"Saya tak pernah melihat seorang Israel pun berdemonstrasi ketika terjadi pembantaian jutaan orang di Kamboja. Jadi mengapa menginginkan tiap orang terlibat kepentingan kami?" tulis Victor Ostrovsky. Maka buku itu membuat marah pemerintah Israel. Bukan saja rahasia Mossad, badan rahasia Israel, dikemukakan secara blak-blakan, juga diungkapkan Mossad ternyata tak bisa dikontrol oleh siapa pun atau lembaga apa pun di Israel. Mossadlah sebenarnya yang menjegal berbagai upaya damai Arafat dan Amerika, mempersenjatai orang Yahudi di AS, Eropa, dan Amerika Latin, dan membantu perdagangan narkotik untuk memperoleh uang. Idealisme badan intelijen dipeluntir, semuanya dilaksanakan demi diri sendiri dengan rakus dan sepenuhnya tanpa menghargai manusia -- itulah yang ditemui perwira intelijen Mossad itu, yang mendorongnya mengungkapkan liku-liku gelap Mossad dalam sebuah buku. By Way of Deception The Making and Unmaking of Mossad Officer Oleh: Victor Ostrovsky dan Claire Hoy St, Martin's Press, New York, 1990 K~~etika menghadiri pertemuan di pang~kalan Shalishut, saya diantar masuk ke ~sebuah kantor kecil. Di dalam, ada seorang yang tak dikenal duduk di muka mejatulis dengan beberapa lembar kertas di mukanya. "Saya mendapat nama Anda dari komputer," katanya. "Anda memenuhi persyaratan kami. Kami tahu Anda pernah mengabdi negara. Tapi, ada cara lain supaya Anda mengabdi dengan lebih baik. Anda tertarik ?" "Oh, tentu saja, saya tertarik. Tapi, kegiatannya macam apa dulu?" "Pertama-tama Anda harus menempuh beberapa tes dulu untuk melihat apakah Anda cocok. Kami akan menghubungi Anda." Dua hari kemudian, saya dipanggil menghadap ke sebuah apartemen di Herzlia untuk hadir dalam pertemuan pukul 8 pagi. Saya kaget juga ketika ternyata yang membukakan pintu si Psikolog Angkatan Laut. Mereka telah melakukan kesalahan dengan cara itu. Ia mengaku melakukan pekerjaan itu untuk sebuah kelompok sekuriti, dan saya tak boleh mengatakan apa-apa tentang pangkalan itu. Saya jawab oke-oke saja. Untuk empat jam selanjutnya, saya harus menempuh pelbagai tes psikiatri: mulai dari bloboran tinta sampai pertanyaan-pertanyaan terinci tentang apa yang saya rasakan dalam imajinasi-imajinasi saya. Sepekan kemudian, saya diminta datang untuk suatu pertemuan di bagian utara Kota Tel Aviv, dekat Bait Nahayal. Saya ceritakan itu kepada istri saya. Kami mulai merasakan bahwa semuanya itu ada hubungannya dengan Mossad. Dengan menjadi dewasa di Israel, orang pasti sadar itu. Lagi pula, siapa lagi kalau bukan Mossad? Itu yang pertama dari serentetan pertemuan kemudian dengan seorang lelaki yang hanya mengatakan namanya sebagai Ygai. Diikuti dengan pertemuan-pertemuan berikut yang berlangsung lama di Scala Cafe, Tel Aviv. Ia terus saja mengatakan kepada saya pentingnya pertemuan-pertemuan itu. Saya harus mengisi ratusan formulir, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apabila membunuh seseorang demi kepentingan negerimu, apakah Anda merasa sebagai suatu tindakan negatif? Apakah Anda menganggap kebebasan itu penting? Apakah ada yang lebih penting ketimbang kebebasan?" Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Karena saya sadar itu untuk Mossad, jawaban-jawaban yang mereka inginkan tentu sudah jelas dan bisa ditebak. Saya ingin lulus. Waktu berjalan terus, pertemuan-pertemuan itu diselenggarakan setiap tiga hari, selama empat bulan. Saya masih belum diberi tahu dengan jelas tugas yang akan saya lakukan. Tapi kemudian jelas, saya telah dipersiapkan untuk kidon, unit pembunuhan departemen Metsada. Metsada, yang sekarang diberi nama Komemi~ute, adalah bagian yang diberi tugas tempur. Waktu itu, saya masih belum tahu apa tujuan hidup saya. Pada 1981, saya keluar dari angkatan laut, setelah bertugas di Libanon, pada saat perang baru saja mulai. Sebagai artis grafis yang cukup berhasil, saya memutuskan untuk membuka usaha sendiri dengan membuat jendelajendela kaca bergambar. Saya mencobanya. Tapi kemudian saya sadar bahwa jendela seperti itu belum populer di Israel. Sebagian lantaran itu mengingatkan orang pada gereja. Tak ada yang berminat membelinya, meskipun ada yang membuatnya. Kemudian saya mengubah toko kerja saya menjadi sekolah. Pada Oktober 1982, saya menerima kawat untuk menghubungi sebuah nomor telepon pada Kamis antara pukul 09.00 dan 19.00. Saya diminta menghubungi Deborah. Segera saja saya lakukan. Mereka memberikan alamat di lantai utama Gedung Hadar Dafna, sebuah perkantoran di Jalan Raya Raja Saul. Kemudian saya tahu bahwa itu gedung markas Mossad-bangunan dengan tembok telanjang abu-abu yang begitu populer di Israel. Saya berjalan ke arah lobi. Di sebelah kanan ada bank, dan di sebuah dinding di ujung kiri jalan masuk, terpampang sebuah papan kecil tak mencolok: "Biro Rekrutmen Badan Sekuriti". Karena terlalu bersemangat, saya tiba satu jam lebih awal. Saya masuk ke kafetaria di lantai II yang terbuka untuk umum. Di sayap itu ada beberapa kantor bisnis, hingga kesannya biasa saja. Saya makan roti keju panggang. Ketika waktunya tiba, saya turun ke bawah, masuk ke kantor yang dimaksud dan kemudian dibawa ke sebuah ruangan kecil. Di sana ada sebuah meja tulis besar berwarna muda. Tak banyak perabotan di ruangan itu. Di atas mejaada kotak surat, telepon, dan sebuah cermin yang tergantung di dinding. Tergantung juga sebuah potret wajah yang rasa saya kenal, tapi entah siapa. Orang yang kelihatannya sopan di meja tulis itu membuka sebuah map. "Kami sedang mencari orang. Tujuan utama kami adalah menyelamatkan seluruh bangsa Yahudi di dunia. Kami pikir Anda cocok. Bekerja di sini bagaikan di tengah keluarga. Kerja keras dan bisa juga berbahaya. Tapi saya tak bisa mengatakan lebih banyak sampai Anda melalui berbagai tes," katanya. Lalu menambahkan, setiap sebuah tes selesai, mereka akan menghubungi. Satu tes saja gagal, saya tak lulus. Kalau lulus, saya akan diberi tahu tentang rincian tes berikutnya. "Kalau Anda gagal atau putus pendidikan, Anda tak boleh lagi mengontak kami. Tak ada proses peninjauan kembali. Kami memutuskan segalanya dan itulah. Apakah ini Anda mengerti?" "Ya." "Baiklah. Dua pekan dari sekarang, saya minta Anda datang ke sini pukul 09.00 dan kita akan mulai dengan tes." "Apa itu berarti bahwa saya akan banyak berpisah dengan keluarga?" "Tidak." "Baik. Saya akan ada di sini lagi dalam dua minggu" Pada hari yang telah ditentukan, saya diantar masuk ke sebuah ruangan besar. Di sana sudah berkumpul sembilan orang lain yang duduk menghadapi bangku-bangku seperti di sekolah. Setiap orang mendapat kuesioner setebal 30 halaman yang berisikan pertanyaan-pertanyaan pribadi. Ada bermacam tes yang dibuat khusus untuk mengetahui siapa kita dan apa yang ada dalam pikiran kita. Begitu selesai mengisinya, kami diberi tahu, "Kami akan menghubungi kalian." Sepekan kemudian, saya dipanggil lagi untuk satu pertemuan dengan seseorang. Ia mengetes bahasa Inggris saya, yang diucapkan tanpa aksen Israel. Ia mencecer saya tentang beberapa istilah slang. Ia juga banyak menanyakan tentang kota-kota di Kanada dan Amerika, siapa presiden Amerika, dan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Pertemuan-pertemuan semacam itu terus berlangsung untuk tiga bulan selanjutmya. Diadakan di kantor yang ada di kota itu Kesehatan saya diperiksa lagi, tapi kali ini tidak sendirian. Para calon selalu diberi tahu untuk tak mengatakan apa pun tentang dirinya sendiri kepada calon lain. Setelah beberapa pertemuan berikut, pewawancara saya, Uzi Nakdimon, mengatakan bahwa saya lulus, kecuali tes terakhir. Tapi, sebelum itu, mereka ingin bertemu dulu dengan Bella. Pertemuan dengan Bella berlangsung selama enam jam. Uzi menanyakan kepadanya tentang segala macam hal: latar belakang politik, orangtuanya, kekuatan dan kelemahannya, ditambah dengan pemeriksaan sangat detil mengenai pendiriannya tentang negara Israel dan peranannya di dunia. Psikiater yang bekerja di kantor Mossad juga hadir dalam wawancara itu, walaupun hanya sebagai pendengar. Tak lama kemudian, Uzi menelepon saya lagi dan menyuruh datang pada Senin pukul 7 pagi. Saya harus membawa dua kopor berisi segala macam pakaian, mulai dari jin sampai setelan jas. Itu akan merupakan tes final yang berlangsung selama tiga atau empat hari. Lalu dijelaskannya bahwa program itu akan berlangsung selama dua tahun latihan dengan gaji satu tingkat lebih tinggi ketimbang gaji militer yang saya terima. Saya pikir, boleh juga. Waktu itu, pangkat saya dalam tentara adalah letnan kolonel. Artinya, gaji saya akan sama dengan pendapatan seorang kolonel. Saya jadi penuh semangat, karena itu berarti saya orang istimewa. Tapi kemudian saya sadar, ribuan orang telah diwawancarai. Mereka menyelenggarakan latihan setiap tiga tahun atau lebih. Biasanya, ada 15 orang dalam satu angkatan. Kadang-kadang semuanya lulus dan adakalanya semua gagal. Konon, setiap menerima 15 calon untuk latihan, mereka harus mewawancarai sekitar lima ribu orang. Mereka memilih orang yang cocok, bukan yang terbaik. Bedanya besar sekali. Kebanyakan yang melakukan rekruiting adalah orang-orang lapangan yang mencari orang yang punya bakat sangat spesifik. Tapi, mereka tak pernah mengatakan itu secara terang-terangan. ~Mereka membiarkan kami berpikir bahwa kami adalah orang-orang istimewa. Beberapa hari sebelum waktu yang ditentukan, seorang kurir menyerahkan surat ke rumah. Sekali lagi surat itu menyebut tentang lokasi dan tempat yang telah ditentukan plus perlengkapan pakaian untuk berbagai penampilan. Saya juga diberi tahu untuk tidak menggunakan nama asli. Saya diminta menulis nama samaran pada selembar kertas terlampir, ditambah dengan latar belakang untuk identitas baru. Saya memilih nama Simon Lahav. Nama ayah saya adalah Simon. Kemudian saya tahu, nama Ostrovsky dalam bahasa Rusia atau Polandia berarti pedang tajam. Dalam bahasa Yahudi, lahav berarti pedang. Saya katakan bekerja sebagai desainer grafik bebas. Saya gunakan bidang keahlian saya tanpa menghubungkan nama asli saya dengan pekerjaan itu. Untuk alamat saya tulis Holon, padahal itu cuma lapangan pasir kosong Tiga Jam ~Paling Berat Kesepuluh kami mulai memperkenal~kan diri masing-masing dengan meng~gunakan cerita palsu. Sementara orang lain mulai mengajukan pertanyaan. Para pengetes setiap kali duduk di belakang kami dan juga mengajukan pertanyaan. Saya merasa sangat bebas dengan cerita saya. Saya tak mau mengatakan bekerja untuk perusahaan anu, lantaran takut kalau ada yang tahu tentang perusahaan tersebut. Saya katakan punya dua anak, walaupun saya katakan keduanya laki-laki karena tak diizinkan menguakkan fakta-fakta terlalu detil. Tapi saya menginginkan agar dekat dengan cerita hidup saya sebenarnya. Mudah sekali. Saya tak merasakan tekanan. Itu bagaikan mainan yang saya senangi. Latihan itu berlangsung selama tiga jam. Pada suatu saat, ketika mengajukan pertanyaan, seorang pengetes memiringkan badan ke arah saya dari belakang sambil memegang buku catatannya. "Maaf, siapa nama Anda?" Hal-hal kecil seperti itu untuk mengecek konsentrasi kita, dan untuk itu kita harus selalu siaga. Ketika kelas itu selesai, kami diperintahkan kembali ke kamar dan berganti baju dengan pakaian bepergian. "Kalian akan pergi ke kota." Kami dibagi-bagi dalam kelompok yang terdiri dar~i tiga orang. Setiap grup dibawa oleh dua pelatih mengendarai mobil. Begitu sampai di Tel Aviv, dua orang pelatih lagi menemui kami di sudut Jalan Raya Raja Saul dan Ibn Gevirol. Waktunya sekitar pukul 4.30 sore. Salah satu pelatih membalik kepada saya dan berkata, "Anda lihat balkon di tingkat III rumah itu? Berdirilah di sini untuk tiga menit lamanya dan berpikir. Kemudian saya mau agar kau masuk gedung tersebut dan, dalam waktu enam menit, berdiri di balkon itu bersama dengan pemiliknya sambil memegang segelas air." Sekarang baru saya takut. Kami tak punya KTP, dan di Israel, tak membawa KTP berarti melanggar hukum. Kami hanya boleh menggunakan nama samaran, apa pun kejadiannya. Kami diperintahkan: Kalau terpaksa berurusan dengan polisi, kami hanya boleh menggunakan nama dan cerita palsu kami. Jadi, apa yang harus dilakukan? Problem pertama adalah menentukan dulu masuk ke gedung yang mana. Setelah berpikir, akhirnya saya katakan kepada instruktur bahwa saya siap. "Apa garis besar rencanamu?" ia bertanya. "Kira-kira, saya akan membuat film." Walaupun pada dasarnya mereka menginginkan aksi yang spontan, para instruktur mau agar kami punya rencana dan bukan lillahi Taala, atau serahkan saja pada Tuhan. Segera saja saya masuk ke dalam gedung, menghitung nomor apartemen mulai dari bawah agar masuk ke rumah yang dimaksud. Seorang wanita berusia 65 tahun membukakan pintu, setelah saya ketuk. "Hallo," kata saya dalam bahasa Yahudi. "Nama saya Simon. Saya dari kementerian perhubungan. Anda tahu, di perempatan di bawah itu sering terjadi kecelakaan." Lalu saya berhenti untuk melihat reaksinya. "Ya, ya, saya tahu," katanya. Kalau melihat bagaimana caranya orang Israel mengendarai mobil, bisa ditebak bahwa di banyak perempatan selalu banyak terjadi kecelakaan. Jadi, asumsi saya benar-benar jitu. "Kalau bisa, kami ingin menyewa balkon Anda." "Apa? Menyewa balkon saya?" "Benar, kami ingin membuat film perempatan itu dari sini. Tak akan ada orang di sini. Kami hanya akan menempatkan kamera. Dapatkah saya melihat kalau ~~angelnya cocok? Ah, pas betul, apakah 500 pon sebulan cukup?" "Oh, tentu saja," katanya sambil membawa saya ke arah balkon. "Ah, maaf kalau saya merepotkan. Bolehkah saya mendapat segelas air? Panas sekali hari ini." Tak lama kemudian, kami berdua berdiri berdampingan di balkon sambil melihat ke bawah ke arah jalan. Saya merasa girang. Saya melihat orang menyaksikan kami. Saya mengangkat gelas ke arah mereka. Saya mencatat nama dan nomor telepon wanita tua itu sambil mengatakan bahwa masih ada beberapa tempat lain yang harus dicek. Kami berjanji akan menghubunginya kalau tempatnya terpilih. Salah satu dari kami mendapat tugas lain lagi. Ia pergi ke tempat pengambilan uang otomatik dan harus meminjam uang senilai 10 dolar dari siapa saja yang sedang menggunakan mesin tersebut di sana. Ia mengatakan kepada seseorang bahwa ia memerlukan taksi, lantaran istrinya melahirkan di rumah sakit. Ia tak membawa uang dan minta tolong untuk dipinjami. Dicatatnya nama dam alamat penolong itu dan berjanji akan mengirim pinjamannya. Ia berhasil. Siswa ketiga dalam kelompok saya tak begitu beruntung. Ia diperintahkan untuk tampil di balkon apartemen lain. Yang pertama-tama dilakukannya adalah naik ke sana lewat atap, dengan alasan mengecek antena televisi. Malang baginya, si penghuni itu kebetulan bekerja di perusahaan antena. "Omong kosong," kata orang itu, "tak ada yang salah dengan antena itu." Si siswa terpaksa cepat-cepat menyingkir karena kemudian orang itu mengancam memanggil polisi. Setelah latihan itu, kami dibawa ke Jalan Hayarkon, jalan utama sepanjang pantai Laut Tengah, tempat hotel-hotel utama. Saya dibawa ke lobi Hotel Sheraton dan diajak duduk. "Anda lihat Hotel Basel yang ada di seberang jalan itu?" kata salah seorang pelatih. "Saya mau kau masuk ke sana dan dapatkan nama ~ke~tiga dari atas ~dalam daftar tamu." Di Israel, buku tamu hotel disimpan di bawah konter, dianggap sebagai salah satu barang yang konfidensial atau setengah rahasia. Hari sudah mulai gelap ketika saya menyeberang, tak tahu cara apa yang akan saya pakai kali ini. Saya tahu ada yang melindungi dan saya sadar itu hanya permainan. Saya ingin berhasil walaupun saya tahu tugas itu peker~jaan yang tolol. Saya putuskan untuk ngomong Inggris saja lantaran di Israel, dengan berbahasa Inggris, kita akan diperlakukan lebih ramah, karena disangka turis. Sela~gi mendekati konter saya ingat banyolan lama bagaimana menelepon seseorang dan menanyakan kalau Dave ada di sana. Kita meneleponnya dan mengajukan pertanyaan itu-itu ~juga, sampai si penerima marah dan kemudian menyadari itu salah nomor. Karena itu, lalu saya katakan, "Hai, saya Dave. Adakah pesan untuk saya?" Petugas itu memandang saya dan menanyakan, "Apakah Anda tamu?" "Bukan, bukan. Tapi saya berjanji untuk bertemu dengan seseorang di sini." Petugas itu menjawab, tak ada pesan, dan karenanya saya duduk lagi di lobi. Setelah sekitar setengah jam dan terus-menerus melihat ke jam tangan, saya kembali lagi ke konter. "Mungkin ia sudah di sini lebih dulu dan saya tak berhasil menemuinya," kata saya. "Siapa namanya?" kata petugas itu lagi. Saya menyebut nama setengah menggerutu dan kedengaran seperti "Kamalunke". Petugas itu mengambil buku tamu dan mulai mencari di dalamnya. "Bagaimana mengejanya?" "Saya tak yakin. Dengan C atau dengan K," kata saya sambil memiringkan badan ke depan ke arah buku tamu untuk mengintip nama ketiga dari atas. Kemudian, seperti sadar akan kekeliruan saya, saya berkata, "Oh ini Hotel Basel. Saya kira Hotel City. Maaf atas kebodohan saya." Sekali lagi saya puas. Kemudian saya bertanya-tanya dalam hati: bagaimana si pelatih tahu bahwa nama yang saya berikan itu memang nama yang dimintanya. Tapi, di Israel, Mossad punya saluran untuk melihat atau mendapatkan apa pun. Tugas berikut adalah tes terakhir untuk hari itu. Pelatih memberi saya sebuah pengeras suara, telepon dengan dua kabel tersambung padanya. Alat itu ada nomor serinya untuk keperluan identifikasi. Ia menyuruh saya masuk ke Hotel Tal, cari telepon umum di lobi, membuka speakernya dan menggantikannya dengan alat pengeras itu. Tapi, telepon itu harus tetap bekerja seperti biasa. Di muka telepon, sudah banyak orang antre. Tapi saya harus berhasil. Ketika giliran saya datang, saya memasukkan karcis telepon ke dalam slotnya dan memutar sembarang nomor, lalu mengangkat gagangnya ke dekat pipi. Lutut saya bergetar, karena orang sudah antre di belakang untuk menggunakan telepon tersebut. Saya memutar lobang bicaranya dan mengeluarkan buku catatan dari kantung. Kemudian saya melakukan gerakan untuk mengalihkan perhatian seolah-olah akan mencatat. Saya menimang-nimang gagang telepon tersebut di antara bahu dan dagu sambil ngomong Inggris. Lelaki di belakang saya berdiri rapat ke badan saya sehingga saya dapat merasakan dengus napasnya. Saya letakkan buku catatan dan berputar ke arahnya sambil mengatakan, "Maaf." Selagi ia menjauh, saya memasang pengeras suara titipan pelatih itu ke telepon. Gagang telepon itu saya letakkan kembali ketika dari nomor asal-asalan yang saya putar terdengar pertanyaan, "Siapa ini?" Hati saya berdebar ketika menaruh pengeras suara dari telepon itu dalam saku. Sebelum itu, saya tak pernah mencuri. Ketika menyerahkan alat pengeras suara telepon itu kepada pelatih, rasanya badan lemas. Malam itu, kami harus menulis laporan tentang hal-hal yang kami kerjakan siang harinya. Sekitar tengah malam, saya bersama teman sekamar merasa lelah ketika melihat acara televisi. Tapi tiba-tiba salah satu pelatih mengetuk pintu. Ia menyuruh saya memakai jin dan ikut dengannya. Ia membawa saya dengan mobil ke dekat sebuah perkebunan apel. Ia bilang, mungkin malam itu ada beberapa orang yang akan mengadakan rapat. Dari jauh terdengar suara ajag di tengah-tengah bunyi jangkrik. "Saya akan tunjukkan di mana," katanya. "Yang ingin saya ketahui, berapa orang yang hadir dan apa yang dibicarakan mereka. Saya akan menjemputmu dalam dua atau tiga jam." "Baik," jawab saya. Ia membawa saya berjalan sepanjang jalan kerikil menuju sebuah wadi (sungai yang hanya berair di musim penghujan). Air sedikit sekali di sana, tapi ada sebuah pipa beton berdiameter 2,5 kaki, terkubur di bawah jalan. Ia menunjuk ke arah pipa dan mengatakan, "Nah, di sana tempat yang baik untuk bersembunyi. Di situ ada setumpuk koran-koran bekas yang bisa digunakan untuk menyembunyikanmu." Itulah tes paling berat untuk saya. Saya punya penyakit klausterfobia (merasa tak suka akan ruang kecil tertutup) dan mereka pasti mengetahui hal itu dari tes-tes psikologi. Saya juga tak suka binatang merangkak, seperti kecoa, tikus, dan cacing. Saya juga tak suka lumpur lembek. Itu tiga jam yang paling panjang dan melelahkan dalam hidup saya. Tentu saja tak ada yang datang, tak ada pertemuan. Saya berusaha untuk tidak jatuh tertidur. Akhirnya si pelatih datang. "Saya ingin laporan lengkap tentang pertemuan itu," katanya. "Tak ada seorang pun di sini," jawab saya. "Apakah Anda yakin?" "Ya." "Mungkin Anda tertidur." "Tidak." "Tapi tadi saya lewat di sini." "Mestinya Anda lewat ke tempat lain, bukan di sini." Dalam perjalanan pulang, saya diminta untuk tak membicarakan soal itu. A Dahana. S~~~~ekolah Pintar Para Berandalan Untuk enam minggu berikutnya, tiap hari selama satu sampai dua jam, kelas diajar oleh Profesor Arnon. Mata pelajaran kehidupan sehari-hari dalam agama Islam itu antara lain membahas sejarah dan kebiasaan, hari-hari libur, apa saja yang diwajibkan dan diharamkan para penganut Islam. Pendeknya, apa saja yang bisa menggambarkan kehidupan dan perilaku pihak musuh itu. Pada akhir pelajaran, kami diwajibkan menulis paper tentang konflik di Timur Tengah. Kemudian kami diberi pelajaran soal bodlim (jamak dari kata bodel). Yakni orang-orang yang beroperasi sebagai pembawa pesan, antara markas (safe hause) dan kedutaan-kedutaan besar, atau antar-sesama markas. Tempat latihan utama bagi seorang bodel, yakni di APAM. Antara lain dilatih untuk mengetahui apakah ia dikuntit orang atau tidak, serta cara membawa pesan dalam amplop dan paket diplomatik. Pembawa pesan diplomatik memiliki kekebalan diplomatik. Tugas utama mereka membawa dokumen ke para katsa dan untuk membawa laporan kembali ke kedutaan besar. Para katsa tidak selalu diizinkan memasuki kedutaan besar Israel, tergantung sifat tugas mereka. Para bodlim biasanya pemuda pertengahan 20 tahunan, yang bertugas sekitar dua tahun. Biasanya mereka mahasiswa Israel yang pernah bertugas di pasukan tempur, karena itu bisa diandalkan. Mereka bertugas sambil tetap kuliah biasa seperti mahasiswa lain. Mereka sering dianggap sebagai petugas tingkat rendah di markas, namun bukan tugas buruk buat seorang mahasiswa. Latihan selanjutnya disebut kopi melibatkan kelompok terdiri dari tiga anggota. Yosi, Arik, saya, dengan Shai Kauly sebagai instruktur. Kami pergi ke sebuah hotel di Jalan Hayarkon, lalu duduk di kedai kopi, di lobi hotel. Kami masing-masing punya paspor dan laporan utama berbeda. Kauly memerintahkan kami untuk melakukan kontak dengan siapa pun yang kami pilih. Sesekali mereka yang dihubungi merupakan mata-mata (plants), kadang-kadang bukan. Tapi tujuannya mencari informasi sebanyak-banyaknya dan membuat perjanjian pertemuan selanjutnya. Saya bertemu dengan seorang reporter koran Afrique-Asie, melalui perkenalan klasik: meminta api untuk rokok. Lalu berlanjut dengan percakapan. Ia ternyata~ seorang plant, seorang katsa yang meliput konvensi PLO di Tunis. Ia menulis beberapa artikel untuk korannya, selain bertugas sebagai agen. Seperti biasa, setelah latihan, kami diwajibkan menulis laporan lengkap tentang bagaimana kami membuat kontak. Seperti latihan lainnya dalam kursus, hal ini dilakukan berulang-ulang. Jadwal kami sangat ketat. Meskipun masih dalam masa latihan, kini kami mulai menggabungkan semuanya, sampai pada tujuan mencari seseorang untuk beroperasi. Pendeknya, sampai pada tahap di mana percakapan tak bisa dimulai tanpa menyiapkan perangkap. Saat Anda mengucapkan kata "halo", Anda sudah menanamkan perangkap itu. Biasanya, lebih baik berakting seperti orang kaya. Tapi jangan terlalu spesifik, dan jangan terlalu berlebihan, kalau tidak bisa, kelihatannya seperti penjahat. Kursus ini kenyataannya merupakan sebuah sekolah pintar untuk para berandalan -- sekolah yang mengajar orang untuk menjadi artis penjahat untuk kepentingan negaranya. Salah satu masalah, setelah latihan, buat saya misalnya, setelah membuat diri seperti seorang pengusaha kaya, bagaimana kembali ke dunia nyata. Tiba-tiba saya tidak lagi kaya, saya cuma pegawai kecil, pegawai negeri, bekerja di departemen penting dan yang harus menulis laporan. Kadang-kadang terjadi hal-hal yang rumit dikopi. Beberapa kadet tak mau mengatakan apa yang terjadi, dengan pikiran bahwa sasaran mereka toh bukan kalangan dalam. Seorang rekan, Yoade Avnets, mengingatkan kami pada burung "oy-oy" atau "ouch-ouch". Jenis burung yang tidak pintar tapi memiliki bola besar, yang bergelantungan di kedua kakinya, setiap kali mendarat, berbunyi "ouch-ouch". Tiap kali Yoade melakukan kopi, ia menceritakan kisah fantastis -- kecuali bila bersama para insider. Ia melakukannya terus-menerus, sampai suatu pagi di saat istirahat, Shai Kauly masuk dan memanggilnya. "Ya". "Kemas koper kamu dan pergi dari sini." "Apa!" ujar Avnets, tangannya masih menggenggam roti yang baru separo dimakan. "Mengapa?" "Ingat latihan kemarin? Itu merupakan tali yang menjerat leher sang unta." Rupanya, Avnets melakukan suatu pendekatan dengan taktik minta izin duduk bersama. Orang yang dituju mengiyakan, namun Avnets, yang sudah duduk bersama, tak pernah membuka mulutnya lagi. Padahal ia menulis laporan percakapan yang sangat hidup. Bungkam dalam kasus itu tentu saja bukan sikap baik, dan karier Avnets segera berhenti di situ saja. Ada pelajaran di kelas yang dikenal dengan nama latihan "da", atau mengetahui. Ini mencakup pembuatan analisa mendetail tentang topik-topik hangat dalam masyarakat. Itu merupakan beban lagi bagi kami, namun mereka ingin agar kami menyadari apa yang terjadi dalam masyarakat. Maksudnya, agar tidak terputus dari dunia luar. Itu sama juga dengan melatih kami berbicara di muka umum dan memaksa kami membaca surat kabar setiap hari. Jika seseorang mengetengahkan suatu masalah, kami dapat menunjukkan bahwa kami juga mengetahui mengenai masalah itu. Dan mungkin, jika beruntung, kami bisa membuktikan bahwa cerita~ mereka salah. Tak lama kemudian, kami sampai pada tahap apa yang disebut latihan "hijau" -- kegiatan dalam berhubungan, yang didisain untuk membentuk pendekatan khusus pada suatu masalah. Seandainya kami mengetahui adanya suatu ancaman, suatu ancaman PAHA terhadap suatu instalasi di dalam negeri. Menemukan cara bagaimana menganalisa dan menilai ancaman itu sering menjadi diskusi yang hangat. Pada dasarnya, bila ancaman ditujukan pada instalasi lokal yang tak ada kaitannya dengan Israel, dan Anda dapat membocorkan rahasia tanpa membahayakan sumber Anda, Anda dapat mengirim informasi kepada pihak-pihak yang relevan -- biasanya melalui telepon tak bernama -- atau langsung pada pejabat. Anda juga dapat membocorkan rahasia, dengan menyebut identitas, agar mereka berutang budi dan membalas jasa di kemudian hari. Tapi, jika sasaran mereka Israel, Anda harus menggunakan segala cara untuk mencegahnya. Bahkan tidak peduli jika itu harus membuka kedok sumber Anda. Bila Anda harus membakar seorang agen di sebuah negara, misalnya, target dalam upaya melindungi instalasi Anda di negara basis, Anda harus melaksanakannya. Itulah pengorbanan yang harus Anda berikan. Seluruh negara Arab merupakan "negara sasaran", sedangkan markas Mossad itu, di mana pun, disebut "negara basis". Jika sasaran itu diri Anda sendiri dan Anda harus membahayakan sumber, Anda harus meninggalkannya. Itu bukan urusan Mossad lagi. Paling-paling yang bisa dilakukan cuma memberi peringatan samar-samar bahwa mereka harus mengamati jika terjadi sesuatu. Sikap itu terukir ke dalam pikiran kami. Kami harus melakukan yang terbaik untuk diri kami dan memasabodohkan orang lain, karena mereka tak akan menolong kami. Semakin Anda condong ke Kanan di Israel, makin sering Anda mendengar soal itu. Di Israel, bila Anda secara politis berdiri sendiri, otomatis Anda jadi beralih ke Kiri karena sekarang, tampaknya, seluruh negara sudah bergerak ke Kanan. Anda tahu apa yang dikatakan seorang warga Israel? "Jika mereka membakar kami di PD II, orang harus membantu, jika mereka tidak membantu, berarti mereka mengabaikan kami" Tapi saya tak pernah melihat seorang pun di Israel berdemonstrasi saat terjadi pembantaian jutaan manusia di Kamboja. Jadi, mengapa mengharapkan tiap orang terlibat untuk kepentingan kami? Apakah kenyataan bahwa bangsa Yahudi sudah pernah menderita memberi hak pada kami untuk menghunjam kepedihan dan kesengsaraan pada orang/bangsa lain ? FS Menggagalkan Upaya Damai Arafat ~DEKAT sebelum 7 Juni 1981 Israel ~melakukan hal yang membuat marah ~Amerika. Yakni mengebom instalasi nuklir Irak. Amerika menunda pengiriman pesawat tempur F-16 ke Israel, bahkan mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam pengeboman itu. Israel juga menggiatkan serangan-serangannya di Libanon, dan pada akhir Juli, tampaknya siap melakukan perang habis-habisan melawan Syria. Sementara itu, utusan khusus Amerika Philip Habib, seorang diplomat keturunan Libanon, mengunjungi negara-negara Timur Tengah, mencoba menawarkan konsep perdamaian yang disusun oleh Amerika. Robert McFarlane, penasihat Departemen Luar Negeri AS, dalam bulan Juli menemui Menachem Begin, untuk membujuk perdana menteri Israel itu agar bersedia menahan pengembangan persenjataan militernya. Bagi Mossad, tak semua yang berlangsung itu buruk. Satu hal yang sungguh tak mereka inginkan yaitu perdamaian muncul di mana-mana. Maka, suatu kesibukan segera direncanakan untuk mencegah negosiasi perdamaian -- inilah salah satu contoh bagaimana berbahayanya organisasi macam ini yang bergerak sendirian. Bagi Mossad, nama pemain yang paling penting dalam hal ini adalah Durak Kasim, sopir dan pengawal pribadi Arafat. Kasim anggota Pasukan 17 (pasukan pengawal pribadi Arafat yang dibentuk pada 1972, setelah terjadi pembantaian di Olimpiade Munich, terdiri dari 200 sampai 600 jago tempur). Kasim direkrut menjadi agen Mossad pada 1977, ketika belajar filsafat di Inggris. Ia seorang yang rakus. Hampir tiap hari ia mengirimkan laporan pada Mossad lewat radio komunikasi, dan untuk itu ia memperoleh US$ 2.000 per laporan. Kadang kala informasinya ia kirimkan lewat telepon atau pos. Bahkan Kasim pernah muncul di "kapal selam", pemancar Mossad bawah tanah di Beirut -- suatu perbuatan yang sangat sembrono dan membuat t~erkejut operator di situ, bagaimana ia sampai tahu alamat "kapal selam". Kasim memang pembantu terdekat Arafat. Konon, dialah salah satunya yang bertugas mencarikan anak-anak lelaki bagi Arafat. Benar, homoseksual dilarang agama Islam, tapi hal seperti itu dianggap bukan hal yang luar biasa. Tidak seburuk anggapan di Barat. Mossad sendiri sebenarnya tak punya bukti-bukti bahwa Arafat seorang homoseksual. Kami tak punya foto-fotonya misalnya, juga bukti lainnya lagi. Karena itu, bila ingin menjatuhkan nama Arafat mesti dengan cara lain, misalnya dengan cara membeberkan hidupnya yang mewah sebagaimana para pemimpin Arab yang lain, yang berbeda dengan lingkungannya. Tapi itu tak bisa diterapkan pada diri Arafat. Pemimpin PLO ini benar-benar hidup sederhana. Arafat pun bukan tipe pemimpin yang mementingkan diri sendiri. Ketika Beirut dikepung, ia punya banyak kesempatan melarikan diri. Tapi itu tak ia lakukan sampai semua anak buahnya bisa lolos. Dalam suasana seperti itulah sayap kanan dalam Mossad berhasrat membunuh Arafat. Alasannya, bila Arafat dibunuh, Palestina akan memilih pemimpin baru yang militan yang tak akan diterima oleh Barat maupun sayap kiri di Israel, dan karenanya tak akan ada perdamaian. Bentrokan kekerasan dan kemudian penyerahan diri tanpa syarat dari Palestina, itulah satu-satunya cara mencapai perdamaian yang bisa dibayangkan oleh Mossad. Sementara itu, mereka yang menentang pembunuhan Arafat punya alasan juga. Yakni bahwa dialah yang terbaik dari para pemimpin Palestina yang brengsek. Arafat berpendidikan, menjadi tokoh pemersatu Palestina yang terpecah-pecah, hingga bila perundingan bisa diselenggarakan ia bisa mewakili Palestina. Baik Mossad maupun Shaback (biro intelijen dalam negeri Israel, macam FBI di Amerika) tahu bahwa Arafat begitu dihormati dan dipuja di wilayah pendudukan, meski tak sampai dijadikan tokoh utama politik. Pada pertengahan 1986 perdebatan selesai. Sayap kanan menang. Tapi waktu itu Arafat benar-benar jadi tokoh masyarakat. Mossad tak punya kesempatan mendekati dia. Tapi rencana pembunuhan itu tak dibatalkan. Begitu suasana memungkinkan, rencana akan dilaksanakan. Seorang lagi yang ambil peranan waktu itu adalah Mustafa Did Khalil, yang lebih dikenal sebagai Abu Taan. Ia kepala Komando Perjuangan Bersenjata Palestina, kelompok yang dikoordinasi oleh Arafat. Sebelumnya kelompok ini disebut Dewan Koordinasi Palestina. Tapi setelah Arafat mengumumkan tak lagi menempuh jalan kekerasan di luar Israel, pada 1974 itu, banyak faksi dalam PLO justru berubah lebih militan, memberi nama julukan yang bombastis buat organisasinya, menolak semua saran yang bisa menjadikan mereka bersikap lebih lunak. Karena pertentangan yang tak terelakkan di dalam organisasi, Arafat ingin memperkuat Pasukan 17-nya dengan persenjataan ringan. Arafat ingin menambah jago-jago tembaknya. Tapi Jenderal Khadra, kepala angkatan bersenjatanya, menolak. Kata Khadra, Arafat tak perlu cemas, ia akan menjaganya. Tapi Arafat sungguh tak tenteram. Pada 17 Januari 1981, Arafat terbang ke Berlin, menemui Presiden Erich Honecker, yang memberinya 50 "penasihat" untuk melatih orang-orang PLO di Libanon. Sembilan hari kemudian kembali Arafat menemui pejabat Jerman Timur, kali ini di Beirut, dan sekali lagi Arafat minta bantuan senjata -- Arafat melakukannya sendiri karena ingin menghindarkan campur tangan Jenderal Khadra. Berkat laporan Kasim, Mossad tahu persis bahwa Arafat sedang merisaukan urusan di dalam -- satu kesempatan buat Israel untuk menggasaknya. Pada 12 Februari Arafat bertemu pejabat Vietnam di Damaskus. Pihak Vietnam menawarkan peluru kendali, tapi Arafat membutuhkan senjata ringan. Tiga hari kemudian ia pergi ke Tyre, Libanon, untuk bertemu dengan para kepala faksi PLO, membujuk mereka agar tak saling berperang, agar memusatkan pada musuh yang sebenarnya: Israel. Pada 11 Maret, Arafat benar-benar nerves. Ia berharap sudah memperoleh persetujuan bantuan senjata sebelum pertemuan umum PLO 15 April di Damaskus. Dalam satu hari ia mengadakan tiga pertemuan terpisah: dengan duta besar Hungaria, Kuba, dan Bulgaria. Tapi tetap gagal memperoleh persetujuan. Pada waktu itu Mossad ikut-ikutan nerves, menduga akhirnya Arafat memperoleh senjata juga. Yang benar-benar menghantui Mossad adalah Arafat mulai mengatakan bahwa ia ingin seorang wakilnya menemui diplomat Israel, untuk membicarakan gencatan senjata di Libanon. Mossad memang tahu terlebih dahulu daripada Pemerintah Israel -- suatu hal yang memang sering terjadi. Pada 12 Maret, di Beirut, Arafat bertemu dengan Naim Khader, wakil PLO di Belgia. Ia minta agar Khader menghubungi pihak Departemen Luar Negeri Israel, untuk melancarkan negosiasi dan mencegah lebih banyak darah yang tumpah. Mossad sangat menaruh perhatian pada soal ini. Menurut Mossad, seandainya Israel bisa dilibatkan di Libanon untuk membantu pihak Kristen, ada alasan untuk menyapu bersih Palestina dari Libanon. Hampir tiga bulan kemudian, tepatnya pada 1 Juni pagi-pagi, Khader menelepon seseorang di ~kantor Luar Negeri Israel di Brussel, untuk mengatur pertemuan 3 Juni yang akan membicarakan kemungkinan persetujuan damai. Kemudian, dalam perjalanan ke kantornya, seorang berkulit hitam, berjaket cokelat, dan berkumis tipis melintang mendekati Khader. Orang itu lima kali menembak Khader di dadanya, dan sekali di kepalanya. Si penembak lalu berlari ke arah taksi yang lewat, dan menghilang. Menurut Kasim, Arafat sungguh terpengaruh oleh terbunuhnya Khader. Ia tak bisa tidur. Ia sungguh marah. Ia sangat butuh perlindungan dan tetap memerlukan bantuan senjata untuk Pasukan 17-nya. Mossad terus berusaha mempengaruhi Amerika, dan kepala Mossad Yitzhak Hofi memerintahkan departemen LAP (Lohamah Pscichlogi, perang psikologi) merencanakan skenario untuk meyakinkan AS bahwa PLO menyiapkan perang, bukan perdamaian. Tujuan skenario ini, untuk mendapatkan alasan ba~gi AS dan Israel menguasai Libanon Selatan. LAP segera membuat foto-foto gudang senjata milik pasukan Jenderal Khadra. Sebenarnya, karena pasukan itu bagian dari angkatan bersenjata Syria, tak aneh bila mereka memiliki gudang senjata. Tapi itu dijadikan bukti oleh Mossad bahwa pihak Palestina merencanakan menyerang Israel. LAP juga menunjukkan dokumen yang diperoleh dari PLO, yang menggambarkan rencana penyerangan Israel Utara. Doku~men ini pun bukan sesuatu yang lu~ar biasa, yang menunjukkan adanya rencana serangan yang pasti. Di semua basis militer, rencana seperti itu lazim dibuat. Apakah rencana itu sudah disepakati dan PLO akan melaksanakan rencana itu, itu soal lain. Tapi Mossad tak ingin penjelasan itu menghalangi rencana nakalnya. Rencana pembunuhan Khader sudah disiapkan sebulan sebelumnya. Pada waktu itu satu tim dari Metsada (tim inti Mossad, biasa disebut Mossadnya Mossad) diperintahkan mengikuti Naim Khader di Brussel, untuk menghalanginya membuat negosiasi perdamaian. Khader mesti dihabisi. Bagaimana tim ini merencanakan pembunuhan itu, cuma bisa diduga-duga. Tapi itu dilaksanakan dengan cara khas Mossad: sederhana, cepat, dan menyeluruh di jalan di siang bolong lebih banyak yang menyaksikan lebih baik. Pembunuhan ini akan dilakukan dengan pistol berisi sembilan peluru, dan hanya enam peluru yang akan digunakan. Siapa pun yang jadi penghalang antara penembakan dan saat si penembak masuk ke dalam taksi, ia harus menemui nasib sebagaimana Khader dibunuh. Pembunuhan ini direncanakan sedemikian rupa hingga Abu Nidal dari Organisasi Juni Hitam yang akan dituduh -- bahkan oleh Arafat dan Departemen Luar Negeri Israel sendiri -- melakukannya. Dan benar. Tak lama setelah pembunuhan Khader di Brussel itu, cerita tentang Abu Nidal sebagai teroris berbahaya muncul di media massa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini