Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebuah kota kecil nun di selatan Irak bernama Al-Majar al-Kabir, terjadilah sengketa kecil itu. Seorang polisi tiba-tiba saja naik pitam kepada wartawan Tempo, Ahmad Taufik. Ia baru saja melihat sebuah kartu nama yang dimiliki Tempo. ”Kamu mau membunuh Ayatullah Ali al-Sistani, ya!” Ia membentak. Tangan kanannya hampir mendarat di wajah Ahmad Taufik seandainya komandan sang aparat tidak mencegah.
Pangkal soalnya ternyata karena di balik kartu nama itu ada gambar lokasi hotel tempat Tempo menginap dan ma’had (tempat mengajar) Ayatullah Sistani yang hanya berbeda gang. Namun, karena Al-Sistani merupakan ulama Syiah paling berpengaruh saat ini, semua hal yang berkaitan dengan tokoh itu diamati dengan sangat serius. Padahal, selain denah hotel dan ma’had, yang terpenting adalah lokasi makam Imam Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dalam sejarah Islam yang juga menantu Nabi Muhammad SAW.
Masalah masih belum selesai karena polisi pertama masih ”bersemangat” menginterogasi Tempo dengan menyuruh menyebutkan nama 12 imam Syiah. Agaknya, ia masih tidak yakin dengan penjelasan yang diberikan sebelumnya. Namun, Tempo baru menyebutkan nama imam keempat, sang komandan kembali menghentikan jawaban Tempo dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain selama hampir satu jam.
Di mejanya tampak foto tokoh Syiah Irak seperti Sayyid Mohammad Baqir Sadr dan Abdul Azis al-Hakim, tokoh-tokoh di belakang Aliansi Irak Bersatu (AIB), yang akhirnya memenangi 48 persen suara dalam pemilu 30 Januari. Tempat kedua diraih oleh Aliansi Kurdi dengan 25 persen suara. Dan Syiah Sekuler pimpinan Perdana Menteri Iyad Allawi yang pro-Amerika di posisi ketiga dengan 14 persen.
Tapi perhitungan ini direvisi setelah Komisi Pemilihan mengeliminasi hasil perolehan suara 99 partai yang gagal menembus batas minimal (electoral threshold). Hasil penghitungan baru menempatkan AIB sebagai pemenang mayoritas dengan 140 kursi dari 275 di parlemen, sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk menentukan arah konstitusi baru Irak dan penentuan jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Aliansi Kurdi meraup 70 kursi, dan partai Allawi meraih 38 kursi.
Kemenangan ini sekaligus menjadi momen kembalinya Syiah ke dalam panggung politik domestik Irak setelah para ulama mereka memboikot pemilu pada tahun 1924, yang membuat mereka selama delapan dekade berada di bawah bayang-bayang kalangan Sunni.
Dengan hasil itu, dipastikan jabatan perdana menteri akan jatuh ke kubu AIB. Selasa pekan lalu para petinggi AIB memastikan calon mereka untuk posisi itu adalah Ibrahim Jaafari, Ketua Umum Partai Dakwah, yang merupakan pilar utama pendukung AIB. Kebetulan Jaafari sendiri saat ini menjabat Wakil Presiden Pemerintahan Sementara Irak. Calon lain dari AIB yang sempat ditimang-timang sebagai calon perdana menteri adalah Menteri Keuangan Adil Abdul Mahdi.
Satu faksi yang lebih kecil dari AIB menginginkan Ahmad Chalaby, yang dikenal dekat dengan Pentagon, sebagai perdana menteri. Namun, dalam wawancara dengan kantor berita The Associated Press, Jaafari terlihat yakin bahwa jabatan bergengsi itu akan jatuh kepadanya. Ia bahkan sudah bicara tentang prioritas kebijakan. ”Stabilisasi keamanan dalam negeri menjadi prioritas utama,” ujar dokter yang meninggalkan Irak pada tahun 1980 itu, setelah Saddam Hussein memerintahkan pembunuhan terhadap para pemimpin Partai Dakwah. Sampai sekarang, keluarga Jaafari masih menetap di London, Inggris.
Aliansi Kurdi mengincar jabatan presiden yang kini diduduki Ghazi al-Yawer, tokoh Sunni Irak yang partainya hanya meraih posisi keempat dalam pemilu dengan 10 kursi di Parlemen. Tokoh veteran Kurdi, Jalal Talabani, dipastikan menjadi calon tunggal dari etnis itu untuk posisi tersebut. Gambaran seperti ini membuat kalut Perdana Menteri Iyad Allawi, yang dipastikan bakal terpental dari kursinya.
Pekan lalu ia terbang ke Kurdi, menawarkan koalisi untuk menguasai parlemen. Sikap sekuler yang ditunjukkan Allawi selama ini tak memungkinkannya menawarkan proposal koalisi kepada AIB. Masalahnya, jika Kurdi menerima pinangannya sekalipun, jumlah kursi yang mereka kuasai di parlemen tetap tak bisa menggoyang kekuatan AIB.
Kejelasan hasil pemenang pemilu belum membuat angka kekerasan di Bagdad turun. Kamis pekan lalu, beredar sebuah video yang memperlihatkan seorang sandera berkebangsaan Irak Swedia, Minyaas as-Youssefi, memohon kepada Raja dan Ratu Swedia serta Paus untuk membantu pembebasannya. ”Saya dalam perjalanan ke Bagdad ketika diculik oleh satu kelompok bersenjata. Mereka membawa saya ke markas mereka, dan akhirnya saya tahu mereka berasal dari Resimen Pembalasan Irak,” ujar Youssefi, Ketua Partai Kristen Demokrasi Irak, dalam video itu.
Tampaknya, ini pekerjaan rumah pertama yang harus ditangani serius oleh Jaafari.
Akmal Nasery Basral (AP, Aljazeera, The CS Monitor), Ahmad Taufik (Bagdad)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo