Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir manusia bergelombang di pusat Kota Beirut, ibu kota Libanon, Rabu pekan lalu. Mereka berteriak, menangis, berdoa, mengibarkan panji-panji negara itu sambil berarak menuju Masjid Muhammad al-Amin. Gelombang massa itu tengah mengantarkan jasad Rafik Bahaa Edine Hariri ke liang lahat. Mantan Perdana Menteri Libanon itu tewas dalam serangan bom mobil di daerah pesisir barat Beirut, dua hari sebelumnya.
”Pergi Suriah. Kembalilah,” teriak barisan peziarah itu berkali-kali. Pemerintah Damaskus menjadi sasaran kemarahan warga Libanon. Pendukung Hariri menduga skenario berdarah itu telah mendapat ”restu” dari para petinggi pemerintah di ibu kota Suriah. Padahal sudah ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab, yakni An-Nasra Wal Jihad Fil Bilad al-Syam alias Kemenangan dan Jihad, yang bertempat di Suriah.
Sebelum pamit mundur dari jabatan Perdana Menteri Libanon pada Oktober lalu, Hariri memang sempat baku ribut dengan Emile Lahoud, Presiden Libanon yang kini berkuasa dan dikenal pro-Suriah. Hariri naik darah kepada Suriah karena negara itu dipandangnya turut campur tangan dalam memperpanjang jabatan Lahoud selama tiga tahun.
Yang membikin Damaskus kesal, Hariri ikut mendorong pihak Barat agar mendesak Suriah keluar dari Libanon. Mantan Perdana Menteri ini adalah pengusaha kaya-raya yang punya hubungan baik dengan banyak pemimpin dunia, termasuk Raja Fadh dari Arab Saudi dan Presiden Prancis Jacques Chirac. Jadi, urusan lobi bukan soal baginya, termasuk melobi pihak Barat. Presiden Prancis Jacques Chirac lantas menyerukan investigasi internasional tak lama setelah Hariri tewas.
Hariri lahir dari keluarga petani miskin di Sidon, sebuah kota pelabuhan di selatan Libanon, pada 1 November 1944. Pada 1965, dia merantau ke Arab Saudi dan menjadi pengusaha kaya-raya. Gara-gara dekat dengan keluarga Kerajaan Saudi, bisnisnya meroket. Majalah Forbes pada 2004 menobatkannya menjadi orang terkaya nomor 108 di dunia dengan harta US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp 39,7 triliun.
Pulang ke Libanon pada 1990—tak lama setelah perang saudara yang berlangsung sejak 1975 berakhir—Hariri merebut posisi perdana menteri pada 1992. Dia kembali dipilih pada 2000 setelah sempat turun kursi pada 1998.
Bagi penduduk miskin Libanon, Hariri adalah pahlawan pembangunan, meskipun lawan-lawan politik mengkritik kebijakan utang luar negerinya. Libanon ia sulap dari kota hantu yang porak-poranda akibat perang saudara menjadi tujuan wisata yang asri. Hariri Foundation, yayasan miliknya, menyekolahkan lebih dari 30 ribu pelajar—proyek yang mengangkat derajat keluarga miskin Libanon. Dari kantongnya, mengalir jutaan dolar untuk menyumbang orang miskin tanpa membedakan suku dan agama.
Saat bom meledak, Hariri dalam perjalanan pulang dari gedung parlemen. Dia dikabarkan tengah sibuk—termasuk berhubungan dengan kelompok-kelompok oposisi di Libanon—untuk come back ke pentas politik pada pemilu legislatif Mei mendatang.
Philipus Parera (Aljazeera/BBC/Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo