GINCU boleh dipoleskan, bedak boleh memutihkannya. Toh Malioboro yang dibangun tahun 1756 itu tetap saja Malioboro. Jalan lurus di jantung Kota Yogyakarta ini panjangnya cuma sekilo, tapi lumayan sebagai tambang uang bagi ratusan anak manusia. Ada mbakyu penjual gudek. Ada pengamen. Mereka silih berganti hadir di sini, mungkin dari generasi ke generasi. Lalu-lalang sepeda, becak, dan andong, meski bergerak mirip keong, malah bagai berpacu jumlah dengan kendaraan bermotor. Sementara itu, di kaki lima, penjual barang kerajinan lokal berupaya menangguk kaum pelancong. Ketika tirai malam menyelimuti kota, aneka dagangan yang merenda Malioboro tadi lalu bertukar dengan manisnya aroma gudek. Hidangan khas Yogya ini di sini disantap seraya duduk di tikar atau lesehan, yang dulu selalu dihiasi denting siter dan alunan tembang pesinden. Kini, suasana seronok itu sudah langka dan mahal. Lesehan ada sejak 1946. Dan suasananya kini lebih sering diriuhkan oleh entakan La Bamba, Bento-nya Iwan Fals, atau ~et Back-nya The Beatles. Di Malioboro ada puluhan kelompok pengamen, lapi hanya tiga yang kondang: Kelompok Pemusik Jalanan Malioboro (KPJM), Obahing Tangan Agawe Senenge Ati (Otasa), dan Grand Palma. "Mereka tak hanya ngamen. Siang Jualan apa saja ~di kaki lima, m~becak, jual rokok, atau nyemir," cerita Agung. Menurut pemuda kekar yang dituakan oleh anak-anak Malioboro ini, di antara mereka itu ada yang berstatus mahasiswa. "Tapi, ya, jauh-jauh disekolahkan tetap saja ngamen dan mengandalkan otot," tambah ba~pak dua anak yang mengaku pernah kuliah di luar negeri ini. "Semalam bisa diperoleh puluhan ribu. Lumayanlah, seorang anggota ngamen mengungkapkan.~ "Malioboro membawa berkah," ujar Inge Rita Kustanti. Perempuan molek keturunan Cina ini bersama suaminya menggelar lesehan " Putri Solo" tepat di depan restoran Jepang dan karaoke milik mereka. Katanya~, "~Dari lesehan saja bisa masuk lebih dari sejuta semalam." Inge bukan sendirian. Pengamen, tukang semir, tukang rokok pun ikut menangguk untung. Ya, di Malioboro mungkin juga ada Don Kisot mengaku patriot. Lengkap ~sudah. S~aya ingin Maliob~oro ~yang penuh dengan pohon rindang, yang teduh untuk berjalan-jalan. Saya ingin Malioboro yang aman bagi orang-orang yang berjalan kaki. Saya ingin Malioboro yang juga menguntungkan bagi rakyat kecil. Itu menurut W.S. Rendra, yang memahatkan harapannya dalam puisinya, belasan tahun silam. Didik Budiarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini