Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Palestina Mahmud Abbas boleh jadi pemimpin di kawasan Timur Tengah paling celaka selama dua pekan belakangan ini.
Di Jalur Gaza, awal Oktober lalu, dialah bulan-bulanan kemarahan rakyat Palestina. Ratusan poster berisi hujatan terhadap Abbas bertebaran di ruang publik Kota Gaza. Potret Abbas berhiaskan teks pedas: ”Untuk Si Dungu dalam Sejarah. Kau Pengkhianat, Mahmud Abbas”. Sedangkan poster lain berupa tanda silang besar di atas potret Abbas. Poster itu ditandatangani para intelektual dan dosen.
Di Ramallah, Tepi Barat, 14 kelompok hak asasi menggalang ratusan pengunjuk rasa. Salah satu spanduk mereka bertuliskan: ”Mengabaikan laporan Goldstone adalah mengabaikan darah para martir”.
Abbas memang telah menempuh kompromi. Bersama Israel, ia menyatakan penolakannya untuk memproses laporan Goldstone sampai ke Mahkamah Internasional. Goldstone adalah bekas hakim Afrika Selatan keturunan Yahudi yang ditunjuk PBB untuk mengumpulkan catatan kejahatan perang tatkala Israel menyerbu Jalur Gaza, tahun lalu.
Tentu saja itu bukan langkah yang populer. Pemimpin Front Populer Pembebasan Palestina Ahmed Jibril secara terbuka meminta Abbas mencopot jabatannya sebagai presiden. Seruan yang sama muncul dari Organisasi Dewan Palestina di Eropa, yang meminta Abbas mundur karena telah merusak kepentingan nasional Palestina. Bahkan Suriah membatalkan kunjungan Abbas. Semua gara-gara laporan Goldstone.
Tapi kini Presiden Abbas boleh sedikit merasa lega setelah ia mengoreksi keputusan kontroversial. Ia kini pendukung pengiriman laporan Komisi Hak Asasi PBB yang dipimpin Richard Goldstone ke Dewan Keamanan PBB, Ahad 11 Oktober lalu. ”Apa pun yang terjadi ini adalah kesalahan, tapi bisa diperbaiki,” ujar Abed Rabbo, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Rabbo mengaku keputusan Abbas itu merupakan kesalahan.
Pengiriman laporan komisi itu ke Komisi Hak Asasi PBB disponsori oleh Bahrain, Bangladesh, Bolivia, Cina, Kuba, Djibouti, Mesir, Gabon, Indonesia, Yordania, Mauritius, Nikaragua, Nigeria, Pakistan, Filipina, Qatar, Arab Saudi, dan Senegal. Kembalinya Abbas ke laporan Goldstone didukung Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon.
Komisi Goldstone menyatakan Israel dan Hamas melakukan kejahatan perang dalam serangan ke wilayah Gaza selama tiga pekan—dimulai pada 27 Desember tahun lalu. Kelompok hak asasi memperkirakan sekitar 1.400 orang penduduk Palestina, sebagian besar warga sipil, terbunuh dalam serangan itu.
Tapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak bisa menerima. Di depan sidang parlemen, Knesset, ia mengecam keputusan mutakhir Abbas, menyerang laporan Goldstone, Senin pekan lalu. Ia menilai laporan Goldstone menyimpang, ditulis oleh komite yang juga menyimpang, dan laporan itu merongrong hak Israel membela diri. Menurut perdana menteri berhaluan radikal kanan ini, laporan Goldstone malah menggalakkan terorisme dan mengancam perdamaian. ”Israel tak akan mengambil risiko untuk berdamai jika tak dapat membela diri,” ujar Netanyahu.
Bibi, panggilan akrab Netanyahu, mengatakan tak akan membiarkan bekas Perdana Menteri Ehud Olmert, bekas Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan bekas Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, yang memerintahkan pengiriman pasukan Israel ke Jalur Gaza, duduk sebagai terdakwa dalam pengadilan internasional di Hague. ”Kami tak setuju dengan situasi di mana komandan IDF (militer Israel) dan serdadu (Israel) dicap sebagai penjahat perang setelah mereka melindungi rakyat Israel dengan gagah berani dari musuh yang kejam,” ujar Netanyahu.
Laporan Goldstone berasal dari 200 wawancara, 20 ribu lembar halaman dokumen tertulis dan foto operasi militer Israel yang ditujukan kepada rakyat Gaza secara keseluruhan sebagai hukuman. Buktinya, serangan dilakukan terhadap fasilitas pabrik makanan, instalasi air minum, dan sasaran lain yang tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. ”Kesaksian yang kami dengar dari korban dan saksi sangat sulit didengar. Tapi, saya percaya, penting bagi kami mendengarkan cerita ini,” ujar Goldstone.
Laporan setebal 575 halaman itu juga menuduh blokade Israel terhadap Jalur Gaza sebagai hukuman kolektif yang merupakan bagian dari keputusan sistematis mengisolasi Gaza. Selain itu, komisi Goldstone percaya, tameng manusia digunakan Israel untuk melindungi diri dari serangan balik Hamas, rumah sakit diserang, dan penduduk sipil ditembak meski memegang bendera putih. Sebaliknya, komisi Goldstone menuding Hamas menghujani wilayah selatan Israel dengan roket dengan sasaran sipil Israel yang dirasakan sebagai teror.
Meski Hamas menolak tuduhan komisi Goldstone itu, kelompok ini mendesak agar laporan Goldstone segera dibawa ke Komisi Hak Asasi PBB di Jenewa, dengan harapan akan berujung di pengadilan kejahatan perang di Hague, Belanda. Itulah sebabnya Hamas marah besar ketika Mahmud Abbas membatalkan usul agar laporan Goldstone itu dibawa ke Komisi Hak Asasi PBB di Jenewa. Hamas memutuskan menunda perundingan rekonsiliasi dengan faksi Fatah yang dicomblangi Mesir, yang rencananya akan berlangsung pada 25 Oktober ini.
Sejumlah sumber Palestina dan Israel menyebutkan Abbas ditekan habis-habisan oleh Amerika Serikat agar menolak laporan Goldstone. Tujuannya memang tak langsung untuk menyelamatkan Israel, melainkan menyelamatkan pembicaraan damai Israel-Palestina, yang kini sedang digeber habis-habisan oleh rezim Presiden Barack Obama. Penyelamatan ini menjadi penting, apalagi Obama bakal menerima hadiah Nobel Perdamaian. Sebagai pemenang Nobel Perdamaian, wajah Obama akan tampak buruk jika ia gagal membawa kembali Israel dan Palestina ke meja perundingan.
Imbalannya bagi Abbas? Kini utusan khusus Obama untuk menyelesaikan konflik Israel Palestina, George Mitchell, terus menekan kabinet garis keras Netanyahu agar membekukan program permukiman Israel di Tepi Barat—syarat yang dituntut Otoritas Palestina untuk membuka kembali perundingan damai dengan Israel. Pengamat menduga, jika Mitchell berhasil, kepercayaan rakyat Palestina terhadap Presiden Abbas bisa pulih setelah belakangan ini popularitasnya makin melorot bahkan di Tepi Barat yang dikuasai faksi Fatah. ”Abu Mazen kehilangan banyak,” ujar Shawan Jabarin, aktivis hak asasi tadi.
Bola panas yang ditendang Goldstone lebih membara di Israel. Pejabat Israel kini merapatkan barisan untuk bertarung di medan diplomatik untuk menghalangi laporan komisi Goldstone tentang kejahatan perang Israel itu melenggang ke Dewan Keamanan PBB dan ke pengadilan kejahatan perang di Hague.
Petinggi Israel, termasuk Presiden Shimon Peres dan Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman, menyebut laporan Goldstone sebagai ”olok-olok sejarah”.
Mereka menekankan bahwa laporan Goldstone berat sebelah, yang hanya akan menguntungkan terorisme karena hanya akan menyulitkan negara apa pun melindungi diri dari terorisme. Para petinggi Israel berusaha mendekati lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB: Amerika, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. Juga mendekati negara Uni Eropa, karena pengaruh mereka terhadap Komisi Hak Asasi PBB di Jenewa.
”Ini akan menjadi kampanye diplomatik dan hukum yang panjang,” ujar seorang pejabat senior Israel yang menangani laporan Goldstone. ”Kami akan melibatkan sahabat kami di seluruh dunia, khususnya Amerika Serikat, untuk menghindari isolasi Israel.”
Duta Besar Israel di PBB, Gabriela Shalev, bahkan terus terang mengatakan Israel mengandalkan jasa baik Washington untuk memveto laporan Goldstone di Dewan Keamanan PBB agar tidak menyeret pejabat tinggi Israel ke pengadilan kriminal perang. ”Menteri Luar Negeri Hillary Clinton telah mengatakan bahwa Amerika akan memveto jika ada pemungutan suara di Dewan Keamanan,” ujar Shalev.
Kalau itu terjadi, Partai Demokrat Amerika akan kehilangan citra kuatnya sebagai pendekar hak asasi di Amerika dan dunia.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Reuters, Haaretz, Jerusalem Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo