachev berkuasa

3 oktober 1990 kedua jerman bersatu. keceriaan muncul di berbagai pelosok. tingkat pedapatan penduduk timur jauh lebih rendah. tanah bukan lagi milik negara. bagian timur disubdisi. ada yang cemas.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK itu berlarian. Yang ~dari Barat ke Timur, yang dari ~ Timur ke Barat. Mereka bertemu di bekas Tembok Berlin, ramai dan penuh sorak. Lalu mereka bersama-sama menanam sebatang pohon, tak jauh dari nisan kayu yang sengaja dipatok di situ sekian tahun yang lalu -- menandai tempat tertembaknya seorang anak lelaki Jerman Timur ketika mencoba menyusup ke Barat. Setelah pohon tegak, Rabu pagi pekan lalu, mereka bukan lagi anak-anak Jerman Barat atau Jerman Timur. Tapi hanya Jerman. Beberapa jam sebelumnya, tepat pukul 0.00 waktu setempat, sejumlah anak muda membentangkan sebuah spanduk yang agaknya menunjukkan hasrat terpendam mereka selama ini: "Akhirnya bebas juga dari penderitaan." Jerman bersatu sudah, hari itu, 3 Oktober 1990, setelah lebih dari 40 tahun terbagi dua. Suatu pembagian yang membawa banyak akibat, tak cuma fisik tapi juga psikis, yang mesti diperhitungkan setelah Jerman bersatu kini, yang tak akan hapus hanya dalam semalam. Dalam arsip Stasi, polisi rahasia Jerman Timur, misalnya, tercatat sekitar enam juta rakyat Jerman Timur yang dicurigai, yang dicap sebagai kriminal -- dari soal keuangan sampai seks. Ketika rezim komunis tumbang, sasaran pertama massa adalah Markas Besar Stasi, yang terletak di Normanenstrase, Berlin Timur, guna mendapat arsip tentang diri mereka. Untung, arsip itu disimpan di tempat rahasia, dan hanya diketahui oleh orang-orang terbatas. "Sekali orang mengetahui siapa yang melaporkan dirinya, pembunuhan dan kekerasan tak terelakkan," kata Lothar de Maiziere, bekas PM Jerman Timur, dan sekarang menjadi menteri port-folio Jerman. Setelah Jerman bersatu, katanya, arsip-arsip Stasi tetap disimpan di Timur, di bawah pengawasan seorang pejabat yang ditunjuk Parlemen. Tidakkah itu akan membuat orang tetap mencoba mencari tahu apakah namanya ada di dalam arsip? Itulah yang dicemaskan banyak orang. Sebenarnya, tapal batas Barat dan Timur telah dibuka 11 bulan lalu, setelah Tembok Berlin dijebol, 9 November 1989. Dan sebuah kedai minuman di pojok Berlin Timur telah berani pasang nama Wodka Gorbatschov. Pun penjaga perbatasan dengan senjata dan anjing-anjingnya juga sudah tak terlihat. Tapi setelah hari penyatuan, orang Jerman Timur tampak masih waswas bila berhadapan dengan orang asing. Setidaknya, itu terjadi Rabu pekan lalu pada diri Tuan Horst Haase yang bersepeda sepanjang (bekas) Tembok, yang setelah lama berbicara dengan seorang wartawan Barat, baru menyadari bahwa ia berbicara terlalu pelan, dan sebentar-sebentar tengok kanan, tengok kiri. Kenapa? Ia tersenyum, dan katanya, "Saya tak tahu." Pekan lalu, Tembok sudah dijebol, kawat berduri beraliran listrik sudah dibuang, bendera sudah satu, tapi masih tak sulit membedakan orang Barat dan orang Timur. Setidaknya orang-orang Timur yang beramai-ramai piknik ke Barat mudah dikenali dari pakaian dan sepatu yang dikenakan: tak mencolok dan hampir seragam. Kegembiraan memang tampak di mana-mana. Tapi kecemasan juga terbaca dari wajah-wajah itu. "Pada bulan-bulan pertama pembukaan tapal batas, anggaran belanja kami naik lebih dari separuh," kata seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah toko di (bekas) Berlin Timur. Sebagian dari kenaikan anggaran itu, menurut pengakuannya, untuk memborong makanan -- daging, roti, bir, sampai yogur -- yang dulu sulit diperoleh di toko-toko di Timur. Setelah dua negeri benar-benar satu, ia khawatir anggaran rumah tangganya makin berat karena subsidi dicabut. Padahal, standar gaji di Barat dan di Timur, setelah nilai kedua mata uang disamakan, tak seimbang. Seorang guru sekolah dasar mengeluh, ternyata nilai gajinya hanya sepertiga dari gaji rekannya di Jerman Barat. Sementara itu, diakui oleh para ekonom Jerman sendiri, tak mudah mengatrol tingkat pendapatan penduduk (eks) Timur dalam waktu singkat. Perekonomian mereka nyaris lumpuh. Pabrik-pabrik banyak yang tutup. Saat ini, angka pengangguran diperkirakan dua juta dari sembilan juta angkatan kerja -- atau lebih dari 20~. Untuk menggelindingkan lagi roda perekonomian di bekas wilayah Timur itu, Kanselir Helmut Kohl, yang kini memimpin Jerman bersatu, mengimbau perusahaan-perusahaan multinasional menanamkan modal di wilayah itu. Imbauan itu belum disambut -- kebanyakan pengusaha masih menunggu perkembangan setelah unifikasi. Ada memang yang mereka cemaskan: siapa tahu, setelah pabrik berdiri, tanah yang dijadikan lokasi diklaim oleh pemilik aslinya (sebagian besar di antara tuan-tuan tanah itu berdiam di Jerman Barat, dan punya surat-surat kepemilikan yang lengkap). Inilah salah satu akibat dicampakkannya sistem sosialis: tanah bukan lagi milik negara. Seorang pengamat mengatakan, soal kepemilikan tanah di Timur belum tentu akan tuntas tahun depan. Hidup memang tak mudah di bawah rezim komunis. Tapi hidup belum tentu lebih baik setelah lambang bendera Timur -- padi dan kapas -- dihapuskan. Perusahaan mobil Jerman Timur, yang bersama Daimler (pabrik Mercedes Benz) memproduksi truk-truk IFA Lastktraft wagen, ditutup. Alasannya: pilihan warga Jerman Timur sebentar lagi akan beralih pada kendaraan buatan Jerman Barat yang lebih mulus. Sejumlah orang pun kehilangan pekerjaan. Tak cuma itu. Ibu Guru Marie Lui~se Schunter bingung karena kini belum punya peta Jerman bersatu di kelasnya. Rupanya, guru geografi itu memprioritaskan membeli bendera Jerman Barat, yang akhirnya adalah benderanya juga. Maka, untuk membeli peta, ia kekurangan dana. Lebih sedih lagi, ia menyadari bahwa murid-muridnya kalah ~esit dan kuran~g berani dibandingkan dengan siswa-siswa Jerman Barat. "Tapi saya optimistis," katanya. "Pada awal perubahan ini, segalanya memang terasa sulit." Satu lagi yang membuat Ibu Guru itu pusing: perbendaharaan kata di Timur dan Barat ternyata kini ada perbedaan. Ini mudah dipahami. Di Timur, istilah politik Rusia tentu saja menjadi istilah Jerman juga, misalnya cader yang tak ada dalam kamus Jerman Barat. Sebaliknya, istilah-istilah ekonomi baru yang datang dari bahasa Inggris, misalnya joint venture, tak ada di kamus Timur. Sudah diketahui, pihak Barat tak cuma menonton nasib saudara kembar mereka di Timur. Pemerintahan Kohl merencanakan subsidi 100 milyar mark untuk perbaikan infrastruktur, belanja pangan, dan sebagainya. Tahun depan, jumlah bantuan hampir dapat dipastikan meningkat lagi -- disebut-sebut berkisar antara 125 milyar dan 150 milyar mark. Perekonomian Jerman Timur diperkirakan baru mulai bergerak mantap pada 1995 itu pun bila hambatan di Timur cepat bisa diatasi. Hambatan itu, menurut penilaian pengusaha Barat, orang Timur adalah "anak-anak manja yang tak suka kerja keras," karena tak ditantang bersaing. Sedangkan pengusaha Barat, di mata orang Timur, adalah majikan-majikan keras kepala yang suka mengisap tenaga buruh. Namun, itu semua ternyata tak menghalangi penyatuan Jerman. "Kalau unifikasi tak dilakukan sekarang, entah kapan lagi kesempatan itu akan datang," kata Heiner Labonde, pejabat hubungan masyarakat partai Kesatuan Demokratik Kristen, partai yang berkuasa di Jerman, kepada TEMPO. "Siapa tahu, tiba-tiba orbachev jatuh dan kesempatan itu hilang." Bagi banyak orang Jerman, kesempatan lebih penting daripada mahalnya biaya penyatuan. Hasil pengumpulan pendapat massa tentang unifikasi yang dilakukan majalah terkemuka Der Spiegel, belum lama berselang, tampaknya mendukung hal itu. Hanya sekitar 29% responden menentang penyatuan, 67~% bisa ~menerima bahwa unifikasi membutuhkan pengorbanan. Pemerintahan Kohl memang belum secara terbuka bicara tentang mencari tambahan pendapatan negara, misalnya dengan menaikkan pajak. Yang sudah dilakukan adalah peninjauan kembali sejumlah subsidi untuk Berlin Barat, dan sejumlah bentuk bantuan lain, yang mencapai sekitar 13 milyar mark per tahun. Mengenai bantuan Jerman untuk negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, menurut Hasyim Jalal, Duta Besar Indonesia di Bonn, tak akan berkurang, tapi mungkin juga tak akan bertambah. Tapi, lepas dari beban dan kesulitan yang mesti diatasi Jerman bersatu, satu superkuat baru lahir sudah. Jerman bersatu kini berpenduduk 77,5 juta dengan kekuatan militer hampir 600 ribu tentara (direncanakan berangsur-angsur akan dikurangi jadi 370.000 dalam empat tahun). Dan ini, bagi sebagian orang atau bangsa (terutama keturunan Yahudi), seakan mengingatkan mereka sewaktu slogan Uber Alles dikumandangkan Adolf Hitler seten~gah abad lalu. Jerman di atas segala bangsa, dan akibatnya suatu teror dan horor yang tak mudah dilupakan. Kecemasan itu mungkin beralasan. Sudah sejak 2.000 tahun lalu, ketika orang Jerman masih disebut suku dan hidup di hutan dan rawa-rawa, mereka dikenal sebagai prajurit yang memang tangguh. Di abad ke-9, misalnya, mereka menyapu bersih tiga pasukan Romawi di hutan Teutoburg. Tapi kata Kohl, dalam Jerman bersatu, "Tak akan ada lagi nasionalisme unilateral dan Reich yang terus gelisah." Atau menurut Reinhardt Rummel -- dari hubungan Internasional di Institut Ilmu dan Politik di Ebenhausen (Jerman Barat) yang lahir pada 1944, orang Jerman kini berubah setelah mengalami akibat Perang Dunia II. Terutama orang-orang segenerasi dia, "merasakan secara pribadi konsekuensi perang dan totaliterianisme", yang dimulai oleh Hitler. Maka, bila ia mendukung unifikasi, itu bukan untuk membentuk satu kekuatan besar, tapi "sebagai cara untuk ikut bermain konstruktif dan penuh damai dalam Eropa haru yang dinamis". Kata Rummel, yang mesti berpisah dengan bapaknya yang ditawan oleh tentara Rusia, "Saya ingin memastikan bahwa anak perempuan saya tak akan mengulangi pengalaman saya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus