Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar itu tersiar cepat, menyambar-nyambar seantero Beirut seperti kilatan petir: Rafik Bahaa Edine Hariri meninggal. Nyawa bekas Perdana Menteri Libanon itu direnggut oleh ledakan bom di jalanan Kota Beirut, ibu negeri Libanon. Berita itu membikin penduduk kota menghambur ke jalan raya dalam seketika. Mereka meraung-raung, memekikkan amarah dan kutuk terhadap Suriah: pihak yang mereka tuduh sebagai dalang kematian Hariri.
Di Paris, Presiden Prancis Jacques Chirac, sahabat kental Hariri, mencak-mencak. Dia segera menggagas suatu pernyataan resmi. Isinya, Prancis mengutuk aksi keji tersebut dan minta Libanon terbuka kepada penyelidik internasional. Tangan-tangan pun mulai menuding ke Damaskus. Hanya sehari berselang, pemerintah Amerika memanggil pulang Duta Besar Margaret Scobey dari ibu kota Suriah itu.
Begitulah. Peristiwa-peristiwa melintas cepat menyusul ledakan bom mobil itu. Kejadian tersebut, yang sejatinya merupakan masalah politik rumah tangga Libanon, mendadak berkembang menjadi perseteruan multinegara yang melibatkan AS, Prancis, dan sekutu Barat mereka melawan Suriah.
Merasa arah angin mulai tak menguntungkan, Suriah buru-buru mengeluarkan bantahan. ”Tuduhan bahwa Suriah terlibat tindakan teroris sebenarnya hanya untuk menggoyahkan hubungan baik Suriah dengan Libanon,” ujar Menteri Luar Negeri Suriah Buthaina Syaaban.
Bantahan itu tak menyurutkan Amerika. Di mata Bush, Suriah punya banyak dosa. Negara ini menampung pelarian Partai Baath dari Irak dan menahan aset-aset Irak. Lalu, keterlibatan Suriah bersama Iran membela kelompok Hisbullah yang sering melakukan aksi kekerasan di Libanon dan Israel.
Amanat Revolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1559 pada 2 September 2004, yang mengharuskan Suriah membawa pulang 16 ribu tentaranya, pun belum dituruti. Padahal, tenggat kian dekat: April 2005. Resolusi itu adalah hasil utak-atik AS dan Prancis setelah tentara Suriah memaksakan perubahan konstitusi Libanon dan memperpanjang kepemimpinan Presiden Emile Lahoud yang pro-Suriah hingga tiga tahun. Campur tangan Suriah ini yang membikin Hariri naik darah (lihat Sang Dermawan dari Sidon).
Tentara Suriah—35 ribu orang—mulai masuk Libanon pada 1976. Kedatangan ini memang atas permintaan pemerintah setempat. Diharapkan para serdadu Suriah dapat membantu menghentikan perang saudara antara kelompok Maronite dan Islam yang tengah berkecamuk. Sial bagi Libanon, para tentara Suriah ini justru terlibat konflik yang menyeret legiun asing lainnya, seperti Palestina, Israel—dan Iran melalui kelompok Hisbullah—ke Libanon.
Itu sebabnya, ketika Kesepakatan Taif diteken pada Oktober 1989, yang memperpanjang kehadiran tentara Suriah tanpa batas waktu, kelompok oposisi Libanon mulai bereaksi. Suriah kian tak disukai karena mulai ikut campur urusan dalam negeri Libanon. Puncaknya adalah mundurnya Hariri dari jabatan perdana menteri pada Oktober 2004.
Kini, dunia internasional ikut memaksa Suriah segera angkat kaki. Kalau mereka menolak, skenario terburuk, tentu saja, perang. Dan kalau itu terjadi, Libanon sekali lagi akan menjadi ajang baku bantai kekuatan-kekuatan asing. Terakhir, perang saudara Libanon yang bermula dari peristiwa sepele—tertembaknya dua anggota Partai Kristen Phalange (Christian Phalange Party) di pinggiran Beirut, 13 April 1975—berlangsung 15 tahun dan merenggut sedikitnya 150 ribu nyawa.
Untungnya, Amerika belum menyebut-nyebut soal perang. ”Saya ingin mengajak teman-teman Eropa kami untuk sama-sama mencari jalan guna meyakinkan Suriah membuat keputusan yang rasional,” ujar Presiden AS George W. Bush pada Kamis pekan lalu. Bush akan berkeliling Eropa mengunjungi para pemimpin negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO minggu ini, dimulai dari Belgia. Setelah itu dia akan makan malam bersama Presiden Jaqcues Chirac di Paris. Sebelum tur Eropanya berakhir, kata Bush, Amerika belum akan mengambil langkah apa pun dalam soal Suriah.
Adapun Suriah, yang tampaknya enggan meninggalkan Libanon, mulai pasang kuda-kuda. Pekan lalu, Perdana Menteri Suriah Naji al-Otari menemui Wakil Presiden Irak Muhammed Reza Aref. ”Suriah dan Irak merasa perlu berdiri di sisi yang sama untuk menghadapi berbagai tantangan pihak lain,” ujar Otari setelah melakukan pembicaraan tertutup. Mereka kini bersiap untuk kemungkinan terjelek. Dari Moskow datang kabar bahwa rudal antipesawat udara yang dipesan Damaskus telah siap dilego, meski mendapat protes keras dari Israel.
Hawa perang pun menggantung di udara Libanon. Tokoh oposisi Libanon, Boutros Harb, buru-buru mengimbau semua pihak yang bertikai di negaranya untuk tenang. ”Tugas kita adalah menghindari kekacauan,” ujarnya. Maksudnya, kalaupun perang harus pecah, hendaknya jangan di Libanon. Kalau tidak, sejarah akan berulang, melahirkan periode baru berdarah di Timur Tengah yang melibatkan kekuatan-kekuatan Arab dengan motor Suriah dan Irak melawan AS dan sekutu Eropanya.
Dan Libanon? Bagai pelanduk, negeri ini bakal terjepit di antara gajah-gajah dunia yang bertempur.
Philipus Parera (CsMonitor/Aljazeera/AFP/Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo