Nun di Darwin sana, Australia seolah siap berperang. Ibu kota kawasan Northern Territory di Australia itu tampak jauh lebih sibuk pada masa pascajajak pendapat Timor Timur (Tim-Tim). Kota pelabuhan yang berjarak dua jam penerbangan dari Tim-Tim itu tengah mempersiapkan dok-dok kapal perang dan kapal selam di pelabuhan pangkalan militer. Tampak kapal perang Glasgow, HMAS Adelaide, HMAS Jervis Bay, dan kapal selam HMAS Waller sudah siap untuk tour of duty. Kegiatan yang langka itu menarik perhatian turis yang sedang mengunjungi Darwin.
Kota berpenduduk 800 ribu jiwa ini mendadak menjadi ''dapur umum" penyelesaian masalah Tim-Tim sampai mendapat kemerdekaan penuh. Pada mulanya, Australia menyediakan diri sebagai penampung pengungsi Tim-Tim yang diterbangkan dengan pesawat Unamet (United Nations Mission on East Timor). Kini Australia telah berhasil menjadi pemimpin pasukan keamanan di bawah bendera PBB yang segera diterjunkan ke Tim-Tim.
Sebenarnya, secara diplomatis, kesibukan Australia itu wajar karena Australia memang berbagi perbatasan dengan Indonesia dan Tim-Tim. Apa pun yang terjadi di Tim-Tim pasti berpengaruh kepada Australia. Secara historis, persoalan sejarah, saat ada beberapa wartawan Australia yang tewas pada masa peperangan dan seterusnya, membuat keterlibatan Australia atas masalah Tim-Tim menjadi sangat dalam. Apa boleh buat, Tim-Tim menjadi salah satu penentu rindu dendamnya hubungan Australia dengan Indonesia.
Sikap pemerintah Australia mempersiapkan Marrawa, kota kecil dekat Darwin, sebagai tempat penampungan pengungsi Tim Tim, sekaligus menanggung logistik pengungsi dan bersedia memberi visa kemanusiaan, juga tak mengejutkan. Tapi apakah ini soal kemanusiaan semata atau Tim-Tim dijadikan komoditas politik pemerintah Australia? Malcolm Fraser, bekas perdana menteri Australia, memberi pengakuan de facto atas integrasi Tim-Tim ke wilayah Indonesia dalam kunjungannya ke Jakarta, Oktober 1976—setahun setelah agresi Indonesia ke Tim-Tim. Keputusan itu diambil untuk mempermudah perundingan untuk mendapat jatah eksplorasi minyak dan gas bumi di Celah Timor.
Sementara itu, pada masa pemerintahan Paul Keating, awal 1990-an, persoalan Tim-Tim menjadi seperti layang-layang: tarik ulur. Di satu sisi Keating selalu berusaha dekat dengan Presiden Soeharto, di pihak lain Keating memberi status permanent resident kepada Ramos Horta. Pada masa pemerintahan Keating, kelompok perlawanan Tim-Tim di Australia semakin kuat.
Cara pemerintah Australia menangani pendatang Tim-Tim juga menunjukkan sebuah keputusan politik. Kasus masuknya sekitar 900 pendatang dari Tim-Tim sebagai turis ke Australia pada akhir 1994, misalnya, telah terbukti menyulitkan pemerintah Australia. Pihak imigrasi yakin bahwa banyak dari turis Tim-Tim itu bukan aktivis politik yang terancam nyawanya bila kembali ke Tim-Tim. Tapi, jika permohonannya untuk menetap ditolak, parlemen dan kelompok perlawanan Tim-Tim akan protes keras.
Jika sekarang pemerintah Australia sangat agresif membela rakyat Tim Tim prokemerdekaan serta ''memusuhi" pemerintah dan tentara Indonesia, hal itu bisa dipahami. Apalagi, Australia akan melangsungkan pemilihan umum pertengahan tahun depan. Pemerintahan federal yang dipimpin oleh Perdana Menteri John Howard tidak ingin kehilangan muka di mata rakyatnya dan di mata internasional, meski dengan ongkos ''bermusuhan" dengan tetangga. Toh, sang tetangga saat ini tengah dikecam dari berbagai arah.
Bina Bektiati (Jakarta), Dewi Anggraeni (Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini